Kipas Angin Merah Muda
Oleh: Pipit
Tiga Terbaik Lomba Cerpen Autofiksi
Kadang kenangan manis suka muncul tiba-tiba karena hal-hal sepele. Di sebuah kursi plastik berwarna merah muda, aku duduk menunggu ikan yang kubeli selesai dibersihkan. Sambil menunggu, aku mengambil es krim dan menikmatinya. Beberapa sayuran yang kupilih juga sudah dimasukkan ke dalam satu wadah, dan tinggal menghitung totalnya.
Aku yang semula duduk di luar warung, berpindah menunggu di dekat meja kasir, setelah diminta si pemilik warung untuk menunggu di dalam. Sebenarnya sama saja, aku masih merasa gerah mungkin karena hari memang sangat cerah, langit tampak bersih tanpa setitik mendung. Aku yakin semua orang juga merasakan hal yang sama, kegerahan sepertiku. Kalau bukan sesuatu yang penting, aku tak akan pergi ke warung saat matahari sedang terik-teriknya.
Tiba-tiba tiga anak perempuan datang membuat suasana sedikit berisik. Satu anak si pemilik warung dan dua lagi adalah anak tetangga di sekitarnya. Aku tersenyum melihat kedatangan mereka. Aroma khas anak-anak yang terpapar matahari bercampur keringat menyeruak.
Anak si pemilik warung masuk ke dalam lalu keluar membawa sebotol air dingin. Tanpa cangkir mereka bergantian mengokop mulut botol. Saat itulah, aku mendengar si pemilik warung berteriak. Mengomeli anaknya untuk minum menggunakan cangkir. Jorok katanya. Tidak sampai di situ, si pemilik warung juga mengomel karena baru menyadari kipas angin yang semula arahnya menghadap ke tempat di mana aku duduk, kini berpindah ke mereka. Aku sendiri tidak masalah. Malah aku senang melihat tingkah ketiga bocah tersebut.
Karena tanpa sengaja tingkah mereka membuat ingatanku terpental jauh ketika aku kecil dulu. Aku adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara. Memiliki lima anak laki-laki dan tiga anak perempuan tentu membuat rumah orang tuaku lebih berisik. Ada banyak hal-hal konyol yang sering terjadi setiap hari, yang membuat ibuku kadang tak perlu lagi mengomel, cukup dibiarkan saja, nanti akan ada satu di antara kami bersikap bijak untuk mengingatkan.
Melihat anak si pemilik warung tak mempedulikan omelan dan tetap menguasai kipas angin, aku jadi teringat salah satu kenangan, yang mungkin bagi orang lain teramat sederhana, tapi tidak bagiku. Terlebih setelah dewasa dan menikah, aku seolah tersadar bahwa kenangan-kenangan manis yang lahir dari ketulusan dan keceriaan bersama saudara hanya ada di masa kecil.
Seketika mataku merebak. Aku teringat bermain bersama kakak dan adikku. Jarak usia kami tidak jauh, aku dan adikku hanya berjarak dua tahun, adikku berusia enam tahun. Aku ke kakakku yang keenam hanya tiga tahun. Waktu itu aku tegak berdiri di hadapan kipas angin yang baling-balingnya sedang berputar kencang. Kipas angin baru berwarna merah muda, yang dibelikan ayah. Satu-satunya kipas angin di rumah. Kata adikku, itu adalah kipas angin miliknya, karena warnanya merah muda. Warna kesukaannya.
Aku dan yang lain suka mengeluarkan kata “pinjam” jika ingin dekat-dekat merasakan angin kipas. Aku suka mengganggunya dengan berdiri di hadapan kipas. Dia tak suka dan memintaku bergeser ke samping. Lalu dia menyibak separuh bajunya, hingga memperlihatkan perut dan pinggangnya yang kecil. Mirip yang aku lakukan. Sesekali dia membuka mulutnya, menunduk, menengadah, berputar-putar tangannya seperti gerakan ayah yang sedang mengengkol mesin air. Kakak lelakiku yang semula bermain robot-robotan mendekati aku dan adikku. Kami bergantian menghadapkan wajah ke kipas angin lalu menyebutkan huruf A yang cukup panjang.
Kakakku memberikan ide untuk bermain Sebutkan Nama, siapa yang cepat dan tepat jawabannya maka dia yang jadi pemenang. Boleh berlama-lama tegak di hadapan kipas angin. Semula adikku setuju, kami bermain Sebutkan Nama, entah nama buah, negara, atau hewan, tapi seringnya nama buah. Dengan mengeluarkan jari masing-masing lalu menghitung keseluruhan jumlah jari yang dikeluarkan dengan urutan abjad. Maka setelah dapat hurufnya, siapa cepat dan tepat menjawab dalam waktu lima detik, dialah pemenangnya. Adikku tak pernah menang. Dia merajuk. Lalu permainan selesai. Begitu yang sering terjadi.
Akan tetapi, si bungsu tak bisa dilawan. Begitu aturan tak tertulis yang diam-diam disepakati keluargaku. Aku sendiri suka mengganggunya lalu aku pula yang kewalahan membujuknya. Aku mengajaknya bermain lagi dengan cara bergantian. Namun, sayangnya adikku terlanjur merajuk. Dia menangis kencang, mengatakan aku dan kakakku tidak adil hingga membuat seisi rumah menjadi gaduh.
Puas aku membujuknya hingga ibu turun tangan dan menyuruh menjauh. Akhirnya adikku bermain sendiri. Dihadapkannya wajah ke baling-baling kipas angin yang sedang berputar kencang. Lalu bernyanyi dengan suara yang sedikit sengau. Persis yang dilakukan anak si pemilik warung di hadapanku sekarang.
Aku tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca karena terkenang masa itu. Keesokan harinya adikku mengeluh, badannya panas dan perutnya kembung. Dia bilang serasa mau muntah, tapi tidak bisa dimuntahkan. Kata ibu, dia masuk angin karena terlalu banyak bermain di hadapan kipas angin. Sejak saat itu, aku dan yang lain tidak pernah lagi berlama-lama bermain di hadapan kipas angin. Tidur malam pun tidak boleh menggunakan kipas angin. Karena kata ibu, kami tidur dengan mulut menganga. Angin lebih mudah masuk ke dalam tubuh. Jadilah, kipas angin berwarna merah muda tak lagi diganggu, dibiarkan berputar begitu saja di waktu yang seharusnya. Aku, adikku, dan kakakku suka saling mengingatkan tak boleh bermain di hadapan kipas angin. Takut sakit karena masuk angin.(*)
Jambi, 29 Desember 2024
__
Komentar Juri, Imas Hanfah:
Sedikit bocoran ketika penjurian sedang berlangsung, masing-masing juri mengeluarkan jagoan mereka dengan menyerahkan nama-nama di urutan teratas. Salah satu kenyataan yang mengejutkan sekaligus sangat berkesan adalah ketika nama Pipit dengan naskah berjudul “Kipas Angin Merah Muda” ini ada di daftar semua juri.
Saat saya membaca berulang-ulang naskahnya, tentu naskah ini tidak sepenuhnya sempurna. Ada beberapa kalimat yang sedikit kurang pas, sehingga perlu diperbaiki. Namun, saya merasa itu tidak begitu mengganggu. Cerita ini, dari mulai judulnya, idenya, cara bercerita, dan bahkan endingnya, benar-benar ditulis dengan jujur dan tulus. Maka, tidaklah salah jika naskah ini muncul sebagai salah satu dari tiga naskah terbaik.
Selamat.