Ketika Hujan dan Rezeki
Oleh : Syania Azahra
Desir suara angin malam seolah berlomba dengan nyanyian binatang yang mengerik.
Malam telah larut namun lelaki yang sudah terlihat renta itu belum juga mengistirahatkan tubuhnya setelah menahan penat mencari nafkah seharian ini. Ditatapnya tiga orang anak kecil yang sudah beradu di alam mimpinya masing-masing. Meskipun hanya beralaskan kasur tipis yang tergeletak di lantai. Namun, kedamaian terlukis di wajah ketiganya. Di samping mereka, seorang perempuan bertubuh kurus tertidur dengan kaki yang harus ditekuk karena panjang kasur tak lebih panjang dari tubuhnya. Wajahnya terlihat lelah.
Sayup-sayup terdengar suara orang mengumandangkan ayat-ayat suci dari pengeras suara di musala terdekat, yang artinya jika ia harus segera memulai aktivitasnya meskipun matanya baru beberapa saat terpejam. Ia segera berbegas mandi dan setelah itu menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim. الصلاة خير من النوم (Sesungguhnya salat lebih baik daripada tidur.)
Selepas melaksanakan salat, ia akan segera bergegas ke rumah seorang pembuat susu kacang yang berada tidak jauh dari rumahnya. Setiap hari ia diminta untuk mengantarkan susu kacang tersebut ke tempat beberapa pelanggan mereka menggunakan becak. Dari pekerjaan itu ia akan dikasih upah dua gelas susu kacang dan sedikit uang, yang hanya cukup dibelikan dua bungkus nasi dan sisanya akan digunakan sebagai uang saku untuk kedua anaknya yang sudah bersekolah.
“Beras habis lagi, Pak. Pak Ujang juga sudah menagih lagi karena sudah dua bulan tagihan listrik menunggak,” ucap Bu Gendis, istri pak Rahmat ketika mereka sedang menikmati sarapan dua bungkus nasi yang mereka nikmati berlima.
“Sepatuku sobek lagi, Pak. Adi malu diledek sama teman-teman.” Adi, anak kedua mereka sudah seminggu ini selalu mengeluhkan keadaan alas kakinya yang bisa dibilang sudah tidak layak pakai. Robek di bagian samping dan sedikit menganga di bagian depan. Dulu Adi mendapatkan sepatu itupun hanya sepatu bekas yang didapat ibunya saat menjadi buruh cuci. Sepatu itu milik anak majikannya yang diberikan padanya karena masih layak pakai.
Mendengar keluhan anak dan istrinya, Pak Ujang hanya menarik napas. Keadaan seperti ini sebenarnya sudah biasa baginya, dan seperti biasa ia akan menenangkan mereka dengan janji-janji yang kadang tidak bisa ia laksanakan. Ia bukan ingin mengingkari janjinya sendiri, ia sudah berusaha sekeras mungkin. Mengayuhkan becaknya dari pagi hingga malam hari.Tapi seiring berkembangnya zaman dengan bermunculan kendaraan-kendaraan yang lebih canggih membuat keberadaan becaknya semakin tergerus. Hingga berakibat pula pada perekonomian keluarganya yang kian hari semakin sulit.
Untuk sedikit menghemat ongkos transportasi, setiap pagi Pak Ujang akan mengantarkan kedua anaknya ke sekolah terlebih dahulu sebelum berangkat mencari penumpang.
***
Malam kian beranjak tapi hujan dari tadi siang masih belum mau berhenti. Hari ini, Pak Ujang pulang lebih lambat. Ia berharap mendapat sedikit lebih banyak penghasilan, karena dari pagi ia hanya mendapat dua orang penumpang saja yang menggunakan jasanya. Meskipun ia masih mencari penumpang hingga malam hari, tapi sepertinya sudah tidak ada lagi orang yang ingin menggunakan jasanya. Rezeki hari ini mungkin memang hanya sampai di sini. Ia akan kembali lagi esok hari. Meskipun wajahnya tak dapat menutupi raut lelah tapi tak sedikitpun ia terlihat kecewa oleh keadaan. Rezeki sudah diatur dan tidak akan pernah tertukar meski hanya seujung kuku. Itulah yang selalu Pak Ujang yakini. Yang penting ia sudah berusaha dan selalu tawakal. Untuk hasil ia pasrahkan pada Allah Ta’ala.
Ia memang berasal dari keluarga yang nilai ekonominya di bawah rata-rata, tapi ia bisa dibilang sebagai pribadi yang kaya akan keimanannya. Ia akan segera mencari masjid atau musala terdekat saat waktunya salat tiba. Di manapun ia sedang berada. Karena menurutnya ia hanya hidup di dunia hanya sebagai tamu yang disambut dengan begitu istimewa. Diberikan segala kenikmatan. Nikmat sehat dan raga yang sempurna. Maka dari itu sudah semestinya kita menyisihkan sedikit waktu untuk melaksanakan perintah-Nya sebagai ucapan syukur dan terima kasih.
Seperti malam ini, ia memutuskan untuk melaksanakan salat Isya terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah. Ia membelokkan becaknya di musala kecil di pinggiran kota. Gerimis sudah sedikit mereda dibanding waktu Pak Ujang datang.
Tidak mau lagi mengulur waktu lebih lama karena takut hujan kembali turun, Pak Ujang segera bergegas untuk mengayuh becaknya pulang. Tapi langkahnya terhenti ketika ia mendengar suara tangisan anak kecil yang berasal dari samping musala. Ragu, Pak ujang mencoba mencari sumber suara. Keadaan musala yang sudah sepi, lalu anak siapa yang menangis malam-malam seperti ini?
Semakin mendekat dengan sumber suara, Pak Ujang melihat seorang anak kecil tengah duduk menekuk lutut sambil menangis. Bajunya basah kuyup oleh air hujan. Dengan perasaan iba, ia mendekati anak tersebut yang kaget dengan kedatangan Pak Ujang.
“Adek sedang apa di sini sendirian?” tanyanya pada anak tersebut.
Mendengar pertanyaan dari Pak Ujang, bukannya menjawab, anak kecil itu justru semakin terisak. Tidak tega melihat pemandangan seperti itu, akhirnya Pak Ujang duduk di samping si anak. Ia mencoba menenangkannya dan kembali bertanya dengan nada yang lebih lembut dari sebelumnya.
“Saya sudah tidak punya orang tua, Pak. Orang tua saya sudah meninggal dan saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Uang sisa tabungan ibu saya dirampas oleh om-om mabuk. Saya tidak tahu harus ke mana,” terang anak kecil yang ternyata bernama Dimas itu.
Iba. Tidak tega melihat pemandangan seperti ini, seorang anak kecil seorang diri yang tengah kebingungan kemana ia hendak pergi dimalam hari, dan dalam keadaan hujan, akhirnya Pak Ujang memutuskan untuk membawa Dimas pulang ke rumahnya. Ia tahu dengan keadaan ekonomi seperti sekarang yang serba kekurangan, istrinya tidak akan setuju jika harus ditambahi beban yang lebih berat lagi. Hati nuraninya sempat bersiteru, namun lagi-lagi entah alasan apa yang akhirnya membuatnya mantap untuk membawa serta Dimas pulang ke rumahnya.
***
“Assalamualaikum,” ucap Pak ujang yang ternyata kedatangannya sudah ditunggu penghuni rumah. Mereka menunggu kepulangan sang kepala keluarga untuk melihat makanan apa yang dibawa untuk makan malam mereka malam ini.
“Waalaikumsalam warohmatullah,” jawab mereka serentak.
Pak Ujang membuka pintu yang langsung disambut sibungsu yang masih berumur dua tahun. Ia begitu mengenali suara bapaknya. Tidak heran jika lewat ucapan salam saja, ia akan langsung tahu siapa yang datang.
Dimas tidak berani masuk, ia hanya berdiri di depan pintu rumah kontrakan mereka. Pak Ujang yang tak melihat Dimas masuk, akhirnya keluar lagi untuk mengajaknya masuk.
Bu Gendis yang baru saja kembali dari dapur setelah mengambil teh hangat untuk suaminya terlihat kaget dengan pemandangan yang ia lihat.
“Anak siapa itu, Pak? Yang Bapak bawa pulang,” tanyanya penuh nada mengintrogasi.
“Mendingan Ibu ambil baju milik Adi di dalam buat ganti bajunya Dimas. Kasihan bajunya basah, dia sudah kedinginan,” ucap Pak ujang pada istrinya. Ada raut tidak setuju di wajah Bu Gendis, tapi ia tetap melakukan apa yang diperintahkan suaminya.
“Dimas, ikut Ibu ke dalam, yah. Cepat ganti pakaiannya biar nanti tidak masuk angin,” perintah Pak Ujang pada Dimas yang sedari tadi hanya berdiri sambil menunduk ke bawah dan memegangi satu kantong kresek hitam yang tidak tahu apa isi di dalamnya.
Mendengar perintah dari Pak Ujang, Dimas langsung bergegas masuk mengikuti Bu Gendis untuk berganti pakaian. Sedangkan anak-anak Pak Ujang sendiri hanya bisa diam menyaksikan pemandangan di depan mereka.
Sekembalinya Bu Gendis dan Dimas dari dalam, mereka semua berkumpul untuk menyantap makan malam nasi bungkus yang dibawa pulang Pak Ujang. Tidak beda dari hari-hari sebelumnya, hari inipun Pak Ujang hanya mampu membawa dua bungkus nasi dengan lauk tempe goreng dua iris di setiap bungkusnya. Tidak ada ikan atau daging karena itu sangat mahal untuk ukuran keluarga mereka.
“Ayuk, Dimas. Sini ikutan makan juga,” ajak Pak Ujang yang melihat anak itu hanya duduk sedikit jauh dari anak-anaknya. Mendengar ucapan Pak Ujang, Bu Gendis memasang wajah semakin terlihat tidak suka. Dimas mendekat dan bergabung dengan mereka untuk menyantap makan malam bersama.
“Bapak, nggak makan?” Danu anak pertama Pak Ujang terlihat heran saat melihat bapaknya yang biasanya makan bersama-sama mereka, hanya duduk menikmati teh hangat buatan ibunya.
“Bapak tidak lapar. Kalian makan saja,” ucap Pak Ujang menjawab pertanyaan anaknya.
Bukan ia tidak lapar, karena sejak tadi pagi hanya makanan yang ia santap saat sarapan saja yang mengisi perutnya. Ia tidak ingin melihat anak-anaknya pergi tidur dalam keadaan lapar.
Selesai menikmati makan malam ala kadarnya, seperti biasa mereka akan bercengkrama sebentar sebelum beranjak tidur. Tidak ada TV ataupun hiburan di rumah mereka. Jangankan televise, dua buah lampu untuk penerangan saja mereka sudah menunggak. Lelah bercengkrama, akhirnya keempat anak itu tertidur meskipun malam ini harus lebih berdesakan lagi karena ada Dimas di antara mereka.
Malam semakin larut, namun Pak Ujang belum juga beristirahat. Seperti sudah menjadi kebiasaannya setiap malam, ia akan mengistirahatkan badannya setelah puas memandangi anak-istrinya. Memastikan mereka baik-baik saja.
Melihat suaminya yang sedang termenung sendirian, Bu Gendis menghampiri Pak Ujang.
Ia bermaksud meminta penjelasan tentang siapa sebenarnya Dimas. Kenapa ia bisa membawanya pulang.
“Siapa sebenarnya anak itu, Pak?” tanya Bu Gendis tanpa basa-basi lagi. Rasa penasarannya sudah tidak bisa ia sembunyikan lagi.
“Dimas anak yatim piatu yang Bapak temui di musala saat salat Isya tadi. Ia tengah kebingungan hendak ke mana. Ia sudah tidak punya sanak saudara di sini. Uang yang ia punya dipalak para preman. Ia kehujanan dan kedinginan, makanya Bapak ajak pulang.
“Bapak, mau jadi pahlawan? Bapak tahu sendiri keadaan kita seperti apa. Semua serba kekurangan dan sekarang malah membawa anak itu pulang.” Suara Bu Gendis menggebu-gebu, seolah ia mengeluarkan semua emosi yang selama ini ia pendam.
Mendengar ucapan istrinya yang penuh emosi, Pak Ujang hanya menarik napas dan beristigfar. Ia bisa memaklumi kemarahan istrinya. Wanita mana yang tidak marah melihat keadaan keluarga sendiri saja masih sering kekurangan, kini ia malah menambah beban keluarga mereka bertambah. Bukan tanpa alasan Pak Ujang bersikap demikian, ia pernah mendengar seorang ustaz berkata jika kita menyantuni anak yatim-piatu dengan ikhlas maka surga balasannya. Pak Ujang ingin sekali meniru baginda rasul yang sangat menyayangi anak-anak yatim. Karena baginda nabi juga seorang anak yatim.
Melihat reaksi suaminya yang hanya diam pasrah ketika ia memuntahkan sesuatu yang sudah ia pendam sejak lama, Bu Gendis melangkah masuk meninggalkan Pak Ujang dengan perasaan kecewa.
***
Mentari pagi masih malu-malu untuk menampakkan wujudnya, tapi suara kokokan ayam sudah semangat bersahut-sahutan. Begitupun dengan Pak Ujang. Seperti biasa, seusai salat Subuh ia akan segera bergegas memulai hari, mengais rezeki.
Sementara Pak Ujang pergi menjajakan tenaga dengan becaknya, Bu Gendis segera bergegas untuk pergi ke tempat ia biasa menjadi buruh cuci di beberapa rumah di kompleks dekat kontrakannya.
Hari ini hari Minggu. Biasanya Bu Gendis akan membawa serta anak bungsunya bekerja, tapi tidak dengan hari ini. Ia meninggalkan si bungsu bersama dua kakaknya di rumah. Juga Dimas. Bu Gendis masih belum setuju sepenuhnya dengan kehadiran anak itu di antara mereka, tapi ia tidak akan bisa mendebat apa yang sudah diputuskan suaminya. Karena bagaimanapun suami tetaplah imam dalam keluarga. Selagi ia tidak menuntunmu ke arah yang buruk, bukankah wajib hukumnya untuk patuh?
Hari hampir habis, senjapun telah bersiap untuk mengistirahatkan dirinya. Suara anak-anak kecil bersalawat terdengar dari pengeras suara musala. Jalanan terlihat lengang ketika Bu Gendis hampir sampai di kontrakan petak yang ia sewa beberapa tahun ini. Ia baru saja kembali dari pekerjaannya mencuci.
“Yeay … Ibu pulang,” sorak Adi saat melihat ibunya masuk dan mengucap salam. Adi yang tengah menggendong sang adik segera menghampiri ibunya.
“Ibu sudah pulang. Dari tadi badan Dimas panas, Bu. Tadi sudah Ridwan kompres tapi belum juga turun panasnya,” ucap Ridwan, anak pertama Bu Gendis.
Mendengar ucapan anaknya, Bu Gendis segera menghampiri Dimas yang tengah berbaring, ia terlihat lemas. Bu Gendis meraba dahinya, dan benar, badannya panas sekali.
Bu Gendis memanggil Ridwan, ia menyerahkan selembar uang sepuluh ribu dan menyuruhnya untuk membelikan Dimas obat penurun panas di warung yang berada tidak jauh dari rumahnya.
***
Waktu sudah menunjuk pada angka sembilan, tapi Pak Ujang belum juga kembali. Suhu badan Dimas semakin naik, berkali-kali Bu Gendis mengganti handuk yang mendingin dengan yang hangat untuk mengompresnya.
Dalam gigilnya, terdengar lirih suara Dimas menyebut kata “ibu” berkali-kali. Iba. Bu Gendis membelai ujung kepala anak itu. Hatinya seperti teriris perih, ia membayangkan jika yang terjadi pada Dimas terjadi juga pada anak-anaknya. Perlahan rasa sayang menyelusup masuk ke hatinya. Setetes cairan beningpun luruh di pipinya.
“Assalamualaikum.” Terdengar suara Pak Ujang mengucap salam.
“Walaikumsalam,” ucap Bu Gendis. Dengan panik ia segera menghampiri suaminya untuk memberitahu keadaan Dimas.
“Badan Dimas panas sekali, Pak.” ujar Bu Gendis setelah menyalami suaminya. “Sudah Ibu kasih obat penurun panas, dan kompres tapi suhu badannya belum mau turun,” sambungnya lagi.
Pak Ujang yang mendengar berita itu langsung masuk ke dalam untuk melihat keadaan Dimas. Ia masih terus merintih, menyebut nama ibunya. Sekilas dirabanya puncak kepala anak itu oleh Pak Ujang sebelum ia melangkah keluar.
“Apa kita bawa Dimas ke Dokter saja, Bu?” tanya Pak Ujang pada istrinya.
Terlihat keraguan pada raut muka Bu Gendis. Bukan tanpa alasan, ia hanya bingung uang dari mana untuk membawa Dimas ke dokter dengan keadaan seperti ini.
“Kita dapat duit dari mana, Pak? Ke dokter pasti mahal.” Lesu. Bu Gendis duduk di kursi yang berseberangan dengan Pak Ujang.
Hening. Setelah perbincangan yang tidak menemukan titik temu karena kendala uang, tidak satupun dari mereka yang berbicara. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing.
Malam semakin larut, ketiga anak Pak Ujang sudah terlelap. Bu Gendis masih belum pergi istirahat, ia masih terus mengompres Dimas, berharap panasnya segera turun.
“Besok kita bawa Dimas ke dokter, Bu.” Suara Pak Ujang sedikit mengagetkan Bu Gendis. “Pake uang ini,” sambungnya lagi sambil menyodorkan satu bungkusan plastik hitam kecil.
“Ini uang dari mana, Pak?” tanya Bu Gendis keharanan. Dari mana suaminya bisa mendapat uang sebanyak itu.
“Itu uang tabungan yang rencana buat umrah, Bu. Kamu bisa gunakan uang itu untuk memeriksakan Dimas. Sisanya bisa dipake untuk kebutuhan kita sehari-hari.”
“Astagfirullah … inikan, keinginan terbesar Bapak. Bertahun-tahun Bapak menabung, rela menahan lapar agar bisa menyisihkan sedikit uang untuk pergi umrah, Pak. Ibu tidak mau memakai uang ini. Bapak simpan saja uangnya. Biar besok kasbon saja sama Bu Mira.”
“Tidak apa-apa, Bu. Kamu tidak kasihan melihat anak-anak yang serba kurang? Untuk apa bapak pergi umrah jika harus mengorbankan kebahagiaan mereka. Bapak sudah ikhlas. Allah juga pasti tahu, dan bukankah rukun islam yang kelima itu bagi yang mampu?” terang Pak Ujang pada istrinya yang masih terlihat kurang setuju dengan keputusannya.
***
Seminggu sesudah Pak Ujang dan Bu Gendis membawa Dimas ke dokter, yang ternyata kena penyakit malaria dan harus dirawat, kini keadaan Dimas sudah jauh lebih baik. Perlakuan Bu Gendis yang awalnya kurang setuju dengan kehadiran Dimas, kini sudah bisa menerimanya. Bahkan dalam memperlakukanpun, ia tidak membeda-bedakan dengan anak-anaknya.
Perihal keinginannya untuk berangkat umrah, Pak Ujang sempat merasa sedih di awal. Namun, kini ia sudah sepenuhnya ikhlas dengan keputusan yang telah ia ambil. Dengan melihat anak-anak sehat dan kebutuhan tercukupi, membuatnya jauh lebih tenang. Ada kebahagian lain yang ia rasakan. Ia berniat untuk mulai kembali menyisihkan uangnya, jikapun ia tidak akan mampu untuk juga bertamu ke rumah Allah, setidaknya ia sudah pernah berusaha.
“Pak,” ucap Dimas tiba-tiba saat Pak Ujang tengah menikmati segelas teh hangat di teras rumah. Hari ini ia pulang lebih cepat karena merasa sedikit tidak enak badan.
“Eh, Dimas. Ada apa, Nak?” tanyanya saat melihat sudah berdiri di sampingnya.
Suasana rumah saat itu sedang sepi, anak-anak Pak Ujang sedang pergi bersama ibunya. Hanya tinggal mereka berdua.
Ragu. Dimas akhirnya mendekat. Ia mengulurkan plastik hitam lusuh, satu-satunya barang yang ia bawa saat ditolong Pak Ujang di musala tempo hari.
“Apa ini, Dimas?” tanya Pak Ujang heran. Yang ia tahu benda itu sangat berharga untuk Dimas, karena kemanapun ia pergi, ia akan selalu membawanya.
“Ini hadiah. Kata Ibu sebelum meninggal, Dimas hanya boleh memberikan ini pada orang baik yang menolong Dimas. Bapak sama Ibu sudah baik sama Dimas. Kakak juga baik, makanya Dimas mau ngasih ini buat Bapak,” terang Dimas. Suaranya sedikit bergetar ketika menjelaskan amanat dari ibunya tersebut.
“Dimas tidak tahu apa isinya, ibu hanya berpesan berikan pada orang yang baik,” sambungnya lagi.
Pak Ujang menerima bungkusan tersebut dan membukanya perlahan. Isinya dua buah tiket umroh+akomodasi dari sebuah perusahaan haji dan umroh, serta uang tunai yang terselip di antara tiket tersebut. Bergetar tangan Pak Ujang memegang semua barang tersebut.
Terima kasih telah bersedia menolong anak saya, hanya ini yang bisa saya berikan. Ini bukan balas budi, hanya sedikit ucapan terima kasih.
Sebuah tulisan di kertas yang juga terselip di antara barang-barang tersebut.(*)
Syania Azahra, perempuan penyuka warna hitam dan putih yang lebih suka menikmati waktu sendiri dari pada harus berkumpul di keramaian.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata