Khilaf
Oleh : Ketut Eka Kanatam
“Mana Wahyu yang kukenal selalu bertanggung jawab? Apakah sekarang kamu berubah menjadi pengecut?”
Dia berusaha memancing reaksiku.
“Gugurkan saja, Sa!”
Pendapatku tidak berubah.
“Waktu itu, kamu bilang semua akan beres. Sekarang, kamu bilang begini.”
Sasa bukan gadis yang mudah menyerah, dia gigih dengan pendiriannya.
“Itu jalan terbaik buat kita, Sa.”
Aku pun sama, kokoh dengan keputusanku sendiri. Biasanya, mereka selalu sependapat denganku tentang masalah begini. Ini bukan pertama kali aku mengalaminya.
“Tidak! Aku tidak mau!”
Aku tidak suka mendengar jeritannya. Dia mulai berani membantah semua ucapanku. Untung kegelapan mulai menyelimuti pantai yang kami datangi. Para pengunjung sudah pergi setelah melihat matahari tenggelam.
“Kamu akan rugi sendiri jika tetap seperti ini, Sa.”
Setahuku, semua gadis akan malu kalau ketahuan hamil sebelum menikah.
“Nikahi aku, Yu!”
Gadis yang sudah kupacari selama dua tahun, berani menuntutku.
“Aku belum siap, Sa. Tiga tahun lagi, mungkin aku akan mengabulkan permintaanmu.”
“Itu sudah sangat terlambat, Yu.”
Dia mulai terisak-isak, memohon agar aku mengabulkan permintaannya. Aku hanya bisa mengangkat bahu, sebagai tanda bahwa dia harus terbiasa dengan kepribadianku. Aku tidak suka diatur oleh siapa pun.
Dia bukan satu-satunya gadis yang pernah kupacari. Meski selama ini, selalu ada saling pengertian di antara kami. Aku memang sudah biasa gonta-ganti pasangan.
Apa yang kami lakukan saat berduaan berdasarkan rasa suka sama suka. Tidak pernah sekali pun memaksa dia, atau mereka yang pernah kupacari, untuk menuruti semua keinginanku. Begitu pula saat rasa di antara kami semakin lama semakin terasa hambar. Aku bisa perlahan-lahan menjauhi mereka dengan berbagai alasan. Sibuk ini lah, lagi mengurus proyek apa lah yang tentu saja menyita waktuku.
Mereka pada akhirnya akan menyerah sendiri mengharapkan perhatianku. Sekian lama tidak hadir dalam kehidupannya, aku bisa nyaman mengatakan putus tanpa kata kepada mereka.
Setiap satu hubungan berakhir, aku akan mengambil jeda berhubungan dengan siapa pun. Minimal setahun aku tidak menggandeng siapa pun, sehingga rata-rata mantanku tidak akan sakit hati jika bertemu secara kebetulan.
Mereka akan memaklumi ketika aku menggandeng gadis berikutnya. Mereka juga sudah memiliki pasangan baru. Tidak ada yang merasa saling disakiti di antara kami.
Pengalaman adalah guru terbaikku. Jurus jitu itu sudah kulakukan sejak SMA dan berlanjut sampai sekarang. Pemahaman menaklukkan isi hati para gadis itu mengalir begitu saja. Awalnya, merekalah yang mulai mendekatiku. Dengan penuh antusias mereka menawarkan jalinan kasih kepadaku.
Mereka sendiri yang mengatakan kalau aku itu tampan. Aku sendiri tidak percaya dengan ucapan mereka. Aku sering berkaca untuk membuktikan ucapan mereka.
Tidak ada yang istimewa dari penampilanku. Rata-rata teman-temanku juga tinggi-tinggi seperti aku. Banyak dari mereka memiliki hidung lebih mancung dibandingkan denganku. Mata mereka juga lebih besar dengan alis tebal. Rahang mereka jauh lebih kokoh. Mungkin, yang membedakan diriku dengan mereka adalah caraku memperlakukan para gadis itu.
Hidup dengan tiga saudara perempuan membuatku mengerti perasaan mereka. Aku tahu kapan harus diam dan bicara tegas pada mereka.
***
Salah satu kekasihku pernah sakit parah, tapi tidak mau opname di rumah sakit. Aku yang merawat dia. Aku tidak segan-segan membelikan kebutuhannya saat datang bulan. Aku biasa memasangkan pembalut tersebut di pakaian dalamnya. Aku juga menyuapinya dengan penuh kesabaran sampai dia bisa makan sendiri. Tanpa segan kulap tubuhnya tanpa ada niat menggoda. Semua kulakukan dengan tulus, demi dia cepat sembuh.
Pernah juga pacarku diganggu oleh seseorang. Tanpa berkata apa-apa lagi segera kuhantam orang itu sampai babak belur.
“Kamu bilang sangat mencintaiku. Kamu tidak bisa hidup tanpa diriku.”
Ucapannya menyadarkanku dari lamunan panjang.
“Itu benar, Sa. Aku masih mencintamu. Hanya dirimu. Tidak ada tempat buat sosok yang lain, Sa.”
Kucoba meyakinkan dia kembali. Sasa adalah gadis yang membuatku merasakan hal yang berbeda dibandingkan dengan gadis yang lain. Dia gadis yang kutemui di sebuah kafe. Tidak ada binar di matanya saat bertatapan denganku. Wajah tanpa makeup terlihat datar saja saat kutatap dengan tatapan memuja.
Setiap ada kesempatan, aku pasti datang untuk minum kopi dan makan sepotong-dua potong kue buatannya. Sikapnya pun tidak berubah, sangat formal saat melayaniku begitu kukatakan kue buatannya lezat.
Dia hanya mengucapkan terima kasih dengan santun ketika kuberi uang tips. Begitu pula saat kutawarkan untuk mengantar pulang saat hujan deras mengguyur bumi malam itu. Tidak ada senyuman saat dia menolak mentah-mentah tawaranku.
Sasa lebih memilih bajunya basah karena payung yang dipakainya tidak bisa melindungi seluruh tubuhnya dari terjangan air hujan saat menuju halte bus, dibandingkan naik ke mobilku. Sikapnya yang tidak peduli sama sekali dengan fisik dan tongkronganku membuat jiwa ini semakin tertantang. Aku harus bisa menaklukkan dirinya.
Aku yang terbiasa dikejar-kejar para gadis, untuk pertama kalinya mengejar seorang gadis.
Aku ingin dipandang spesial olehnya. Aku tidak suka ketika dia memberikan senyumannya yang indah itu kepada tamu laki-laki yang lain. Sepertinya, bukan aku saja yang tergila-gila pada hasil karyanya dan karya Tuhan yang terpatri pada seluruh tubuhnya.
Dia menjadi primadona di kafe itu. Semua berharap bertemu dengannya.
Suatu hari, dia tidak masuk kerja, pengunjung kafe itu langsung berkurang drastis. Aku dan mereka—para pengunjung kafe—jadi merindukan kehadirannya. Berkali-kali kutanyakan pada teman-teman sekerjanya kenapa dia tidak masuk kerja. Semua menggeleng sambil mengangkat bahu.
***
Suatu hari, salah satu rekan kerjanya terang-terangan mengungkapkan isi hatinya kepadaku.
“Kenapa Mas terus mencari dia? Sasa itu anak udik, tidak bisa dandan, dan cupu, Mas. Bukankah lebih baik jika jalan bersamaku? Aku lebih baik dari dia dalam segi apa pun.”
Kutatap gadis pemberani itu dengan tatapan kritis. Apa yang dia katakan memang benar. Penampilannya jauh lebih baik dibandingkan Sasa. Wajah cantiknya juga terlihat gemerlap penuh warna. Dia mahir memoles wajahnya dengan makeup sehingga terlihat sempurna, tapi aku juga tahu satu hal.
Pasti butuh waktu berjam-jam untuk menyempurnakan bentuk alis agar melengkung sempurna membingkai matanya. Berapa lapis bedak yang ditaburkan demi pori-pori di pipinya tidak kelihatan? Ah, tapi untuk apa kupikirkan? Bukankah saudara-saudaraku juga melakukan hal yang sama dengannya?
Tidak mungkin kukatakan pada gadis di hadapan kalau kecantikan wajah yang ditunjukkannya sudah tidak lagi menggetarkan hati. Aku sudah bosan melihat keindahan imitasi seperti itu.
Kini aku lebih tertarik melihat alis yang dimiliki oleh gadis dingin itu. Alis tebal yang belum pernah kenal sentuhan salon. Bibirnya yang penuh hanya diolesi pewarna yang begitu tipis, terkesan asal-asalan saja saat menggoreskannya. Pipi Sasa yang bersemu merah ketika dia merasa kesal atau kepanasan, kelihatannya bukan karena polesan berbagai warna. Dan semua yang ada pada dirinya terlihat begitu alami.
Tatapan mata Sasa yang biasa saja saat kutawarkan kemewahan, juga membedakan dirinya dengan gadis lain di hadapanku.
Sebetulnya masih ada banyak hal yang bisa kukatakan kenapa aku lebih tertarik pada Sasa dibandingkan gadis yang menjadi rekan kerjanya. Namun, semua itu tidak mungkin kukatakan padanya. Aku tidak akan tega meyakiti hati wanita mana pun.
“Aku tidak bertanya tentang kabarmu karena aku tahu ada yang sudah menyukaimu,” jawabku sambil memberi isyarat pada gadis yang menembakku tadi. Selain dia, ada juga seseorang yang duduk di depanku, menatap dia dengan tajam.
Sempat kulihat sorot kekecewaan di mata gadis itu, tapi segera ditutupinya dengan senyuman lebar. Dia segera berlalu dari hadapanku, berjalan ke arah laki-laki lain di dekat kami.
Manager kafe yang memberiku informasi tentang Sasa, setelah kusuap dengan mengatakan akan menjadi pelanggan tetap di kafe itu.
***
Ternyata, Sasa izin karena pulang kampung. Bapaknya meninggal dunia. Aku susul dia ke desanya. Tak kupedulikan tatapannya yang penuh curiga kala menyambut kedatanganku. Aku hanya fokus pada ibunya yang menyambut kehadiranku dengan hangat. Apalagi saat kutawarkan bantuan agar ibunya bisa mengadakan tahlilan untuk suaminya.
Sasa tidak berkutik ketika ibunya membelaku. Ibunya percaya aku atasan anaknya. Dia menerima kebohonganku begitu saja. Hati Sasa pun perlahan melembut begitu aku bisa melakukan pendekatan dengan ibunya. Dia menerima tawaranku balik ke kota bersama-sama, dan dia juga sudah mulai memberikan senyum manisnya khusus untukku.
Kujaga hubungan kami tanpa terburu-buru memuaskan rasa dahaga begitu berduaan. Tidak ada sentuhan-sentuhan kemesraaan yang biasanya kulakukan seolah-olah tanpa sengaja ke dirinya. Apa yang biasa kulakukan kepada setiap gadis tidak kuterapkan kepadanya. Aku menampilkan diri sebagai laki-laki yang tidak berpengalaman padanya.
Perlahan, dia yang mendekat sendiri, melonggarkan pertahanannya. Rasa manis mencecap bibir yang belum tersentuh oleh siapa pun membuatku semakin tergila-gila padanya. Aku pun khilaf. Sasa seperti rokok yang selalu kuisap setiap saat.
***
“Ayo, aku antar ke tempat bagus. Jangan menolak lagi. Kamu akan nyaman menggugurkan kandungan di sana. Setelah itu, apa pun akan kubelikan untukmu. Rumah? Mobil? Perhiasan? Sebut saja, Sa.”
Sasa tetap menggeleng. Dia tidak seperti gadis lain yang menganggap pemberianku akan menyelesaikan masalahnya.
Segala bujuk rayu dan iming-iming setumpuk emas berlian tidak menggoyahkan tuntutannya. Aku hanya bisa memegang kepala yang mulai terasa hendak pecah. Apa yang harus kulakukan kepadanya?
“Apa yang kamu lakukan, Sa?”
Gerakannya begitu cepat, pisau dapur itu menancap di dadaku seperti garpu yang biasa kupakai menusuk kue buatannya.
“Aku akan lahirkan anakmu. Maafkan aku. Kau pergilah dengan tenang, Yu.”
Ternyata tidak selamanya aku bisa lolos dari lubang jarum. Tangisan pilunya membuatku sadar, dia tidak main-main dengan tindakannya. Kini, aku harus membayar semuanya.
Bali, 02 April 2021
Ketut Eka Kanatam, lahir di Pegayaman, Bali. Mengajar di Taman Kanak-kanak. Penyuka warna ungu. Berharap suatu saat tulisannya dibaca oleh semua anak didiknya.
Editor : Tri Wahyu Utami
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata