Ketika Langit Kelam Terbungkus Malam

Ketika Langit Kelam Terbungkus Malam

Ketika Langit Kelam Terbungkus Malam

Oleh : Ika Mulyani

 

Sudah seperempat jam berlalu dari pukul sepuluh malam, tetapi dua petugas yang harus menggantikanku, belum juga tiba. Sementara itu, Tono—rekanku berjaga malam ini—bergegas pulang begitu jarum menit jam dinding menunjuk ke angka dua belas.

“Anakku badannya panas lagi. Aku harus cepat pulang,” katanya tadi.

Rumah sakit tempatku bekerja sebagai petugas keamanan, adalah kompleks bangunan tua yang dibangun pada masa penjajahan Belanda. Setiap siang berganti malam, aura menyeramkan selalu terasa bagiku.

Pos Utara tempatku berjaga ini berhadapan langsung dengan gedung poliklinik dan Askes. Di siang hari, kedua gedung itu ramai oleh pengunjung, tetapi menjadi gelap dan sepi begitu langit kelam terbungkus malam. Instalasi gawat darurat di samping poliklinik pun terlihat sepi malam ini, tidak ada satu orang pun yang terlihat dari sini. Tempat yang biasanya ramai tidak kenal waktu itu, kali ini bagaikan bangunan tidak berpenghuni.

Di sekitar Pos Utara ini terdapat pohon-pohon besar berdaun rindang, bahkan ada sebatang pohon beringin tua di samping musala, di sebelah barat pos. Malam ini, angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Suara daun bergemeresik jadi terdengar menyeramkan. Tubuhku menggigil oleh rasa dingin yang menggigit. Dingin ini rasanya tidak biasa, membuat hatiku makin menciut oleh rasa takut.

Di balik postur tinggi tegap tubuhku, sebenarnya aku adalah seorang lelaki penakut. Aku juga amat percaya pada keberadaan hantu, meskipun belum pernah sekali pun berjumpa dengan makhluk astral itu. Aku pernah berteman dekat dengan seorang indigo, yang sering menceritakan secara detail tentang pengalaman supranaturalnya.

Tidak ada seorang pun yang tahu sifat penakutku; tidak para staf lembaga outsourcing yang menerima lamaranku untuk menjadi petugas keamanan, bahkan tidak juga istri dan ketiga anakku.

Seakan-akan belum cukup semesta mengempiskan nyaliku malam ini, tiba-tiba lampu di dua tiang penerangan terdekat dari Pos Utara, padam hampir bersamaan. Memang sudah tiga malam, nyala bola lampu di depan IGD dan di dekat musala itu, terlihat redup. Suasana di tempat ini seketika menjadi gelap dan terasa makin mencekam. Berkas cahaya dari tiang lampu yang lain, tidak cukup kuat untuk sampai di sini.

Bulu kudukku seketika meremang, keringat dingin mulai membasahi punggung dan dahi.

Di dalam gelap, bentuk benda-benda di sekitarku jadi terlihat berbeda. Pohon besar di sebelah timur sana tampak seperti tubuh hantu raksasa dengan tangan panjang yang melambai-lambai mengerikan.

Aku tersentak saat melihat ke arah pohon beringin dekat musala. Sepertinya ada sesosok makhluk tinggi besar bermata merah di sana. Dadaku terasa sakit karena jantung yang berdegup amat kencang. Segera kupejamkan mata, tetapi rasa penasaran membuatku kembali membukanya perlahan. Sosok itu tidak lagi terlihat, mungkin hanya halusinasi. Akan tetapi, aku yakin sesaat tadi melihat sorot mata merah yang tajam mengerikan.

Pandanganku beralih ke musala. Di balik jendela tempat ibadah itu, kulihat kelebatan berwarna putih. Mungkin hanya mukena yang tergantung dan berkibar tertiup angin yang berembus dari jendela terbuka, atau bisa jadi ada seseorang yang tengah melakukan salat di sana. Namun, ketakutan terlanjur menguasai benakku. Aku tidak lagi bisa berpikir logis dan langsung teringat pada rumor hantu perawat yang pernah kudengar.

“Jangan-jangan, itu suster tua yang diceritakan ibu kantin waktu itu?” desisku, lalu segera memalingkan wajah, kembali mengarah ke gedung poliklinik.

Aku tersentak ketika mendengar suara melengking dan melihat kelebatan sesuatu terbang di atas atap gedung itu. Mungkin hanya kelelawar, atau … jangan-jangan kalong wewek! Aku bergidik, membayangkan penggambaran makhluk itu, yang pernah disampaikan oleh teman indigoku.

Kupejamkan mata rapat-rapat dan menutupkan tangan ke kedua telinga, sementara bibir berkomat-kamit melafalkan doa yang bisa kuingat. Menyesal aku tidak menurut pada Emak, untuk rajin mengaji sewaktu kecil dulu.

Mengapa pula tadi siang aku harus lupa untuk mengingatkan petugas bagian pemeliharaan, agar segera mengganti—setidaknya satu dari dua—lampu yang sudah terlihat sekarat itu? Benar-benar sial!

Sebenarnya, bisa saja aku pergi ke ruang logistik untuk mengambil sendiri bola lampu cadangan dan memasangnya sekarang. Sebagai petugas keamanan, aku memegang kunci cadangan ruangan itu. Akan tetapi, tiang penerangan cukup tinggi, harus ada orang yang memegangi tangga saat aku menaikinya untuk mengganti bola lampu. Selain itu, ruang yang dimaksud persis bersebelahan dengan kamar jenazah.

Ruangan itu memang hanya berisi jasad orang yang sudah mati. Namun, cerita yang kudengar dari ibu kantin membuatku tidak pernah berani melintasinya sendirian bila hari sudah gelap.

***

Saat itu, siang yang terik, di hari kelima aku bekerja di rumah sakit ini, si pemilik kantin menuturkan ceritanya.

Satu ketika, seorang pasien perempuan yang kondisi livernya sudah sangat memprihatinkan, dengan harapan hidup yang amat tipis, mendapat perawatan intensif di ruang VVIP. Setiap malam, dokter dan perawat memeriksanya dengan teliti. Selain itu, menurut si pasien, seorang perawat berusia lima puluhan selalu mengunjungi ruanganmya di setiap pukul dua dini hari, memastikan keadaannya.

Setelah tujuh hari, dokter terkejut melihat perkembangan kesehatan pasien tersebut yang berangsur pulih. Si pasien mengatakan bahwa ia ingin sekali mengucapkan terima kasih, terutama kepada suster yang selalu datang saat dini hari. Hal ini membuat semua staf rumah sakit tergemap, karena tidak ada perawat perempuan dengan ciri-ciri seperti yang diceritakan olehnya.

Jadi, siapa—atau apa—sebenarnya suster perempuan misterius itu? Tidak ada seorang pun yang tahu.

“Itu,” ucapku sambil menelan ludah sebelum melanjutkan, “beneran, Bu?” Mendadak aku merasa kedinginan di tengah hari yang panas menyengat kala itu.

“Ya, katanya begitu,” tukas ibu kantin. “Serem banget pokoknya!” ucapnya lagi sambil bergidik.

Seketika aku merasa lemas, membayangkan masih harus berjaga hingga pukul sepuluh malam nanti, dan lima hari berikutnya—setelah libur satu hari—mendapat bagian berjaga dari pukul sepuluh malam hingga pagi.

Hari itu, adalah seminggu setelah aku menandatangani surat kontrak dengan sebuah perusahaan outsourcing penyedia petugas penjaga keamanan dan petugas cleaning service. Di dalam salah satu pasalnya, terdapat pernyataan bahwa pegawai bersedia ditempatkan di mana pun. Siapa saja yang melanggar pasal itu dengan meminta pindah lokasi, maka perusahaan akan memberikan sanksi berupa pemecatan langsung tanpa pemberian pesangon, terkecuali ada alasan yang benar-benar mendesak.

Ketakutan jelas bukan alasan yang mendesak, apalagi petugas keamanan dituntut untuk selalu siap dan sigap menghadapi bahaya apa pun. Aku sudah pasti tidak bisa meminta untuk pindah lokasi bekerja. Tidak mungkin kulepas pekerjaan yang baru saja kuperoleh dengan susah payah ini.

Lagi pula, waktu itu, sebentar lagi istriku akan melahirkan anak kami yang ketiga. Sehari sebelumnya, aku sudah berhasil mendapatkan pinjaman uang untuk biaya bersalin. Mengetahui aku sudah bekerja sebagai petugas keamanan rumah sakit, kakak iparku langsung memberikan pinjaman sebanyak dua juta rupiah tanpa bunga, untuk dicicil sebesar dua ratus ribu per bulan.

Jika dipecat tanpa pesangon, dengan cara apa aku melunasi pinjaman itu? Bagaimana pula aku harus menghidupi anak istri jika menganggur lagi? Aku tidak lagi berkeinginan untuk menjalani berbagai pekerjaan serabutan yang melelahkan, tetapi hanya menghasilkan uang yang sedikit.

Jadi, aku pun mencoba untuk bertahan, meski harus berperang dengan rasa takut yang mengungkung, setiap kompleks rumah sakit tua ini diselimuti kegelapan malam yang terasa mencekam.

Gerakan sekecil apa pun di dalam gelap, akan membuatku tersentak dengan jantung berdebar kencang. Panas dingin selalu mendera tubuhku di setiap shift malam yang terasa panjang dan menyiksa.

***

Pernah suatu kali, aku terpaksa memasuki ruangan jenazah itu seorang diri.

Ada seorang perempuan korban tabrak lari yang kejadiannya tidak jauh dari pintu gerbang rumah sakit ini. Aku ikut membantu menggotongnya sampai ke ruang IGD. Hanya berselang satu jam kemudian, korban kecelakaan itu lewat di hadapanku di atas brankar, dengan sekujur tubuh tertutup kain putih.

“Korban yang kita gotong tadi, ini, Bur! Enggak ketolong!” seru si perawat IGD. “Tolong anterin ke kamar mayat, ya. Aku belum salat Magrib, nih. Sebentar lagi udah mau Isya.”

Andai ada Tono—rekan berjagaku saat itu—pasti kuminta ia saja yang membawa jenazah itu. Akan tetapi, entah sedang ke mana ia. Terpaksa, kudorong brankar itu dengan jemari—dan juga hati—bergetar. Ada bercak warna merah di kain penutup bagian kepala mayat ini, menguarkan bau amis darah.

Selasar rumah sakit yang kulewati terasa amat panjang dan tidak berujung. Sialnya, kantin yang biasa ramai, kali ini sepi sekali, tidak terlihat satu orang pun di dalamnya, padahal tempat makan itu belum tutup. Ke mana ibu kantin dan dua pegawainya itu?

Saat berbelok di depan dapur kantin, yang letaknya tidak jauh dari kamar jenazah, tiba-tiba aku mencium harum melati. Padahal setahuku, tidak ada satu pun pohon bunga itu tumbuh di sekitar tempat ini. Waktu pun serasa terhenti, membeku. Hening, hingga aku bisa mendengar tarikan napasku yang memburu dan jantung yang bertalu memukul rongga dadaku hingga terasa sakit.

Mau tidak mau, aku teringat perkataan teman indigoku, “Wangi melati, sedap malam, atau cempaka, berarti yang datang itu kuntilanak. Kalau baunya busuk bangkai, berarti ada hantu tengkorak. Genderuwo, keciumnya bau menyan.”

Secepatnya, kudorong brankar hingga di depan pintu kamar jenazah. Segera, setelah dengan susah payah aku berhasil membuka pintunya—karena tanganku bergetar hebat dan licin oleh keringat—kusimpan saja brankar berisi jasad si perempuan di dekat pintu, sambil menutup mata.

Aku terbirit-birit meninggalkan tempat itu, setelah dengan tergesa menutup kembali pintunya. Bau melati bahkan masih saja tercium hingga aku sudah tiba di pos, dengan wajah dan punggung basah berpeluh. Andai tidak malu pada Tono yang memandangku penuh heran, ingin rasanya aku menangis.

***

Seolah-olah masih belum cukup, ada peristiwa lain yang mengusik pikiranku.

Suatu hari, aku mendapati serombongan orang melintas, saat matahari mulai menghilang di balik horizon. Sepertinya mereka masuk melalui Pintu Timur.

“Siapa itu, ya, Ton?” tanyaku pada Tono yang sedang merokok di luar pos, menghargaiku yang bukan perokok. “Kayaknya bukan pasien, ya? Enggak kelihatan ada yang sakit.”

Tono hanya mengangkat bahu tidak peduli. Menurutnya, petugas di Pos Timur pasti sudah menanyai mereka, jika rombongan itu bukan bermaksud untuk berobat.

“Mau ikut salat, mungkin,” tukas Tono. “Aku salat Magrib duluan, ya.”

Aku mengangguk, menyesal karena tidak segera beranjak ke musala begitu terdengar azan tadi. Tono selalu berlama-lama di tempat salat, entah berdoa sepanjang apa, atau mungkin merebahkan diri dulu sebelum kembali ke pos.

Di awal waktu salat Magrib, musala selalu ramai. Setelahnya, sudah jarang pengunjung yang datang. Sering kali, jika memasuki tempat itu lama setelah azan berkumandang, aku harus salat sendirian. Rasa takut terus menghantui, membuat konsentrasiku seringkali buyar.

Benar saja, rombongan yang kulihat tadi tidak bermaksud berobat. Mereka melewatkan pintu IGD, dan meneruskan langkah hingga di sudut jalan, lalu berbelok menuju musala di seberang gedung Askes. Tidak lama kemudian, setelah salat, kuperhatikan mereka berpencar.

Didorong oleh rasa penasaran, aku keluar dari pos dan melangkah mendekati musala. Aku melihat salah satu dari mereka berjalan ke arah kantin, yang letaknya sejajar dengan musala. Namun, ternyata bukan tempat makan itu yang ia tuju. Orang itu meneruskan langkah dan terlihat berbelok di sudut.

Untuk apa ia ke sana sendirian saat hari sudah gelap begini? Di bagian itu hanya ada ruang logistik dan—tentu saja—kamar jenazah.

Aku sebenarnya sadar, sebagai petugas keamanan, seharusnya aku mengikuti orang itu untuk mengetahui dengan jelas apa tujuannya berjalan ke arah sana. Bisa saja ia bermaksud tidak baik. Membobol ruang logistik misalnya. Namun, rasa takut lebih menguasai hatiku saat itu. Bagian dari rumah sakit yang satu itu, sebisa mungkin kuhindari di malam hari, terutama sejak kejadian aku mencium bau melati itu.

Teringat lagi pada kejadian horor itu, aku bergidik. Diam-diam aku berharap, semoga Mbak Suster Hantu—yang katanya ada di kamar jenazah—terusik dan menampakkan diri pada orang asing itu, dan mengacaukan apa pun rencana jahatnya—bila memang ia berniat buruk.

Beruntung, esok paginya saat kuperiksa, pintu dan jendela ruang logistik aman tidak terusik. Tidak ada laporan pencurian dari petugasnya.

Beberapa hari kemudian, kudengar pembicaraan sesama rekan satpam saat pergantian shift, tentang berita seputar kedatangan rombongan itu. Ternyata mereka adalah para youtuber, yang penasaran akan kabar horor Mbak Suster Hantu di rumah sakit ini, dan bermaksud menelusurinya. Hasilnya akan menjadi bahan konten saluran YouTube milik mereka.

“Ada-ada aja. Dasar anak muda kurang kerjaan! Horor, kok, dicari. Bisa-bisa kualat nanti.” Aku menanggapi sambil bergidik.

“Kayaknya mereka beneran kualat, Bur.” Mardi menimpali. “Katanya ada pasien kelas tiga yang tengah malam dengar suara orang lari gedebak-gedebuk dan teriak ketakutan. Siapa lagi yang teriak kalo bukan mereka?”

Ruang rawat kelas tiga memang berada tidak jauh dari ruang jenazah.

“Siapa tahu si Mbak Suster yang teriak,” tukas yang lain.

“Wong suara laki-laki, kok, katanya,” sergah Mardi. “Lagian, masak setan teriak ketakutan?”

Cerita lalu berkembang. Mereka memperbincangkan kabar burung yang banyak beredar, bahwa ternyata bukan hanya sosok suster tua yang menghantui kompleks rumah sakit ini.

Penjual minuman yang berjualan 24 jam di depan rumah sakit, mengaku pernah mendapat pesanan kopi di tengah malam dari gadis misterius bergaun merah. Keesokan harinya, si penjual ditemukan pingsan di dalam  kamar jenazah.

Ada pula yang mengaku bertemu dengan hantu anak laki-laki di atas kursi roda. Bocah itu menghilang setelah masuk ke ruang IGD. Ada lagi cerita seseorang yang katanya didatangi oleh hantu bayi berdarah-darah.

Semua memang hanya “katanya”, tetapi tetap saja membuatku merinding. Ketidaknyamananku dalam menjalani tugas jaga malam, semakin menjadi.

***

Mengingat lagi semua cerita itu membuat ketakutanku makin menjadi. Kuputuskan untuk menunggu saja rekan satpam yang malam ini akan menggantikanku bertugas, sambil duduk di meja. Bila petugas pengganti datang, aku bisa langsung melihat kedatangan mereka.

Suara burung hantu entah di mana, membuatku melonjak kaget. Lalu, samar-samar tercium bau aneh. Seperti bau … menyan? Berarti …. Keringat dingin kembali membanjiri  tengkuk dan punggungku.

“Kenapa kamu, Han?”

Aku makin terlonjak mendengar suara yang muncul dari balik punggungku itu. Hampir saja aku terjatuh dari meja. Hatiku amat lega saat melihat siapa yang datang. Ternyata Mardi.

Datang dari mana dia? Mungkin dari Pintu Selatan? Aneh. Kalau benar begitu, ia jadi mengambil jalan memutar.

Selain itu, ada sesuatu yang mengganjal di pikiranku. Sepertinya ada hal tidak biasa dari sapaan yang dilontarkan Mardi baru saja. Entah apa, aku sama sekali tidak bisa mengingatnya.

“Akhirnya datang juga kamu. Mana yang lain? Tumben, kok, pada telat, sih? Bikin saya ndredeg aja.”

Mardi tidak menanggapi keluhanku. Laki-laki itu hanya menatap mataku.

“Saya pulang, ya. Lampu di tiang ada yang mati, Mar. Dua. Tolong nanti diganti.”

Mardi bergeming, masih tidak bersuara. Aku memandangnya penuh heran. Wajah laki-laki yang biasanya banyak cakap itu terlihat pucat.

“Kamu sakit?”

Mardi hanya mengangguk, membuat rasa kasihan terbit di benakku. Aku juga pernah merasakan, bagaimana menghadapi dilema, di kala harus tetap berangkat bekerja shift malam dalam keadaan tubuh kurang sehat.

“Ya udah, cepet ambil lampu sama tangganya. Nanti saya bantu pasang.”

Mardi tidak membantah dan berlalu menuju ruang logistik. Embusan angin dingin meniup telingaku seiring kepergiannya, membuat bulu kudukku kembali meremang. Beruntung bau menyan tadi berangsur berkurang dan lalu menghilang.

Lama sekali rasanya waktu berjalan. Mardi belum juga kembali.

“Bur! Cepet tolongin!” Seseorang datang memasuki pos dengan napas terengah-engah.

Aku menoleh kaget, dan mendapati wajah Rozak yang panik.

“Tolongin apaan? Ke mana dulu, sih? Telat, kok, enggak kira-kira! Lampu mati, tuh. Dua. Saya udah minta Mardi ambil lampu baru sama tangga.”

Pandanganku lalu tertumbuk pada sekumpulan anak kunci yang tergantung.

“Lah, kuncinya, kok, enggak dibawa, nih, si Mardi?”

“Mardi?” Rozak bertanya dengan bingung.

“Iya. Si Mardi. Saya suruh ambil lampu sama tangga. Tapi kunci logistik enggak dia bawa. Tuh!” jawabku sambil menunjuk kunci yang menggantung. “Cepat susulin, Zak! Saya mau pulang. Udah malem banget. Istri saya pasti udah nungguin.”

Rozak tertegun, wajahnya memucat.

“Kok, kamu malah bengong? Eh, iya. Tadi kamu mau minta tolong apa?”

“Motor si Mar-Mardi … kelindes truk, di belokan sana.”

Aku jatuh terduduk. Kini kutahu, apa yang mengganjal pikiranku tadi. Namaku Burhan, dan semua rekan satpam selalu menyapaku dengan panggilan “Bur”, bahkan sering mereka pelesetkan menjadi “Bubur”. Mardi, atau entah siapa itu tadi, memanggilku “Han”.(*)

Ciawi, 19 April 2021

Ika Mulyani, emak penakut, yang dua anaknya malah suka sekali menonton film horor atau video “Jurnal Risa”.

Sumber gambar : Pixabay

Editor : Triandira

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply