Ketika Sebuah Kritik Tersampaikan Lewat Harum Secangkir Kopi
Oleh : Ardhya Rahma
Judul : Dua Barista
Pengarang : Najhaty Sharma
Tahun : 2020
Penerbit : Telaga Aksara
Tebal : 495 halaman
Apa yang kamu bayangkan ketika melihat cover buku ini? Genre apa yang pantas untuk cover ini?
Awal disodori buku ini dari beberapa judul buku lain oleh marketer-nya, saya tidak percaya kalau buku ini genrenya roman religi. Alasannya, judul dan cover tidak menggambarkan kereligiusan isinya. Ketika melihat cover, di benak saya seketika melintas bayangan dua orang barista di sebuah kafe bernuans cozy tengah berduel meramu kopi nikmat untuk pelanggan VIP-nya.
Namun, benar apa kata pepatah “don’t judge a book by its cover”—jangan menilai sebuah buku dari sampulnya. Kenyataannya isi buku ini tidaklah menceritakan tentang perjalanan atau keahlian seorang barista meramu kopi arabika atau robusta, melainkan berkisah tentang kehidupan rumah tangga dengan problematika seputar poligami, suka duka poligami dari sudut pandang pelaku poligami.
Mendengar buku ini berkisah tentang poligami, awalnya saya berpikir, waduh, lagi-lagi tentang pelakor, nih. Yup, pelakor, kosakata yang sering sekali dikaitkan dengan poligami dan sukses membuat saya underestimate. Pasti isinya drama perebutan suami oleh dua istri. Akan tetapi, lagi-lagi bayangan saya terpatahkan.
Memang ada drama dalam buku ini, tapi bukan drama perebutan suami oleh istri pertama dan kedua sebagaimana cerita yang ada di televisi maupun channel gosip. Tiga tokoh yang terlibat adalah pribadi yang santun, berbudi, dan memiliki pemahaman agama yang mumpuni, sehingga tidak perlu terjadi adegan caci maki dan sumpah serapah yang sering bikin saya enek ketika membaca suatu cerita.
Konflik batin yang dialami oleh Ning Mazarina, seorang perempuan yang ditakdirkan tidak dapat memberikan keturunan pada suaminya dan harus rela mengizinkan suami menikah kembali; galaunya hati Gus Ahvash yang mesti menerima desakan menikah lagi demi kelangsungan pesantren meski harus menyakiti perempuan yang paling dia hormati dan cintai; perang batin antara keinginan mengabdi dan rasa rendah diri yang dialami Meysaroh; pun konflik batin Ibu Gus Ahvash dan Bapak Ning Mazarani tersaji apik dalam untaian narasi dan dialog. Penokohan yang tergambar dalam dua barista bagi saya terasa sangat pas.
Setiap karakter digambarkan memiliki kelebihan juga kekurangan. Karakter Gus Ahvash yang awalnya terlihat sempurna baik secara fisik maupun kecerdasan toh pada akhirnya merasakan yang namanya tidak percaya diri ketika berhadapan dengan sosok Juan yang tidak kalah keren tapi kurang “sholeh”. Ning Mazarina yang cantik dan cerdas pun bisa merasakan kesedihan mendalam ketika melihat suaminya semakin bahagia bersama istri keduanya yang dulu adalah khodimah mereka. Latar belakang Meysaroh sebagai mbak ndalem atau khodimah (ART) yang awalnya canggung akhirnya bisa berubah sedikit arogan ketika sudah memberikan keturunan pada Gus Ahvash. Semua digambarkan secara wajar seperti kehidupan nyata lewat narasi dan dialog, contohnya seperti berikut ini:
“Ya Allah Bu Nyai … mugi paringi kiat,” celetuk perempuan tua itu sambil menjelaskan sebelum kemudian berlalu mencari tempat duduk.
“Jenengan kuat dimadu. Padahal baru lima tahun menikah. Anak saya sudah dua puluh tahun belum hamil Bu Nyai, untung suami Narti tidak minta cerai, tidak juga poligami. Jenengan saya doakan kuat ya Bu Nyai…”
Begitu doa sang ibu jamaah Abah yang tak kukenal. Dia mungkin tidak tahu, jika doanya itu justru membuatku nelangsa.
Salah satu adegan ini menggambarkan sisi rapuh seorang Mazarina yang tegar, sekaligus menjadi sebuah kritik sosial menurut saya.
Ketika Mazarina sedang nelangsa karena lima tahun tak berputra lalu dipoligami, ia mendapati ada Narti yang 4x lebih lama merasakan sepi tanpa bayi tapi tetap merasa beruntung karena suami Narti tak mendua.
Sebuah kritik yang mengena. Orang biasa pun nyatanya bisa menerima qadla’ dan qadar lebih baik. Adegan itu juga mengajarkan bahwasanya hidup itu tak boleh saling membandingkan. Ibu Narti melihat cobaan Maza begitu hebat namun Maza juga melihat keluarga ibu Narti sangat kuat. Kalau orang Jawa bilang, hidup itu sawang sinawang, semua sudah sesuai dengan porsinya.
Kritik lain tersampaikan lewat nasihat ayah Ning Mazarina pada Gus Ahvash.
“Kalau kita mau merenung, meneruskan pesantren harus dengan keturunan sedarah bisa jadi bentuk kesombongan terselubung. Amal jariyah tidak harus melalui anak kandung. Bagaimana kalau memang kita tidak berketurunan? Yang kita butuhkan itu itu menghidupkan Islam atau melestarikan kerajaan? Kalau kita merasa bahwa keturunan kita saja yang mampu mengemban amanah ini, dan orang lain tidak berhak. Lalu apa itu jika bukan kesombongan? Di mana letak keikhlasan kalau feodalisme mengungkung?”
Atau pada nasihat apik dari sahabat Gus Ahvash, Gus Rozi yang tidak berani berpoligami karena takut dicap menistai agama.
Cerita yang mengharu biru, penuh dengan nasihat tanpa bersifat menggurui dan dengan ending yang di luar dugaan. Meski terdapat kekurangan penulisan dalam tanda baca, juga beberapa istilah yang hanya dimengerti kalangan pesantren, hal tersebut tidak mengurangi keindahan jalinan aksara yang dirangkai menjadi cerita apik oleh penulis. Sungguh novel, yang layak untuk dijadikan pelajaran dan bukan sekadar dibaca. (*)
Ardhya Rahma, nama yang ingin ditorehkan dalam setiap buku yang ditulis. Berdarah campuran Jawa dan Kalimantan. Mempunyai hobi membaca dan traveling. Baginya, menulis adalah proses mengikat ilmu dan pengalaman hidup. Berharap mampu menuangkannya dalam buku yang sarat makna bagi pembaca. Tulisan yang lain bisa dijumpai di akun FB @Ardhya Rahma.
Editor : Devin Elysia Dhywinanda
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata