Ketika Mereka Menghakimiku

Ketika Mereka Menghakimiku

Ketika Mereka Menghakimiku

Oleh : Ina Agustin

 

Layaknya seorang istri, aku melayani semua keperluan suami. ‘Ku ingin menjadi istri yang senantiasa mendapat ridho-nya. Hari-hari kujalani bersama Mas Arif dan putra kami, Faris, yang baru berusia dua belas bulan.

“Mas, ini sarapannya sudah siap,” ujarku sembari menata hidangan di atas meja makan.

Lalu aku duduk dan terdiam. Entah kenapa tak berselera.

“Lho kok diem? Ayo, kita sarapan!” ajaknya.

“Aku enggak enak badan, Mas. Lemas dan pusing. Nanti saja makannya,” jawabku sambil memegang kening.

“Dek, kamu sudah dapat tamu bulanan belum? Soalnya Mas perhatikan sebulan ini enggak ada libur salatnya.”

“Oh iya, belum, Mas,” jawabku datar.

Tiba-tiba ibu mertua menghampiri dengan tatapan mata sinis.

“Nanti siang Mas belikan test pack ya!”

“Buat apa, Mas? Paling juga cuma telat. Kan aku sudah biasa telat,” tukasku.

“Enggak ada salahnya dicoba, Dek!”

Mungkinkah aku hamil? Rasanya belum siap untuk itu. Namun, aku menyetujui permintaan Mas Arif untuk mengeceknya dengan alat test pack. Sekadar untuk memastikan, tidaklah mengapa. Tapi bagaimana kalau ternyata hasilnya positif?

Keesokan harinya, sesaat setelah bangun tidur, aku melangkah ke kamar mandi sambil membawa stik kecil berwarna putih itu. Dengan perasaan yang berdebar-debar, kucelupkan benda itu ke dalam wadah yang telah berisi urin. Dalam hitungan kurang dari satu menit, muncullah dengan jelas dua garis merah.

Deg!

Kuperlihatkan hasilnya pada Mas Arif, sesaat setelah ia pulang dari masjid.

Alhamdulillah,” ujarnya sambil tersenyum.

“Tapi Mas, Faris masih kecil,” keluhku.

“Anak itu bagian dari rezeki yang harus kita syukuri, Dek! Banyak pasangan di luar sana yang belum memiliki keturunan padahal sudah berbagai upaya mereka lakukan. Bersukurlah kita termasuk yang mudah mendapatkannya,” jelasnya.

Mual, muntah, pusing, lemas menghiasi hari-hariku. Badanku mudah sekali lelah dan sakit-sakitan saat mengandung. Dan sungguh bukan hal yang mudah mengurus balita dalam keadaaan berbadan dua.

“Kenapa kamu enggak KB, Ratih? Udah tahu si Faris masih kecil,” protes ibu mertuaku. “Arif juga kerjanya masih serabutan! Gimana nanti biaya hidupnya?!” lanjutnya dengan nada kesal.

Kenapa aku yang disalahkan? Bukankah ini hasil perbuatan anaknya? Haruskah kukatakan bahwa Mas Arif-lah yang melarangku KB karena ia ingin memiliki keturunan yang banyak?

Hari demi hari selalu kudengar suara sumbang itu, bukan hanya dari ibu mertuaku, tetapi juga dari beberapa saudara ipar. Aku merasa tertekan dengan semua ucapan mereka yang selalu memojokkanku. Mereka menganggap ini semua adalah salahku. Kesal, benci, marah bercampur jadi satu. Apa yang harus kulakukan?

Kutahan segala sesak di dada hingga akhirnya masa itu pun tiba. Saat Mas Arif bermain dengan Faris di ruang tengah, tiba-tiba perutku kontraksi.

“Kenapa, Dek?” tanya laki-laki berpostur tinggi kurus itu seraya menghampiriku.

“Pinggang dan perutku sakit sekali, Mas,” sahutku sembari memegangi bagian yang terasa sakit.

“Sepertinya Ratih mau melahirkan, Rif. Cepetan sana jemput Bik Narti!” seru ibu mertua.

Aku menangis merasakan mulas. Perutku seperti sedang ditusuk-tusuk jarum. Keringat dingin membasahi tubuh. Saat Bik Narti datang, ternyata baru pembukaan dua, katanya. Ah, sudah sesakit ini, kenapa baru pembukaan dua? Tak lama kemudian ada seorang lelaki yang menyusul Bik Narti untuk menolong istrinya yang akan melahirkan. Katanya sudah hampir terlihat kepalanya. Gegas Bik Narti meninggalkanku.

Rasa mulas yang semakin dahsyat membuatku menangis, mengerang kesakitan. Sudah beberapa jam lamanya, akan tetapi pembukaan belum bertambah juga. Tak mungkin aku menunggu Bik Narti. Akhirnya Mas Arif membawaku ke bidan. Kuikuti instruksi bidan selama proses persalinan. Mulai dari cara menarik napas dan mengejan.

“Ayo Bu, tarik napas, keluarkan perlahan sambil ngedennya liat perut ya!”

Sudah kulakukan namun tak segera keluar. Bidan kembali menginstruksikan. Untuk yang kedua kalinya, anak kami lahir bertepatan dengan azan subuh. Mas Arif memberinya nama Muhammad Hanif.

Aku bahagia saat melihat kehadiran bayi mungil itu. Namun, setelah tiga hari kelahirannya, tiba-tiba rasa bahagia itu berganti menjadi rasa takut tiap kali mendengar suara tangisannya.

“Sayang, bangun! Dede Hanif-nya nangis nih, pengen mimik,” seru Mas Arif sembari mengguncang bahuku.

Aku bangun dan mengambil posisi duduk saat menyusuinya. Namun, baru sekitar beberapa menit, tiba-tiba saja aku berteriak histeris. Hampir saja kulemparkan Hanif. Beruntung, Mas Arif segera mengambilnya dari tanganku.

“Hey, Ratih! Kamu kenapa? Enggak ada angin enggak ada hujan, tiba-tiba teriak, hah?” tanya ibu mertua dengan nada marah.

Hari-hari berikutnya, rasa takut selalu menghantuiku tatkala makhluk kecil itu menangis. Suara tangisannya yang memekakkan telinga membuatku takut, panik, dan pusing tujuh keliling. Bahkan aku sering berteriak tiap kali menyusuinya. Bukan hanya takut melihat bayi, tetapi aku juga tidak mau mengurusnya. Entah perasaan apa ini. Aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Waktu anak pertama lahir semua berjalan lancar. Tidak ada perasaan seperti ini.

Ibu mertua berkata bahwa aku ibu yang tidak becus mengurus anak. Kakak ipar pun berkata demikian. Belum lagi suamiku ikut menyalahkanku.

“Ratih, Hanif nangis, cepetan mandinya!” seru Ibu mertua sembari menggedor pintu kamar mandi berkali-kali.

Aku hanya bergeming tanpa sepatah kata pun. Lalu, aku masuk ke dalam bak mandi dan membuka keran hingga air mengucur deras tepat di atas kepala, selama lebih dari tiga puluh  menit. Badanku menggigil. Mas Arif berteriak memintaku untuk segera membuka pintu. Namun, lagi-lagi aku tak menghiraukannya. Kemudian Mas Arif mendobrak pintu kamar mandi.

“Dek, jangan kayak gini dong! Jadi ibu itu harus gesit dalam melakukan semua pekerjaan. Enggak baik lama-lama  di kamar mandi!” protes Mas Arif tanpa peduli apa yang kurasakan.

Pada malam harinya, saudara dari pihak Mas Arif semua menginap di rumah menemaniku. Namun sayangnya kehadiran mereka malah membuatku tambah stres karena lisan mereka yang sangat menyakitkan. Hatiku bagai disayat sembilu.

“Ratih, kamu harus bisa bedain dong! Tinggal di rumah orang tua sama tinggal di sini! Kamu jangan manja!” timpal Ibu mertua.

“Kamu juga harus rajin ganti popoknya, jangan dibiarkan begitu saja! Kasian bayi kamu! Kan yang mandiin sudah ada paraji. Kamu tinggal ganti popok aja, susah banget!” debat kakak iparku.

Lagi-lagi semua orang menghakimiku. Aku tidak menangis saat mereka berkata-kata. Aku hanya diam dengan tatapan kosong. Mas Arif pun memandangiku dengan wajah kesal. Aku benci sekali tatapan itu. Aku benci anak keduaku. Gara-gara dia, semua orang menghakimiku. Semua orang menyalahkanku.

**

Sampai di suatu hari, saat Mas Arif kerja dan Ibu mertua ke pasar, hanya ada aku dan bayiku. Saat aku hendak menjemur pakaian, tiba-tiba ia menangis kencang sekali. Kugendong tetap saja menangis, kususui ia, tetapi nangisnya bertambah histeris, jeritannya melengking menusuk telinga. Kutatap nanar wajah mungilnya, lalu kulemparkan ia dengan kasar. Dengan napas memburu, kututup mukanya dengan bantal. Suara tangisnya pun perlahan menghilang. Sunyi. (*)

 

Ina Agustin, seorang perempuan biasa yang sedang belajar merangkai kata.

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply