Ketukan di Jendela Kamarku

Ketukan di Jendela Kamarku

Ketukan di Jendela Kamarku
Oleh : Musyrifatun

Malam belum beranjak separuh, tapi Bintang sudah mengetuk jendela kamarku sebanyak tujuh kali. Aku memang sedang sangat bersedih, Bintang tentu sudah tahu itu, makanya ia mengetuk jendela kamarku dan tentu saja ia menginginkan aku membukanya lalu mendengar cerita piluku, seperti biasa. Tapi sayang, malam ini aku sedang tidak ingin bercerita dengan siapa pun. Jadi kubiarkan saja Bintang terus mengetuk jendela kamarku hingga aku lelah menghitung jumlah ketukannya.

Bintang memang selalu begitu. Ia punya banyak cerita lucu untuk mengusir kesedihanku. Oiya, selain Bintang, aku juga punya sahabat lain, namanya Bulan.

Bulan hadir setelah aku bersahabat dengan Bintang. Ia sering kali ikut mendengarkan kisah piluku, hingga kami terbiasa bercengkerama bertiga meski tidak setiap waktu, karena Bulan hanya punya waktu khusus, tidak seperti Bintang yang setia menungguku dengan sinarnya yang indah, senyumnya yang manis, dan tatapannya yang teduh.

Akan kuceritakan sedikit awal mula perkenalanku dengan Bintang.

Saat itu, mendung menggelayut di langit yang mulai gelap gulita, tak ada cahaya apa pun selain kilat yang datang sesekali dengan suaranya yang memekakkan telinga. Di antara gumpalan awan hitam yang siap menurunkan jutaan tetes air ke bumi, Bintang dengan cahayanya yang indah tiba-tiba tersenyum kepadaku, ia seolah mengerti kesedihan yang tengah dialami oleh anak usia tujuh tahun yang sedang duduk sendirian di tepi jendela kamar yang dibiarkan terbuka. Itu aku.

Bintang kemudian mengajakku berbincang, mengajariku cara mengusap air mata, dan juga meyakinkanku bahwa masih ada yang menyayangiku di dunia ini, yaitu dirinya. Aku tentu saja senang mendengar kalimat itu.

Tapi Bintang diam saat aku bertanya kenapa orang-orang membenciku? Kenapa Papa dan Mama selalu memuji adik bayi yang baru dilahirkan Mama dan mereka selalu mengacuhkan aku? Apa mereka semua tidak tahu jika aku bersedih karena sikap mereka? Apa mereka tidak tahu jika aku ingin bahagia seperti adik bayi yang selalu tersenyum ceria?

“Suatu saat nanti akan datang kebahagiaan untukmu.” Hanya itu yang Bintang ucapkan kepadaku. Setelahnya ia bercerita tentang sesuatu yang lucu yang pernah ia temui. Dan aku tertawa lagi, hingga air mataku mengering dan lupa jika sedang bersedih.

Bintang sering kali mengetuk jendela kamarku pada malam hari, terutama saat ia tahu aku sedang bersedih. Ia tak muncul saat sinar matahari masih terik, ia tak mendengar jeritanku saat Papa memukul pantatku dengan ikat pinggang ketika aku tak sengaja menumpahkan susu adik bayi. Aku menangis dari setelah jam makan siang hingga matahari terbenam. Saat itulah, tepat saat matahari bersembunyi di belakang gunung, Bintang datang menyapaku, aku marah karena ia datang terlambat, tenggorokanku sudah sakit karena terlalu lama menangis dan memanggilnya.

“Maafkan aku, bukan aku tak mendengar panggilanmu. Hanya saja kau tak bisa melihat diriku saat matahari belum kembali ke peraduan. Padahal, aku selalu setia menemanimu, aku mendengar semua ceritamu.”

“Benarkah?” Aku tak percaya dengan ucapan Bintang. Tetapi ketika ia menunjukkan cahayanya yang berkelap-kelip indah sambil menceritakan kisah seorang pemuda paling tampan di dunia yang menjadi panutan jutaan umat manusia, aku menjadi lupa dengan keraguanku terhadapnya. Kisah yang ia ceritakan kali ini membuatku terpesona.

Saat itulah, saat aku sedang khusyuk mendengarkan Bintang bercerita, Bulan yang berbentuk seperti potongan biskuit yang sudah kugigit sisinya, datang dengan cahayanya yang lebih terang daripada Bintang.

“Siapa dia?” tanyaku.

“Ini Bulan, sahabatku.”

“Kenapa aku baru melihatnya?”

“Karena dia tidak bisa muncul setiap saat sepertiku.”

“Kenapa?”

“Karena dia menjalani takdirnya.”

Aku diam. Tak paham dengan apa yang bintang ucapkan, tetapi Bintang melanjutkan kalimatnya, “Sama sepertimu.”

Mulai malam itu, kami bertiga berteman baik. Meskipun awalnya aku bingung karena Bulan sering kali muncul dengan bentuknya yang berbeda-beda; kadang bulat sempurna, kadang seperti potongan biskuit, dan beberapa kali malah terlihat seperti menggendong bayangannya sendiri. Benar-benar unik.

Mereka berdua adalah teman setia, hanya merekalah yang mengerti diriku sepenuhnya. Mengerti betapa aku tumbuh dengan rasa sakit yang mengoyak dada. Sering kali mereka bisa menebak isi hatiku tanpa harus kuceritakan.

Seperti malam itu, saat Papa kembali marah dan mengamuk lalu mengunci pintu kamarku dari luar tanpa menjelaskan apa salahku. Aku mendengar Mama melarang Papa mengunci pintu karena aku belum makan dari pagi sampai siang, tapi Papa tetap tak peduli. Perutku melilit perih, lapar.

Memang sudah menjadi kebiasaan Papa, menjadikanku sasaran empuk emosinya yang meledak tanpa aku tahu sebabnya. Dulu kupikir setelah kelahiran adik bayi, sikap Papa akan berubah, tapi ternyata tidak. Justru Mama–yang dulu selalu membela saat Papa memarahiku– sekarang juga memiliki tabiat yang sama seperti Papa.

“Anak haram! Menyesal aku memungutmu dari tempat sampah!” Aku sampai hafal kalimat yang terus-menerus diulang oleh Papa itu. Aku jadi berpikir, jika adik bayi lahir dari perut Mama yang membuncit, apakah aku lahir dari tumpukan sampah yang berbau busuk hingga Papa dan Mama begitu membenciku? Entahlah.

Aku mengikat perutku kuat-kuat menggunakan sebuah kain sarung kumal. Biasanya cara ini ampuh untuk mengomandoi cacing-cacing di perutku untuk diam.

Dadaku terasa sesak. Biasanya saat seperti ini aku akan menangis lalu memanggil Bulan dan Bintang untuk menghiburku. Tapi kali ini berbeda, tubuhku terasa sangat lemah. Aku ingin sendiri, meringkuk di atas ubin yang dingin sambil memeluk lutut. Pipiku tidak lagi basah oleh air mata, mungkin mataku sudah bosan mengeluarkan cairan bening itu. Aku tak mau tahu. Bahkan saat kudengar ketukan di jendela kamarku semakin kuat, aku tak peduli.

“Pergilah, Bintang. Aku sedang ingin sendiri.”

“Aku bukan Bintang.”

“Pergilah, aku sedang tidak ingin bertemu siapa pun sekarang.”

“Tapi aku datang membawa takdir bahagia yang selama ini kamu rindukan.”

Aku sedikit terkejut mendengar jawabannya. “Memangnya kamu siapa?”

“Izrail.”(*)

 

Indragiri hilir, 15 Januari 2021

Editor : Lily

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply