Ketika Setan Mendatangi Jibril
Oleh : Lutfi Rosidah
Langit sedang sedikit muram. Belakangan raut muka selubung dunia itu lebih sering tak bersahabat. Berada di antara kemuraman, sesosok makhluk yang hanya serupa bayangan dan tak mudah direkam menggunakan indra penglihatan, melesat menembus kemuraman langit. Sebentuk hitam yang sulit digambarkan saking buruknya, bahkan sebelum sempat membuat gambarannya, mungkin, seorang pelukis akan lebih dulu rabun tanpa menyelesaikan karyanya. Dia mengetuk pintu langit, berhenti sesaat, kemudian mengulang lagi aktivitas yang sama. Ketika pintu terbuka, sebuah cahaya putih menyilaukan, kontras dengan warna kelam sang bayangan, menyembul dari balik pintu.
“Apa yang kau lakukan di sini?” suara sosok bercahaya itu.
“Aku sedang bosan, Jibril. Bisakah kita jalan-jalan sebentar? Banyak perkembangan yang ingin aku tunjukkan padamu,” ucap bayangan yang tak lain adalah Setan.
Jibril membuka pintu lebih lebar, membenahi sayapnya agar lebih leluasa melewati pintu. “Kamu hanya akan membuang waktuku.”
“Mungkin selama hidup aku terus membisikkan kebohongan pada manusia, tetapi kau harus percaya sekali ini padaku. Aku tak hendak menjebakmu, Jibril. Aku serius.”
Setan terbang menuju bagian langit yang lain, Jibril mengikutinya. Sampailah mereka pada sebuah singgasana hitam pekat yang benar-benar penuh kemuraman.
Setan menyilakan Jibril duduk di sampingnya. Belakangan, ini adalah tempat favorit Setan ketika tak disibukkan oleh urusan menjerumuskan manusia. Dia tampak terus berbicara sambil menunjuk-nunjuk beberapa bagian belahan bumi. Dari tempat itu segala aktivitas manusia dapat mereka rekam sekaligus tanpa satu pun terlewatkan.
Telunjuk Setan mengarah pada samudra yang seluruh permukaannya diselimuti benda-benda mengapung dengan berbagai warna. Ombak yang menggulung-gulung menepi ke pantai serta merta membawa berton-ton sampah di dalamnya. Sampah terlempar jauh berbanding sama dengan tinggi gelombang yang menghempaskan diri pada pasir. Beberapa sampah tersangkut di antara bebatuan, sebagian lain turut kembali ke laut lepas. Dari kejauhan sampah-sampah tampak terus bergerak mengikuti ke mana arah air menuju. Air tak lagi memiliki kehidupan, biota-biota laut tak mampu melawan seleksi alam. Manusia telah menegaskan kekhawatiran malaikat ketika dia hendak diciptakan dahulu.
Pulau-pulau, perlahan tapi pasti mulai tenggelam di antara samudra. Pulau yang dahulu ribuan kini tersisa hanya hitungan jari. Manusia menghasilkan sampah setiap hari tanpa absen sehari pun. Berton-ton sampah yang dibuang begitu saja di sungai bermuara di lautan. Volume sampah yang terlalu banyak membuat debit air makin meninggi dan laut mengalami pasang yang tak pernah surut. Manusia purba dididik tanpa kesadaran pada lingkungan lalu diwariskan kebiasaan buruk itu pada generasi berikutnya hingga kini. Uniknya, meskipun manusia ketakutan akan datangnya kiamat, mereka tetap memproduksi barang-barang berbahan plastik yang terus digunakan dan terus saja menjadi sampah berbahaya.
Teriakan-teriakan para pecinta alam, mengembor-gemborkan kelestarian bumi tertelan di antara keegoisan manusia. Pabrik terus dbangun, makin besar dan makin tinggi menjulang. Asap dari cerobong-cerobong yang menambah pekat langit yang telah muram membuat udara makin memanas. Es kutub mulai mencair, sebentar lagi dunia akan benar-benar tenggelam.
“Bukankah ini yang kalian takutkan dahulu, Jibril?” ucap Setan seraya tertawa mengejek.
“Dan bukankah segala yang terjadi sudah Tuhan ketahui? Aku tak perlu mendengarkanmu,” balas Jibril tak mau kalah.
“Mana bukti dalilmu, Jibril, tentang kebersihan sebagian dari iman? Lihatlah manusia yang mayoritas penganut keyakinanmu! Mereka membuang sampah dengan suka-suka.” Setan tersenyum penuh kemenangan.
“Penganut agama yang mana? Jika tempat ibadah tak ubahnya gedung prasejarah tanpa penghuni. Bukankah itu yang kau mau, Laknat!”
“Aku tak bersalah atas hal itu. Aku belum sama membisikkan di telinga mereka perihal penentangan terhadap dalilmu.”
Setan beranjak. Dia tertawa, sesuatu yang tak pernah dia lakukan sebelumnya: menertawai diri sendiri.
Jibril diam memperhatikan tingkah Setan yang kegirangan.
“Apakah kau tak tahu semua ini, Jibril?” Setan menatap Jilbril yang masih bungkam, mimik muram meredupkan cahaya di tubuhnya. “Apakah kau sudah berhenti membagi wahyu pada para nabi dan juru selamat dunia? Kau tahu itu membuatku tak mendapat tantangan.”
“Kemakmuran memang membuat manusia tak butuh lagi petunjuk, Setan.” Jibril bicara seraya berdiri.
“Tunggu! Ada yang masih ingin aku tunjukkan,” Setan mencegah kepergian Jibril.
Kembali Setan menunjukkan belahan bumi yang lain pada Jibril.
“Sudahlah! Aku juga mengetahui segala tindak tanduk manusia. Tak perlu kau seperti ini. Apakah kau terlalu bahagia dengan kesuksesanmu?”
“Bukan, bukan itu, aku hanya bosan dan butuh tantangan baru,” sergah Setan.
Jibril mengurungkan niatnya lalu kembali menyimak cerita Setan.
Di saat ini manusia memang memiliki kebebasan seluas-luasnya atas hak sebagai seorang pribadi. Tak ada lembaga agama yang akan menikahkan sepasang kekasih. Mereka cukup saling menggenggam dan berucap cinta berarti sudah menikah. Itu pun tak ada aturan baku jika tetiba mengikat janji dan sejam kemudian salah satu merasa bosan lalu bercerai. Pernikahan dengan ritual sakral saat ini hanya menjadi sejarah peradaban kuno masa lalu. Pernikahan tidak tentang hubungan lawan jenis–lelaki dan perempuan–sejenis pun itu tak masalah. Bahkan orang boleh menikah dengan benda, hewan, atau apa pun yang mereka sukai, bebas. Sepasang, dua pasang, tiga pasang, atau bisa pula lima pasang sekalipun, sebuah ikrar janji dilegalkan.
Orang-orang yang hidup sesama jenis pun tak harus bingung ketika ingin memiliki anak, banyak boneka-boneka perempuan yang siap menjadi inang bibit mereka. Dengan rekayasa genetik boneka-boneka itu bisa menghasilkan indung telur yang siap dibuahi. Bagi pasangan kere, mereka bisa meminjam rahim perempuan kenalan mereka sebagai ibu sewa.
Setan mengarahkan telujuknya pada sebuah gedung yang tinggi. Tampak ada jutaan tabung kecil yang berisi cairan di sebuah lantai paling atas gedung. Sebuah tempat di mana setiap manusia boleh menyimpan calon bibit keturunannya dengan jaminan asuransi gratis dari PBB.
Tampak seorang pria sedang dipapah dua orang pria berseragam cokelat muda. Pria itu dibawa ke sebuah ruangan yang seluruh bagian temboknya terbuat dari kaca. Puluhan orang berdiri mengamati mereka bertiga tanpa ada keinginan melakukan sesuatu–mereka hanya menonton. Lelaki yang tak berseragam dilucuti lalu salah satu pria berseragam memegang senjata pria itu, melakukan gerakan naik-turun hingga cairan luruh di ujungnya. Sebuah tabung telah disiapkan untuk menyimpan hasil kerja mereka. Para penonton bersorak ketika proses pemerkosaan itu selesai. Pria itu memang bukan pria sembarangan, dia adalah ilmuan nomer satu di dunia.
Belum lama berselang puluhan wanita telah mengantre di depan gedung berlantai ratusan itu. Ada yang hanya membeli bibit yang bisa dipilih dari catatan di meja lobi lantai dasar. Di mana terdapat daftar pemilik sperma sekaligus foto pemilik beserta perkiraan wajah anak keturunannya. Ada pula yang dengan suka rela menerima bibit langsung dari pemiliknya, di mana pun mereka mau menitiskan benihnya.
“Kau sudah puas, Setan? Mengolok-olokku?”
“Hai, siapa yang mengolokmu, wahai Jibril? Aku datang malah ingin berempati atas semua kerusakan manusia. Mungkin aku sudah keterlaluan memengaruhi mereka, aku jadi sedikit menyesal.”
“Ach! Omong kosong macam apa? Bukankah kau memang mencari teman sebanyak-banyaknya untuk kau ajak ke neraka?”
“Ketika manusia masih tolol, iya! Betapa bangga aku telah menyesatkan mereka, tetapi kini manusia sudah sangat jenius. Aku merasa tak cukup cerdas untuk mengarahkan mereka. Apalagi setelah pulau Olympic mengadakan pesta seks besar-besaran, di mana seluruh pulau penuh dengan pergulatan tanpa rasa malu dan bersalah. Aku merasa tak berguna, Jibril.”
Jibril tertunduk, hatinya sakit. Bagaimana dia akan mengangkat muka menghadap Sang Pencipta dengan kegagalan misinya memberi petunjuk pada para utusan Tuhan? Dia berharap Tuhan segera menurunkan azab-Nya, menyegerakan perhitungan amal manusia atau mungkin secercah harapan dari seorang saja yang masih menyebut nama Tuhannya.
“Lalu apa tujuanmu menunjukan semua ini? Berhentilah menjadi sok baik, Setan!”
“Aku hanya ingin kau menyampaikan pada Tuhan bahwa aku ingin mengajukan pensiun dini sebelum kiamat datang, Jibril. Manusia sudah terlampau rusak hingga kehadiranku tak dibutuhkan lagi.” (*)
Lutfi Rosidah, tak banyak berharap hanya berusaha menjadi berguna selama hidupnya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata