Ki Endang Mulia (Terbaik ke-6 TL 20)

Ki Endang Mulia (Terbaik ke-6 TL 20)

Terbaik Ke-6 TL 20
Genre Folklore
Ki Endang Mulia
Oleh: Imas Hanifah N

 

Dini hari, suara ketukan pintu terdengar beberapa kali. Rustam langsung terbangun dan ia buru-buru keluar dari kamar. Suara ketukan itu pun berhenti, tepat ketika ia mengintip lewat jendela. Tidak ada seorang pun di halaman rumah. Lantas, siapa?

“Kenapa, Kang?” tanya Asep yang juga terbangun karena suara ketukan itu.

“Tadi, ada yang ngetuk pintu, Kang. Tapi dilihat dari sini, gak ada siapa-siapa.”

Asep tersenyum. “Sudah biasa, kok. Di kampung sini, jam dua pagi, pasti ada yang ngetuk pintu. Katanya sih, itu ruhnya Ki Endang Mulia. Sesepuh kampung yang sudah lama almarhum.”

Rustam terdiam beberapa saat. Ia memang bukan orang sini, alias sedang menginap sebentar di rumah Asep, jadi ia tidak tahu soal itu. 

“Yang bener atuh, Kang?” tanya Rustam memastikan, seolah memang pernyataan yang Asep katakan itu baginya hanyalah gurauan.

“Ya, gak tahu, Kang. Itu cerita turun-temurun, cerita lama. Bener apa enggaknya, gak tahu juga. Tapi, sudahlah. Gak perlu dipikirkan, mending kita salat.”

Rustam sebenarnya tidak berniat melakukan salat malam, tetapi karena sudah telanjur bangun, ia pun mengiakan ajakan Asep.

Setelah mereka melaksanakan salat, Rustam tidak langsung tidur lagi. Begitu pula Asep. Mereka berdua duduk di ruang tengah sambil mengobrolkan beberapa hal. Tentang perjalanan Rustam besok menuju ke tempat ibunya, tentang ia yang kecopetan di tengah jalan pagi tadi, dan terpaksa mencari rumah untuk menginap sementara. Ia juga mengatakan sempat ragu untuk meminta tolong, sebab memang ia dan Asep sudah lama tidak berkomunikasi. 

“Untung aku ingat kamu, Kang. Kalau enggak, gak tahu lagi. Makasih, ya, Kang,” ucap Rustam.

“Iya, santai aja atuh.”

Asep menjawab demikian, lalu menyodorkan sebatang rokok kepada Rustam. Rustam menggeleng malu. “Sudah enggak, Kang.”

Asep mengangguk. “Bagus.”

Rustam tidak menanggapi lagi soal itu, tetapi ia mulai bertanya tentang Ki Endang Mulia yang sempat disinggung oleh Asep sebelumnya. Ya, entah kenapa Rustam jadi sangat penasaran.

“Kang, soal yang tadi itu, soal ketukan itu. Kok serem, ya? Gak ada orang, gak ada apa, tapi ada suara begitu. Kayak tiba-tiba aja.”

Asep tersenyum. “Ya, kalau bukan orang sini mah, mungkin belum biasa kali, ya. Kalau saya, sih, biasa. Semua warga pun sama. Gak merasa terganggu atau gimana-gimana. Malah beberapa ada yang memang merasa terbantu.”

“Begitu, ya. Tapi, kok, bisa ruhnya Ki Endang Mulia itu ngetuk-ngetuk pintu, Kang? Rasanya aneh saja.”

“Ya, memang aneh. Itu pun saya antara percaya dan gak percaya, tapi memang sudah lama sekali suara ketukan pintu di dini hari ke setiap rumah terdengar. Sudah sejak dulu, dan mengapa dikaitkan dengan ruhnya Ki Endang Mulia, ya, memang ada ceritanya.”

Rustam bersemangat. Ia meminta Asep untuk menceritakan semua tentang suara ketukan pintu dan hubungannya dengan Ki Endang Mulia.

Sekitar dua puluh tahun yang lalu, penduduk setempat sempat geger karena adanya suatu kejadian yang sangat tragis yang terjadi di tengah malam. Seorang Bapak tega menghabisi dua anak kandungnya sendiri. Diketahui alasan si bapak membunuh anak-anaknya adalah karena sangat miskin dan putus asa. 

Semua warga menyalahkan si bapak dan mengutuk perbuatannya. Kampung pun untuk sementara waktu berubah menjadi sangat menakutkan. 

Di malam selanjutnya, seorang warga kampung yang kurang waras bernama Sukun, mengetuk pintu rumah salah seorang warga, pada pukul dua dini hari. Ia berkata bahwa ia bertemu dengan Ki Endang Mulia, sesepuh kampung yang sudah lama tiada. Tentu, si pemilik rumah tidak percaya, sebab Sukun memang agak kurang. Namun, keesokan paginya, Sukun terlihat jadi orang yang lebih sehat pikirannya. Ditanya apa, jawabannya pun nyambung. Ia juga tidak berkeliling sambil tertawa-tawa lagi. Ia malahan jadi suka ke masjid. Tidak masuk akal, tetapi itulah yang terjadi. Sukun sembuh dan jadi manusia yang kembali berakal. Si pemilik rumah yang sebelumnya didatangi Sukun pun menceritakan kepada warga lain, soal apa yang Sukun lakukan sebelum Sukun menjadi waras. 

Karena keanehan itu, warga selalu bertanya tentang Ki Endang Mulia kepada Sukun. Dan Sukun pun selalu menjawab, “Saur Ki Endang Mulia, ulah tibra teuing.”

Katanya, kalau tidur malam hari, jangan terlalu pulas. Memang, Ki Endang itu dulunya, ya. Sesepuh kampung yang taat beribadah, peduli sesama, sering bagi-bagi makanan ke siapa pun. Ia juga tidak segan membantu yang kesusahan, apalagi kalau tetangga kiri-kanan ada yang sakit, Ki Endang Mulia selalu jadi yang paling pertama tahu.

Sejak saat itulah, suara ketukan pintu di dini hari sering terdengar, dan bukan Sukun pelakunya. Karena diketahui, Sukun selalu ada di masjid ketika itu terjadi. 

Ya, begitulah ceritanya.

Rustam sangat bersemangat setelah mendengar cerita itu dan tidak tahu kenapa, malah menyatakan bahwa ia percaya. “Saya percaya, Kang. Kalau yang ngetuk pintu itu, ruhnya Ki Endang Mulia.”

Asep tersenyum. “Ya, silakan saja kalau kamu mau percaya. Toh, tak ada ruginya. Bagi saya dan warga kampung sini, suara ketukan pintu itu seperti pengingat agar kalau tidur, jangan sampai terlalu pulas. Makanya, seringnya saya juga terbangun di dini hari. Ya, kalau sudah bangun, nanggung. Jadinya, ya, salat.”

Rustam mengangguk-angguk. Ia tampak berseri-seri. Asep pun merasa lega, karena Rustam tampak tidak terlalu sedih, tidak seperti sebelumnya, saat pertama kali ia datang. Ya, karena kemarin pagi, ia kecopetan.

Asep kembali menyalakan rokok yang baru. Ia sudah habis sebatang selama bercerita tadi. Obrolan pun berlanjut ke topik lain. Saat sedang mengobrol, sesekali, berkelebat di dalam kepala Asep, wajah sang ayah yang sangat ia rindukan. Sosok yang telah tiada beberapa tahun lalu, tetapi pesannya tak pernah sekalipun ia lupakan. 

“Saur Ki Endang Mulia, ulah tibra teuing.”***

Tasikmalaya, 2023

 

Imas Hanifah N, bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 1996. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun Facebook-nya: Imas Hanifah N atau akun IG: @hani_hanifahn. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.

 

Komentar juri:

Tidak semua hal di dunia ini perlu dijelaskan. Begitu pula dalam misteri dalam cerpen ini. Bercerita dengan ritme yang kalem, penulis mengajak pembaca untuk merenungkan sebuah pesan mendalam, tanpa menjelaskannya dengan gamblang. Penulis bahkan tidak menjelaskan dengan detail hubungan Ki Endang Mulia dengan peristiwa pembunuhan di desanya, tetapi pesannya tersampaikan dengan baik sekali.

Dengan gaya bercerita yang sederhana tapi memikat, penulis mampu menggiring pembaca untuk memahami nasihat penting yang ingin disampaikan tanpa bertele-tele. Good!

—Erlyna

Leave a Reply