Kevin

Kevin

Kevin

Oleh: Naafisa

Kevin is calling, begitulah yang tertera di layar ponsel Aila. Dengan sigap, Aila memencet tombol bergambar telepon warna hijau.

“Selamat sore, peri kecilku,” suara lembut terdengar dari seberang sana.

“Selamat sore. Aku kira kamu udah lupa sama aku.”

“Maaf, aku sibuk akhir-akhir ini,” ucapnya. “Lagi pula kamu juga gak pernah nelepon duluan.”

“Hehe … kan, kamu tahu sendiri kalau biaya telepon itu mahal,” sahut Aila dengan polosnya.

“Aduh, kayaknya aku udah bisa nebak yang ini, sih,” guyon Kevin sambil tertawa lepas.

“Hu, resek!”

Kevin tertawa sekali lagi, kemudian bertanya sudah berapa lama mereka tidak pernah berbincang seperti ini. Itu hanya pertanyaan untuk pengalihan saja, sebuah trik agar Aila tidak cemberut terlalu lama. Gadis itu cukup jauh untuk bisa dicubit pipi tembamnya, dan menatap wajahnya yang menggemaskan.

“Eum … sebentar, aku mikir dulu.” Aila terdiam untuk beberapa saat. “Kayaknya empat atau lima bulan deh,” terka Aila.

“Udah lama juga ternyata.”

“Iya, dan pasti kamu kangen banget sama aku.”

“Dan kamu pasti lupa banget sama aku?” tanya Shavin yang hanya ditanggapi tawa renyah Aila.

“Mau es krim?” tanya Shavin lagi. Kali ini sebaliknya, Aila hanya diam mendengar Shavin tertawa. Ia menunduk, kembali teringat hari sebelum Shavin pindah rumah.

***

“Beli es krim yuk? Aku traktir deh.” Tiba- tiba Kevin menghentikan langkahnya dan menatap Aila. Tangannya kanannya menutup mulut karena berusaha menahan tawa. Baru saja ia mengatakan es krim, tapi mata gadis berambut ikal yang berdiri di sampingnya sudah berbinar-binar.

“Wah … aku mau! Ayo, sekarang ya …?” sahutnya sambil menarik-narik pelan tangan Kevin. “Aku mau beli es krim rasa cokelat, vanila, dan stro— ”

“Jangan banyak-banyak, satu aja,” Kevin memotong ucapan Aila. Meski kini usianya sudah 17 tahun, jika sudah berbicara mengenai es krim maka Aila pasti sudah membayangkan betapa menawannya tumpukan es dengan berbagai warna juga rasa.

“Ya, masa cuma satu? Nanti rasanya malah hambar, gak akan masuk ke tenggorokan, cuma nyangkut di lidah aja.” Aila mengerucutkan bibirnya, berpura-pura sebal agar Kevin mau berubah pikiran.

“Kamu ada-ada aja, sih. Mana mungkin es krim nyangkut di lidah. Adanya lidah kamu tuh yang nyangkut di es krim.” Kevin tertawa lalu mengacak rambut Aila. “Dan ingat, satu aja!”

Dengan bibir yang masih mengerucut Aila membenarkan rambutnya, kemudian memasang puppy eyes-nya. “Dua aja ya …?” pintanya.

Percaya atau tidak, tapi jika melihat gadis manja itu Kevin pasti akan kalah. Ia tidak akan tega menolak permintaan sahabatnya. Sahabat? Ya, mereka hanya sekadar bersahabat saja, bukan adik-kakak apalagi pasangan kekasih.

“Eum, baiklah peri kecilku. Aku akan memberikan sesuai keinginanmu kali ini.”

Setelah perdebatan perihal jumlah traktiran, mereka berdua pun menuju kedai es krim terdekat. Memesan es krim rasa cokelat dan stroberi seperti yang diinginkan Aila. Pun mata Aila nampak melebar saat memandangi dua es krim yang sudah digenggamnya.

“Kamu gak beli juga? Ini enak lho,” seru Aila setelah menjilat es krimnya. Kevin yang sejak tadi tersenyum sambil mengamati betapa semringahnya wajah Aila hanya menggeleng. Mengajak gadis berkaus putih itu duduk di salah satu bangku taman.

***

“Ini.” Aila menyodorkan es krim rasa stroberi.

Shavin mengernyitkan dahi. “Kenapa?”

“Buat kamu.”

“Buat aku? Tapi aku kan, beli buat kamu, masa dikasih ke aku lagi, sih?”

“Kamu pikir aku tega makan dua es krim ini sendiri dan biarin kamu ngeliatin aja. Gimana kalau nanti kamu ngiler, gak lucu, kan?” Aila tertawa setelah mengucapkan itu. Meraih tangan Shavin dan menyuruh pria beralis tebal itu untuk mengambil es krim yang belum dibukanya

“Terima kasih, peri kecilku,” ucap Shavin sambil tertawa kecil. Kesenangannya melihat raut wajah Aila juga pipinya yang berubah kembung saat rambut ikalnya diacak-acak membuat Shavin kembali menjahili Aila. Benar saja, bibirnya langsung mengerucut, tangannya dengan sigap membenarkan rambutnya yang berponi.

“Hei,” seru Kevin membuyarkan lamunan Aila.

“I—iya?”

“Kamu lagi mikirin apa? Kok diam aja?”

“Ah, enggak kok. Cuma keingat pas kita pergi makan es krim di taman aja, dan kamu bilang mau pergi.”

“Hehe … aku ingat kamu nangis waktu itu.”

“Aku enggak nangis!”

“Kamu nangis dan bilang kalau enggak akan ganggu aku lagi asal aku gak pergi,” seru Kevin senang.

“Dasar!”

“Makanya aku pergi.”

“Kenapa?”

“Biar kamu gangguin terus.”

Aila tertawa geli sebelum akhirnya melihat jam dinding di kamarnya yang sudah menunjukkan pukul 4 sore. Berpamitan karena sudah ada janji untuk mengantar ibunya berbelanja ke minimarket.

“Ya udah, aku pergi dulu ya. Nanti telepon lagi lho!”

“Hehe … iya, peri kecilku.” (*)

Naafisa merupakan nama pena dari Nilna Kaesan Nafis. Seorang pelajar yang bersekolah di SMKN 2 Bawang, jurusan Teknik Audio Video. Meski mengambil jurusan elektronika tapi ia sangat suka menulis. Belum memiliki cita-cita tetap, tapi ingin menghasilkan karya yang bisa dikenang oleh banyak orang.

JIka ingin tahu lebih lanjut bisa menghubunginya di:
Email: Nilnakaesan2001@gmail.com
Fb: Nilna Kaesan Nafis
IG: Nilna_Kaesan

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita