Ketika Waktu Itu Telah Tiba dan Mer ke Rumah

Ketika Waktu Itu Telah Tiba dan Mer ke Rumah

Ketika Waktu Itu Telah Tiba dan Mer ke Rumah

Oleh    : Ning Kurniati

Semua orang mengatakan Kun (panggilan untuk kakek) dan Mah (panggilan untuk nenek) adalah salah satu bukti cinta sejati itu benar-benar ada di dunia ini, hanya maut yang memisahkan mereka. Begitu Kun meninggal, Mah tetap menjanda dan menolak pinangan yang datang. Semua anaknya hidup dalam pernikahan tanpa gonjang-ganjing seperti orang tua mereka. Orang-orang menjadikan keluarga Kun dan Mah sebagai panutan.

Mah, tak berbeda dengan perempuan yang lain. Ia menjadi ibu rumah tangga, bertugas mendidik anak-anak ketika Kun tidak sedang di rumah. Kata Ibu, dandanan Mah ketika masih muda dulu tak jauh beda dengan perempuan lainnya, menggunakan pupur dan pulasan lipstik yang ringan.

Begitu orangtua berkata seperti itu, maka tak lain maksudnya dari contohlah kami, ibumu ini, dan lihatlah buktinya pada nenekmu, mereka berdua sehidup-semati. Tak ada orang ketiga, keempat, dan kelima. “Carilah lelaki yang setia seperti Kun!” Mendengar nasihatnya, maka sebagai putri yang baik, aku akan diam mendengarkan sambil memikirkan, bagaimanakah ciri lelaki yang seperti itu, setia kata Ibu. Setia dalam artian apa dia yang tidak pernah berbohong dan selalu jujur. Maka kutanyakan, “Bu, memang bagaimana penampakan laki-laki yang setia itu?” Ibu tampak berpikir sebentar, tetapi jelas sekali bahwa ia juga kebingungan untuk mendeskripsikan, kemudian menjawab, “Untuk hal-hal seperti itu tidak bisa ditahu hanya dengan memandang, kita akan mengetahuinya bila sepanjang pernikahan ia tidak mendua dengan perempuan mana pun.”

Sudah berapa lama manusia mendiami bumi, jawabannya adalah beribu-ribu tahun. Tetapi, kenapa masih ada pertanyaan yang tidak terjawab. Maka mulai saat itu, aku bertekad akan menjadi penemu ciri-ciri orang yang setia.

Ketika Ibu kuberi tahu, ia menolak keras. Katanya, aku akan menghabiskan kehidupanku dengan sia-sia. Apanya yang sia-sia, kupikir itu penting karena menjawab sebuah tantangan. Bukankah pembunuhan ratusan orang lima tahun yang lalu di sebuah kota karena masalah kesetian?

*

Aku berumur tiga puluh tahun lebih, lebihnya tak perlu kubilang, dengan tinggi dua ratus meter, tinggi yang normal dan waktu yang normal untuk menikah.  Seiring dengan umur yang bertambah itu, masalah kesetian pun sering disinggung oleh Mah, Ibu dan, bibi Ann ketika menelepon, kode untuk aku segera menemukan lelaki setia seperti harapan mereka. Harapannya adalah menutup usia empat puluh tahunku dengan pernikahan dan menutup usia lima puluh tahunku dengan melahirkan seorang putri atau putra. Sungguh sebuah perkara, bagiku. Ketika tahun sudah 5050, orang dewasa masih saja mempermasalahkan pernikahan padahal itu seharusnya sudah bukan masalah. Mereka begitu percaya jodoh di tangan Tuhan, tetapi aplikasinya seolah mengatakan, jodoh itu di tanganmu. Aku terbahak-bahak.

*

Mer, bocah laki-laki yang dulunya tetangga kami kini tumbuh menjadi remaja yang dielu-elukan menjadi kandidat oleh Ibu, Mah, dan bibi Ann. Padahal, bagiku, tampangnya biasa saja, tidak menarik sedikit pun, tetapi Mer seperti senang dengan hal itu, yang sebelumnya kupikir ia akan terganggu ternyata tidak. Ia semakin giat ke rumah, pagi-pagi sekali membawakan segala jenis bubur setiap hari. Setiap hari beda jenis. Tidak hanya itu, ia juga memperbahurui gaya berpakaiannya, gaya tuturnya, sampai bahasa tubuhnya.

Kalau Mer yang dulu kesehariannya lebih sering dengan kaus oblong seperti orang yang akan bertani, sekarang Mer adalah remaja dengan kemeja seperti orang yang akan ke kantor. Sangat absurd bagiku dan mungkin baginya sangat keren.

Laki-laki yang keren (catat: bagiku) adalah laki-laki yang tampil apa adanya tanpa sungkan kepada perempuan yang ditaksir, kepada keluarga perempuan itu dan teman-temannya. Tapi Mer, ya Tuhan. Aku memohon ampun atas segala dosa-dosaku. (Hubungannya apa? Hubung-hubungkan sajalah)

*

Mer menemuiku. Hal yang tidak kusangka sama sekali. Ia bilang, sudah menunggu sejak dua jam yang lalu. Sungguh cara yang sangat buruk untuk menarik perhatian  seorang gadis.

Begini, bila seorang lelaki mau menghabiskan waktunya sebanyak dua jam hanya untuk menunggui seorang perempuan, itu adalah kesia-siaan semata, bagiku. Selama dua jam, ia bisa mengerjakan banyak hal yang lebih berguna ketimbang duduk diam, memainkan ponsel, celingak-celinguk, dan beramah-ramah pada yang melintas.

Kesalahan pertamanya di sini adalah tidak memberitahuku bahwa ia akan datang. Aku sangat tidak menyukai relasi kantor berhubungan dengan keluargaku—teman diluar dari lingkup kerja, apalagi Mah dan bibi Ann sampai tahu, percayalah itu membiarkan dengan terbuka persekongkolan antarmereka untuk bergosip tentangku dan tentu saja mencari celah untuk mengembang-biakkan hubunganku ke tahap yang namanya pernikahan. Itu mimpi buruk.

Aku bekerja di departemen perhubungan kota. Berangkat pagi pulang sore, senin sampai kamis. Bagianku adalah mencari celah untuk bisa menjalin hubungan kerja sama antar kabupaten di provinsi kami. Dengan kata lain, aku harus mampu melihat potensi baik dari sumber daya manusia maupun sumber daya lain untuk dikembangkan. Tidak lagi mengurus lalu-lalang kendaraan.

Maka ketika Mer datang dan diketahui oleh teman-teman kantor, keburukan pertama adalah teman-teman akan meledek habis-habisan selama dua minggu hanya untuk mengatakan, ya ampun Ska, kamu sepertinya gagal dalam masalah hubungan, sebaiknya sekolah lagi! Seorang Ska yang cemerlang dalam kantor mendadak berubah image-nya hanya dengan satu sebab, ketika Mer datang.

Sebelum itu semua terjadi, buru-buru aku melipir, berjalan secepat mungkin. Tiga gedung dari kantor aku berhenti dan mengiriminya pesan untuk bertemu di tempat lain. Memalukan, untuk pertama kali seorang Ska yang duluan harus menghubungi laki-laki. Mer merusak pantanganku.

*

Di jembatan Phinisi, sepuluh gedung dari kantorku, satu kilometer dari rumah. Aku seperti orang bodoh yang berdiri melihat air yang mengalir tenang tanpa bunyi gemericik. Mer yang harusnya menempuh tujuh sampai delapan menit untuk tiba di sini, malah belum terlihat sama sekali di menit ke lima belas.

Untuk seorang yang tubuhnya jangkung seharusnya ia bisa tiba lebih awal, tetapi sekarang Mer lagi-lagi tidak seperti yang kuharapkan. Bahkan siput mengalahi jalannya saat ini. Mendadak aku membayangkan Mer yang bergerak slow-motion di mana di sampingnya ada makhluk gastropoda itu sedang berusaha bergerak lebih cepat dengan cangkangnya yang memberati.

Memang di sini tidak panas sama sekali karena pot bunga raksasa bertebaran di mana-mana menaungi pejalan kaki. Tapi biar bagaimanapun Mer tidak boleh memperlakukanku seperti ini. Ini tidak etis.

Ia muncul dengan sebongkah bunga dalam peti kecil yang sepertinya itu adalah peti milik penjajal susu di setiap blok. Mer semringah, tidak tampak seperti orang yang baru melakukan kesalahan. Oke baik, memang bukan apa-apa ketimbang yang dilakukannya tadi di kantor, tapi tetap saja ini tidak etis, Mer! Ingin sekali aku berteriak.

“Maaf, aku membuatmu menunggu, ya?” Itu pernyataan atau pertanyaan, kenapa ia harus bicara seperti itu.

“Tadi, sebelum ke sini aku ke toko bunga.” Bahkan balita akan tahu itu bila ia datang dengan membawa bunga.

“Kamu marah, Ska?”

“Kenapa aku harus marah, Mer?” Tentu saja aku marah, kenapa sih, laki-laki harus bertanya hal-hal yang sudah jelas. Tidak Mer, tidak di kantor, semua orang mengulang pertanyaan yang sama ketika aku bungkam. Kamu marah, Ska?

“Oke, baiklah. Terima kasih. Ibu pemilik bunganya tadi, perutnya terlihat sakit sekali. Ia mau melahirkan. Ketika aku datang, keringat sudah membanjiri tubuhnya dan tidak ada siapa pun yang bisa menolongnya selain aku. Jadi, aku mengantarnya terlebih dahulu ke rumah sakit.”

“Ooh, kupikir kamu akan membantunya melahirkan Mer atau karena kamu sudah mengantarnya sampai ke rumah sakit, kenapa tidak menuntaskan pertolonganmu itu dengan menungguinya sampai bayi itu keluar dan menyapamu terlebih dahulu. Hai, kamu siapa? Lalu kamu akan menjawab, hai, aku Mer … aku lapar, mau pulang duluan.”

Mer masih bergeming ketika aku sudah melangkah, bahkan ia tidak mencegahku pergi atau setidaknya ia mengikutiku dan mensejajariku melangkah atau paling tidak memintaku untuk melambatkan langkah. Bahkan ketika aku berbalik setelah melangkah sebanyak lima belas kali, posisinya tetap begitu. Aku malah sempat berpikir, jangan-jangan Mer kena struck dan meninggal berdiri. Tetapi, itu terlalu kejauhan, mungkin karena perutku keroncongan.

*

Pagi-pagi sekali, Bibi Ann menelepon keesokan harinya. Masih kategori subuh bagi mereka yang terlambat bangun tepat waktu untuk salat. Ia berbasa-basi, banyak sekali, mulai menanyakan bagaimana kantor, bagaimana toko bungaku, menanyakan Kino, kucing manis yang hobi diam di kamar. Modus bibi Ann yang paling menyebalkan hanya untuk pertanyaan yang sudah bisa ditebak sejak awal, bagaimana Mer?

Rekor Mer melewati artis papan atas di rumah ini. Ia lebih terkenal lebih dari siapa pun. Namanya disebut ratusan kali oleh Mah, Ibu, dan bibi Ann dalam sehari. Aku dikesampingkan, aku terkucil.

Aku menuruni tangga, masih memakai baju tidur dengan Kino di gendongan, dan suara Mer sudah terdengar bercakap-cakap dengan Mah. Mereka duduk di teras. Aku mendekat dan mengintip lewat kaca jendela, di mana aku tidak akan terlihat oleh mereka. Astaga, bahkan bibi Ann sepagi-pagi ini sudah ada di rumah. Lalu, ketika batang tubuhnya sudah bercokol di rumah ini, untuk apa dia meneleponku tadi. Ia dan Mer terlihat seperti satu keluarga dengan Mah yang mengangguk girang seperti wajah anak gadis bersemu merah karena sedang kasmaran.

Muak, aku berbalik menuju dapur untuk mengisi perut. Ibu terlihat sibuk menyusun gelas di baki, ada susunan mangkuk dengan lima sendok, dan seteko air putih. Acara sarapan bersama. Ia tersenyum ke arah kami dan Kino langsung mengeong. Bahkan kucing tahu betul bersikap manis. Ibu segera mengambilnya dari gendonganku dan mengalihkan yang ia lakukan kepada putrinya. Ibu bertindak sebagai pengawas. Jangan lupa bawang goreng, daun bawang dan daun seledri! Ia berpesan sebelum ke depan, ikut bergabung dengan persengkokolannya.

Ketika yang dibawa oleh Mer dan perintilan yang dibutuhkan kubawa ke depan, tampak sekali ada perubahan suasana. Bibi Ann yang dari tadi sibuk membuat lelucon dengan riuh rendah suara tawa Mah dan Mer, mendadak diam dan Mah mengganti topik secepat kilat menjadi apa yang akan kulakukan habis ini.

Ibu menjawab, “Ia pasti akan ke toko bunga. Kamu ikutlah Mer, kamu suka bunga ‘kan? Di sana kamu bisa belajar banyak pada Ska.” Pasti sudah dirancang.

“Aku tidak akan ke toko bunga pagi ini. Mungkin sore dan langsung ke sana.”

“Kamu memangnya mau ke mana, Ska?” bibi Ann bertanya sambil menyerahkan mangkuk ke masing-masing orang.

“Mau ke tempat temanku.”

*

Kalau kamu marah, aku minta maaf. Oke, aku salah karena membiarkanmu berdiri di sana sendirian ketika waktunya anak perempuan harus kembali ke rumah. Untuk menebus kesalahanku, apa boleh aku ke Flies untuk membantumu. Seperti yang dibilang ibumu, aku bisa belajar banyak di sana.

Karena kamu tidak tahu banyak tentang bunga apalagi perawatannya, aku justru khawatir kamu akan merusak bungaku. Terima kasih. Mer, kalau kamu bermaksud dengan seperti ini kita akan saling mengenal lebih baik lagi sebagai remaja, kamu salah. Coba pikir ulang, Mer. Apa dengan ini semuanya akan baik? Tentu tidak Mer, yang ada cuma fitnah atau kesalahpahaman. Jadi, berhentilah berbuat di luar batas yang seharusnya.

*

Setelah berkirim pesan pada siang hari itu, aku meyakini Mer akan mundur dan hari-hari tenangku akan kembali seperti sebelumnya. Aku akan ke bawah, sarapan, kembali ke kamar, turun lagi, aku ke kantor. Di hari libur aku bisa bersenang-senang dengan bunga-bunga di Flies, memikirkan bagaimana agar bisa eksis di tengah rimbunan kota ini—apa ada yang masih butuh bunga?—dan tentunya bebas dari teroran bibi Ann, Mah, dan Ibu.

Aku memastikan bila Mer menghilang dari udara kami, maka tidak mudah bagi mereka untuk menemukan lelaki sesuai kategorinya dan menyodorkannya. Kuatur kembali hal-hal di luar dari urusan Flies dan kantor, seperti mengungjungi Ning—teman yang merasa selalu sibuk, tapi tidak sibuk-sibuk amat—untuk mengganggu hari tenangnya. Aku akan meminta ia untuk menemaniku berbelanja baju dan riasan wajah milik artis Yellow yang sudah kuincar dari berbulan-bulan lalu sebelum kedatangan orang itu.

Sudah kubayangkan wajah cemberut Ning dan tarikan napas yang muak bila kutanya ini itu tetapi ujung-ujungnya aku akan kembali pada pilihan pertama. Namun, di sela khayalanku yang indah itu, Mah datang mengetuk dan ketika pintu kubuka lebar-lebar, ia terlihat lagi seperti gadis girang karena menyukai lelaki yang baru ditemuinya.

“Mer dan orang tuanya ada di bawah.” Aku mau pingsan.

(*)

4 Januari 2020

Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link bit.ly/AkunNing

Leave a Reply