Ketika Ibumu Datang Malam Itu

Ketika Ibumu Datang Malam Itu

Ketika Ibumu Datang Malam Itu

Oleh : Rainy Venesia

 

Suatu malam ibumu berdiri di sudut kamarku yang sempit dan tak berjendela. Dia melihatku tanpa berkedip, melotot beringas seperti singa betina yang melihat hidangan makan malam nan lezat dan sanggup memuaskan laparnya. Dia terus menatapku terus, lurus ke wajahku hingga mungkin hampir setengah jam lamanya. Aku menggeser punggung, mencoba bangkit sambil memegang tangan kiri agar posisinya tak bergeser. Aku tak ingin sedikit pergeseran membuat pertumbuhan tulang baru tak sempurna dan menyebabkan tangan kiriku bentuknya sedikit berbeda. Ah, kau pasti tidak tahu bukan, kalau hari Minggu kemarin aku mengalami kecelakaan?

Ibumu masih berdiri saat aku membalas tatapannya. Cukup lama kami saling memandang, seperti sepasang petarung yang sedang mengukur kekuatan masing-masing sebelum berlanjut ke arena. Beberapa menit kemudian, dia mendekat dan berdiri dengan tetap menatap wajahku. Aku mengangguk sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih karena telah mengunjungiku. Namun, dia menggeleng. Tatapannya masih tampak kejam di mataku. Sejujurnya, aku sedikit merasa takut. Bulu kudukku sempat meremang untuk beberapa saat. 

Dia masih melotot padaku saat tangannya bergerak menunjuk ke arah sudut kamar tempat dia berdiri tadi. Aku menoleh. Seorang lelaki berdiri menatapku. Tiba-tiba saja aku ingin menangis melihat lelaki itu yang sangat mirip denganmu. Bukan saja wajah, rambut, dan tingginya, tapi seluruh garis wajah dan pori-pori kulitnya sama denganmu. Tapi belum sempat aku menangis, ibumu keburu bicara.

“Dia anakku,” katanya sangat datar dan dingin. Seperti kamar ini yang teramat dingin semenjak kehadirannya yang tiba-tiba beberapa menit lalu.

Aku kembali menoleh pada ibumu. Aku tidak kaget jika kini dia menangis. Kupikir menangisi lelaki itu yang mungkin sedang sakit karena terlihat kuyu, di matanya tak ada apa-apa, kosong seperti botol bekas air mineral. Seorang lelaki yang semakin aku perhatikan semakin mirip denganmu. Tunggu dulu! Dia juga memiliki mata dan hidung yang sama denganmu. Bahkan bulu-bulu hidung yang mengintip keluar pun sama jumlahnya. Rambut ikal, alis tebal dan hitam, layaknya rambut dan alis milikmu. Namun, lelaki itu tampak seperti manekin. Sejak tadi dia hanya berdiri di sana tanpa bergerak sedikit pun. Seperti tak bernyawa. 

“Dia sangat terluka,” kata ibumu kemudian setelah hening tercipta di kamar yang diterangi lampu pijar 5 watt.

Aku mengalihkan pandangan pada ibumu yang mulai terisak. Aku tak mencoba menghiburnya atau sekedar berbasa-basi bertanya kenapa anaknya terluka, siapa yang membuatnya terluka. Aku tak ingin jika aku bertanya, nantinya aku yang terluka.

Ibumu berbalik, tengadah sambil menjulurkan tangan kanannya ke atas, lalu melayang menembus langit-langit kamar. Aku ikut tengadah. Lalu, tubuhku juga ikut melayang menyusul ibumu. Aku menoleh pada laki-laki yang mirip denganmu itu, dia juga ikut melayang di belakangku. 

Aku tidak paham kenapa ibumu membawaku ke kelas yang berada di gedung pascasarjana lantai dua. Kelas yang sangat kubenci setelah ibumu tiada, tepat selepas kita menyelesaikan ujian akhir semester genap. Gedung yang pernah kubilang padamu adalah bangunan keniscayaan. Jika kita memasukinya niscaya akan membuat kita seakan-akan mengunjungi malaikat Izrail. Lorong-lorong tanpa ventilasi udara dan cahaya membuat kita seperti berada di gua dengan mengandalkan penerangan lampu petromaks. Kau selalu tertawa setiap kali aku mengomel sepanjang lorong bahwa rektor pelit sekali. Berapa sih harga sebuah lampu? 

“Bagiku lab ini lebih menakutkan daripada lorong keniscayaan,” katamu saat kita sudah tiba di pintu laboratorium.

Aku tertawa saat pertama kali mendengarnya. Beberapa kali aku bertanya kenapa kau berpikir seperti itu. Namun, kau tak pernah memberi jawaban. Aku kesal sekali. Namun, kau harusnya tahu bahwa aku lebih kesal ketika kau lebih dulu memberi tahu Lidia tentang kematian ibumu. Saat itu kupikir kau telah merobek perjanjian persahabatan kita. Hatiku pun koyak dan kau pasti tak tahu seperti apa sobekan-sobekan hatiku yang tercecer sepanjang waktu.

Ibumu berhenti di depan kelas. Telunjuknya mengarah pada kursi tempat biasa kau duduk. Aku kaget karena laki-laki yang sangat mirip denganmu itu tiba-tiba sudah berada di sana. Dia duduk sama seperti kau duduk. Kepalanya bergerak perlahan menoleh ke belakang, lalu hujan mendadak turun dari kedua matanya.

Degup jantungku seolah-olah terhenti. Aku lupa pada tangan kiriku yang harus kujaga hingga terkulai begitu saja. Aku menoleh pada deretan kursi paling belakang dan tatapanku terhenti pada kursi tempat biasa aku duduk. Kursi yang menjadi titik pusat tatapan lelaki yang diakui sebagai anaknya oleh ibumu. Di sana tampak seseorang yang wajah dan sosoknya persis sepertiku.

Aku kembali melihat sosok yang mirip dirimu. Menatap air matanya yang makin deras mengalir. Aku sadar, itu adalah air mata sebab kehilangan ibunya. Tubuhku bergetar ketika melihat perempuan yang mirip denganku itu membalas tatap kesedihan lelaki itu, tetapi kemudian wajahnya berpaling. Aku terduduk lemas. Ibumu mendekat dan mengusap kepalaku. Dia tersenyum sambil mengangkat wajahku. 

“Dia anakku,” katanya, mengulang ucapan saat berada di kamarku seakan-akan memastikan bahwa dia pun terluka karenaku. Aku menatapnya, lalu menangkupkan kedua tanganku di dada. Dia mengangguk sambil mengusap kepalaku. Setelah itu dia lenyap. 

Aku menoleh pada sosok yang mirip dirimu. Aku berlari menghampirinya, tapi saat aku hendak memegang tangannya, saat aku hendak meminta maaf padanya, dia pun lenyap. Aku berlari pada sosok yang mirip denganku. Tampak dia sedang memilih-milih buku yang terdapat banyak sekali tulisan Kanji. Aku menamparnya. Sayang, tanganku menerpa angin. Aku berusaha menjambak rambutnya. Sama saja, hanya menangkap udara. Aku berteriak padanya, bahwa ia kejam. Sangat kejam. Tak punya hati. Kubilang juga padanya bahwa sebaiknya hatinya itu dibuang saja daripada ada tapi tak berguna. Aku menangis tersedu-sedu. Berkali-kali mengucap kata maaf untukmu. Namun, sepertinya percuma saja.

Akan tetapi, ibumu tidak tahu bukan apa yang terjadi setelah itu? Bahkan kau pun sebenarnya tak tahu peristiwa-peristiwa sebelum perempuan itu mengabaikanmu. Reka adegan yang ibumu bawa sungguh tak adil. Hanya air mata yang mungkin bisa bercerita utuh. Seperti air mata yang deras mengalir dari kedua matamu waktu itu, sesungguhnya hujan yang turun dari kedua mata perempuan itu tak pernah reda. Begitu pun ketika dia menuliskannya saat ini di sini. Kertas-kertas terendam, entah kapan air surut. (*)

Bandung, 8 Januari 2021

 

Menulis untuk bercerita. Sesekali curhat. Begitu kata penulis yang akrab disapa Mak Rainy

Editor : Devin Elysia Dhywinanda

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply