Ketukan di Pintu

Ketukan di Pintu

Ketukan di Pintu
Oleh: Cahaya Fadillah

Ketukan itu terulang lagi, sudah beberapa hari ia rajin mengetuk pintu kamarku. Seluruh tubuh terasa letih tidak bertenaga, bahkan untuk membuka mata saja rasanya  berat.

“Dek, bangun. Sahur, Dek,” ucapnya dengan suara berat khasnya.

Ketukannya berhenti, kali ini ponselku bergetar mengalunkan instrumen musik lembut yang kusetel khusus untuk namanya.

Bang Koki memanggil ….

Dengan mata masih mengantuk kujawab, “Iya, Bang. Sebentar,” ujarku parau.

Langkahnya perlahan menjauh, pelan, tetapi kuyakin ia berhenti untuk beberapa detik untuk kemudian melangkah menjuahi pintu kamarku.

***

“Semua barangnya sudah dibawa? Yakin tidak ada yang ketinggalan, kan?” tanya Obi teman kantor yang selalu setia mengantarku ke mana saja, menjadi sahabat terbaik sejak aku mulai bekerja di perusahaan yang sama dengannya.

“Kayaknya udah,” jawabku memperhatikan semua barang bawaan.

“Oke, kita mulai,” ucapnya sambil menarik koper, mengangkat karpet di pundak dan mengapit bantal di kedua ketiaknya.

Obi sudah masuk ke dalam kamar indekosku yang baru, sedangkan aku disuruh diam menunggui barang-barang di luar. Tidak boleh bergerak, apalagi mengangkat barang yang berat.

Berkali-kali Obi keluar masuk membawa semua barang, menatanya di dalam, menyapu ruangan, mengelap debu dan memastikan aku aman menginap di indekosan baru yang rata-rata dihuni bujangan di lantai kedua, lantai satu dikhususkan untuk wanita, tetapi kali ini hanya aku satu-satunya wanita yang mengekos di sini. Penghuni lama sudah pindah, ada yang sudah lulus kuliah, pindah kerja bahkan sudah menikah

Orangtuaku akhirnya mengizinkan untuk indekos di sini walaupun tidak khusus wanita, alasannya karena si empunya yang punya tinggal bersebelahan dengan kamarku dan peraturan yang ada termasuk ketat walau dihuni oleh pria dan wanita.

Dia, lelaki bersuara parau itu datang setiap pagi, saat aku terburu-buru memasang sepatu di depan pintu, dia tersenyum tanpa menyapa, aku membalas tanpa bertanya. Pakaian yang ia gunakan selalu berwarna putih, begitu juga topi dan sepatu yang ia kenakan. Tidak ada yang istimewa dari pertemuan singkat kami, hari, minggu bahkan bulan berjalan seperti biasa, tidak ada yang istimewa.

Kopi dan sebuah novel sudah kugenggam di tangan, bersiap duduk menyepi di ruang depan berharap fluku menghilang. Menikmati liburan dengan cuti sehari karena flu yang tidak kunjung hilang. Langkahku berhenti saat melihat ia tertidur lelap di ruang tamu dan masih menggunakan baju serba putih. Ada tulisan di dada kiri berwarna kuning yang tidak terlihat, tetapi sukses membuat aku penasaran. Langkahku semakin mengendap, pelan mendekatinya yang sedang tertidur, akhirnya kuurungkan karena takut mengganggu tidurnya. Kuputuskan kembali menikmati kopi yang mulai mendingin di kamar saja.

“Kenapa pergi, Dek?” tanyanya perlahan dengan mata yang masih tertutup.

“E … e … enggak, tadinya mau duduk di sini, tapi takut Abang keganggu, jadi mau baca di kamar saja,” ucapku gugup karena kaget dengan suaranya. Malu karena bisa saja dia memperhatikan aku mengendap-endap mendekatinya.

Ia bangun dari tidurnya, mengusap mata dan memandangku tanpa berkedip.

“Kenapa?” tanyaku serba salah.

Ndak kenapa-kenapa, masih ngantuk aja,” ujarnya sambil tersenyum.

Aku yang diberikan senyum menjadi semakin salah tingkah, “Maaf, Abang keganggu, kan? Aku balik ke kamar dulu,” ucapku melangkah pergi.

“E … tunggu!” katanya meneriakiku, seperti takut aku melangkah lebih jauh ia berdiri.

“Ada apa?” tanyaku lagi, memutar badan dan menatapnya, menunggu jawaban.

“Itu apa?”

“Apa?”

“Yang di tanganmu, itu apa?”

“Ini?,” tanyaku mengangkat cangkir kopi di tangan kanan dan novel di tangan kiri.

“Iya,” ujarnya pendek.

“Ini kopi, ini novel.” Kedua benda itu kuangkat tinggi agar lebih terlihat olehnya.

“Wangi, boleh minta? Maaf, tapi sumpah malas ke atas, haus, letih. Semalaman begadang menyelesaikan pekerjaan demi tamu penting,” ujarnya menjelaskan.

“Oh, boleh. Nih.” Aku mendekat, memberikan cangkir kopi itu ke tangannya.

Tidak butuh lama, satu gelas itu tandas tidak bersisa. Dia tersenyum menatapku. Lagi dan lagi aku salah tingkah dengan sikapnya. Caranya memandangku begitu teduh, senyumnya punyai ciri sendiri, tubuhnya tidak terlalu tinggi, tetapi juga tidak terlihat pendek. Kulit yang hitam manis membuat pesona yang berbeda di mataku. Jantungku mulai berdetak lebih cepat. Inikah jatuh cinta?

“Itu novel apa?” tanyanya menatap buku yang kupegang.

“Oh ini, novel baru kubeli seminggu lalu, sibuk bekerja tidak sempat membaca, sehari cuti mau kulahap semua,” ucapku tersenyum padanya.

“Boleh lihat?” tanyanya padaku.

“Boleh, tapi kalau ini tidak boleh minta.” Lalu suara tawa terdengar di langit-langit membuat sepi tidak lagi terasa. Hanya ada kami berdua di indekos, terlalu sepi jika tidak ada tawa yang menggembirakan.

“Sini, aku mau lihat. Kalau suka aku minta,” ucapnya meliriku dengan senyum yang membuat jantungku dua kali lipat memompa darah lebih cepat.

Kuserahkan buku bersampul merah itu ke tangannya, tidak sadar tangan kami bertemu. Kami sama-sama menatap. Dia terpana menatapku, aku salah tingkah dibuatnya.

“Kamu demam?” tanyanya padaku.

“Oh, iya, sedikit,” ucapku menarik cepat tanganku dari tangannya.

“Oh, karena itu meliburkan diri? Sudah makan?” tanyanya dengan sorot mata yang lebih serius.

“Belum, malas. Flu ini membuat hilang selera makan, Bang,” jelasku padanya.

“Ya sudah, tunggu di sini sebentar.”

Ia keluar meninggalkan aku sendiri yang bingung. Aku duduk menatap ke luar berharap ia segera datang. Benar, tidak sampai sepuluh menit penantianku, ia datang membawa berbagai macam makanan untuk diolah di dalam plastik putih. Ada ayam, beberapa sayur dan rempah.

“Yuk, ke atas,” ucapku melangkah meninggalkanku.

“Ngapain ke atas, ndak-lah, di atas kan kamar cowok, kita cuman berdua di sini, Bang. Nanti orang yang datang salah sangka,” ucapku menatap punggungnya yang menjauh.

“Di atas ada dapurnya, kamu ndak tahu?” tanyanya menunggu jawabanku.

“Oh ya?”

“Iya, ayo. Kita masak dulu,” ujarnya kembali melangkah.

“Emang bisa?”

Ia nampak mengembuskan napas, lalu menarik bajunya, memperlihatkan tulisan kuning di baju hitam yang sedari tadi membuatku penasaran. Tertulis nama sebuah restoran berbintang tujuh di sana. “Aku koki di restoran ini,” ucapnya melangkah pergi.

Detik berikutnya aku terpana, lalu menarik langkahku menuju lantai dua. Memang tidak ada aturan yang mengatakan perempuan ke lantai dua, jika bertamu ke lantai para cowok hanya diperbolehkan sampai pintu saja. Perlahan aku memperhatikan lantai dua yang lebih tertata, ada dapur dan sebuah ruangan besar untuk duduk-duduk di sana.

“Makanya sering ke atas,” katanya mengagetkanku.

“Aku kan tidak pandai masak, Bang. Percuma ke dapur,” jawabku malu-malu.

“Iya, keliatan kok ndak bisa masak,” ucapnya sambil tersenyum padaku.

Aku hanya duduk memperhatikan ia memasak, menit-menit berlalu terasa sangat cepat. Caranya memotong, mencuci dan memasak memang sangat ahli. Aku terkagum-kagum melihat atraksinya. Kurasakan detak jantungku semakin cepat. Benar, ini bukan hanya sekadar suka. Aku putuskan aku sudah jatuh cinta.

“Dimakan,” ucapnya memberikan semangkuk sop ayam yang masih hangat.

“Buatku?” tanyaku lagi.

“Lalu buat siapa? Hanya kita berdua di sini,” jawabnya dengan wajah serius. “ Kecuali ada tangan halus lain yang meminta sop ayammu,” ucapnya berbisik.

Spontan aku berteriak memeluknya, lalu tawanya menggema di indekos dua lantai yang sepi. Aku kesal bukan main, dia tertawa lagi.

“Penakut,” katanya.

“Ya iyalah, manusiawi,” jawabku jutek.

“Sudah dimakan dulu, keburu dingin nanti, abis makan cuci piring,” ucapnya melangkah masuk ke kamar. Lalu mengeluarkan kepalanya dari balik pintu dan berkata,”Abisin ya, Dek. Biar cepat sembuh. Abis makan mangkuknya taruh di sana aja, nanti Abang aja yang cuci, kamu minum obat lalu istirahat, jangan baca novel dulu, semoga cepat sembuh. Abang tidur dulu, capek,” ucapnya sambil melambai dan menutup pintu.

Buru-buru sop ayam itu kuhabiskan, turun ke bawah mengambil obat, menelannya dan tidur memeluk guling kesayangan.

***

Sudah kuyakinkan kalau aku akan menyatakan perasaanku padanya, sudah hampir satu tahun mengenalnya, layaknya sebagai abang buatku, ia selalu memastikan makanku dengan baik, baik waktu dan nilai gizinya. Ia menjagaku lebih, membuat aku semakin merasa jatuh cinta lagi dan lagi padanya.

Kuputuskan ke lantai atas, mendatanginya. Terlihat ia sibuk memasak, wangi yang dikeluarkan dari masakannya sukses membuat perutku lapar.

“Mau makan?” tanyanya padaku.

“Memangnya udah selesai masaknya, Bang?” tanyaku  memperhatikan.

“Tinggal itu cabenya saja, kamu kan suka pedas,” jawabnya sambil menunjuk penggorengan di atas api yang kecil.

“Oh iya, aku tunggu. Aku mau ngomong sesuatu, Bang,” ucapku deg-degan.

“Apa? Ngomong aja, mau ditemanin beli novel lagi?” tanyanya sambil menata masakannya di dalam piring yang ada di depanku.

Ndak, ini masalah …,” aku berhenti bicara, teleponnya berbunyi dan kupersilakan menjawab. Mungkin saja itu penting dari keluarga atau pekerjaannya.

Sambil menunggu aku sibuk mengambil makanan yang terhilang, menyomotnya, menggigit dan menelannya dengan suka cita. Rasanya enak jika setiap hari dimanja dengan masakan orang yang dicinta.

Telepon dimatikan, lalu ia menatapku serius, “Tadi mau ngomong apa?” tanyanya.

“Mau ngomong, eeem ….” Aku berhenti mengatur napas. “Eh, tadi siapa yang nelepon, Bang?” tanyaku sambil menyomot udang goreng tepung kesukaan, mencelupkannya ke sambal super pedas buatannya.

“Tunangan Abang. Dia nanya, kapan pulang ke Kalimantan?”

Bagai langit cerah yang runtuh hatiku hancur berkeping. Setahun lebih mengenalnya aku tidak pernah tahu kalau ia sudah bertunangan. Aku hanya mengetahui ia seorang pekerja keras. Pagi, siang, dan malam, dan saat gajian delapan puluh persen akan ia kirimkan ke Kalimantan, ke rumah orangtuanya, tempat ia dibesarkan.

“Oh iya, tadi mau ngomong apa?” tanyanya lagi.

“Oh ndak jadi,” ucapku menahan tangis. “Udangnya enak, tapi aku buru-buru ke kantor,” ucapku lalu setengah berlari ke lantai bawah, menghapus air mata, menahan jantung agar tidak jatuh dikarenakan patah hati yang menyiksa. (*)

 

Cahaya Fadillah, keturunan Minang tapi dicap sebagai orang Sunda tapi memilih hidup di Melayu.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata