Ketika Hati Rindu Menikah
Oleh: Ina Agustin
“Fit, ini surat undangan dari Lia,” ucap Ibu sembari menyodorkan selembar surat berwarna merah jambu bermotif love.
Entah sudah yang ke berapa kalinya aku mendapat undangan pernikahan. Lia adalah adik kelasku waktu SMA dulu, sebentar lagi dia akan menikah. Belum lagi teman-teman lain yang seumuran denganku, mereka semua sudah punya anak. Ah, kapan giliranku? Entahlah. Kini usiaku menginjak tiga puluh lima tahun. Selama ini aku berusaha membuka hati pada siapa pun yang ingin meminangku. Namun hasilnya nihil. Tak ada satu pun lelaki yang mendekatiku. Entah apa yang salah dengan diriku? Tatapan sinis dari tetangga kiri kanan menghantuiku. Belum lagi lisan yang tidak dijaga. Semakin membuatku down. Aku harus bagaimana, Tuhan? Memang perempuan di desaku kebanyakan menikah muda, lulus SMP atau SMA. Jarang sekali yang melanjutkan ke perguruan tinggi. Apakah aku salah melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?
Suara telepon membuyarkan lamunanku, seorang sahabat lama yang mengajak pergi bersama ke acara pernikahan Lia—Kayla. Orangnya baik, dan energik. Kebetulan suaminya tidak bisa menemani karena ada agenda kerja, katanya. Maka dari itu, dia memintaku pergi bersama ke acara pernikahan Lia esok lusa. Kayla cantik, anggun, dan ramah. Gamis dan jilbab lebar menutup sempurna tubuhnya. Lesung pipi dan batang hidung yang menanjak serta dagu lancip dibingkai wajahnya yang oval. Hum, pantas saja dia menikah lebih dulu. Sedangkan aku? Apa yang spesial dariku? Secara fisik tak ada yang istimewa. Hanya saja pendidikanku S-3, apakah itu yang membuat para lelaki minder? Ah, sepertinya tidak juga. Kalau memang serius, kenapa mesti minder?
Hari itu pun tiba. Kami berangkat bersama ke acara pernikahan Lia. Tenda berwarna merah dan oranye keemasan berpadu indah, dihiasi bunga-bunga kecil di setiap tiangnya. Kursi-kursi berjajar rapi dengan meja bundar berhiaskan bunga. Aneka makanan terhidang cantik di atas meja panjang beralaskan kain batik. Kulihat sepasang pengantin saling mencuri pandang tersenyum manis. Ah cantik sekali kamu, Lia. Tuhan, kapan giliranku? Aku duduk di sebelah pojok kanan sambil terus bermonolog dalam hati.
“Hey, Fit! Bengong aja! Dari tadi aku liatin kok makanan di piring segitu-gitu aja? Mikirin apa sih?”
“Ah, enggak kok, enggak mikirin apa-apa.”
“Kita ini bersahabat udah lama, loh. Aku hafal betul kapan kamu lagi galau.”
“Biasalah, Kay, aku kepikiran tentang jodohku. Kapan ya datang?” Aku menunduk mengaduk-aduk nasi dengan sendok. Tak berselera makan.
“Oalah! Ternyata sahabatku yang imut ini lagi mikirin itu toh.”
“Aku lelah, Kay. Lelah dengan omongan tetangga dan pertanyaan dari pihak keluarga, kapan nikah? Selalu begitu setiap kami berkumpul di acara keluarga besar. Memangnya aku Tuhan yang bisa menentukan kapan nikah!” Aku mendengus kesal.
“Duh sahabatku yang satu ini, kalau lagi kesal cantik banget sih,” goda Kayla.
“Kalau aku cantik pastinya aku udah laku, Kay!”
“Sabar ya, Fit! Urusan jodoh itu sama dengan mati. Tidak ada seorang pun yang tahu kecuali Allah. Itu semua hak prerogatif Allah. Yang terpenting kamu berusaha memperbaiki diri dari hari ke hari!”
“Caranya?”
“Selain ibadah wajib, coba lakukan ibadah sunah seperti puasa, tahajud, duha, dan sedekah.”
Astaga! Aku hampir tidak pernah mengerjakan ibadah sunah. Salat wajib pun selalu dilakukan di ujung waktu, karena aku sibuk dengan dunia kampus dan pekerjaan. Tiap malam aku tidur lelap tanpa sedikit pun berniat bangun tengah malam untuk bermunajat kepada-Nya. Sedekah? Apalagi itu, kepikiran pun tak pernah.
“Hey, bengong lagi!” Kayla mengibaskan tangannya di depanku.
“Tapi, Kay, secara fisik aku biasa saja, loh. Apa ada lelaki yang mau meminangku?” Aku pesimis.
“Ya Ampun, Fitri! Kamu tuh terlalu berlebihan deh. Cantik itu relatif. Menurut si A biasa saja, siapa tahu menurut si B cantik. Lagi pula ya, kalau lelaki yang baik tidak akan menjadikan wajah sebagai patokan utama! Percaya, deh!”
“Benarkah?”
“Benar, Fitri. Allah sudah menentukan jodoh kita masing-masing. Hanya saja mungkin waktunya yang berbeda-beda. Sehingga ada yang menikah lebih cepat, ada yang agak lambat, karena memang sesuai waktunya masing-masing.”
Lalu Kayla bercerita panjang lebar tentang saudaranya yang menikah dengan seorang wanita biasa, bahkan memiliki cacat fisik. Kakinya kecil sebelah sehingga kalau berjalan pincang. Ia sangat mencintai sang istri dengan segala kekurangannya. Lima belas tahun mereka membesarkan anak-anak bersama dengan penuh kasih sayang. Si istri membuka usaha menjahit baju. Dari usahanya itu menghasilkan rupiah yang ia gunakan untuk membantu ekonomi keluarga.
Baiklah, mulai hari ini aku akan senantiasa memperbaiki diri, agar lebih dekat lagi dengan Ilahi. Kuhamparkan sajadah di sepertiga malam terakhir, kutengadahkan kedua tangan, sambil bercucuran air mata, kuharap dengan penuh kerendahan diri pada Yang Maha Kuasa. Tak lupa sedekah rutin aku lakukan, serta ibadah sunah lainnya. Tiga bulan berturut-turut aku melakukannya sampai suatu hari aku mendapat pesan dari seorang dosen.
[Fitri, ada saudara Ibu yang sedang mencari calon istri. Sepertinya kamu adalah orang yang tepat. Besok kita ketemuan di kampus, ya!]
Esoknya kami bertemu di serambi masjid kampus. Aku pikir di pertemuan itu hanya aku dan dosenku saja. Ternyata beliau sudah membawa serta lelaki itu. Penampilannya sederhana tetapi terlihat rapi. Hidungnya bangir, kulitnya sawo matang, sorot matanya lembut serta air mukanya yang teduh membuat jantungku berdetak kencang. Lalu, Bu Laila—dosenku—memperkenalkan saudaranya itu bernama Faisal Basri, seorang dokter spesialis jantung, berumur 29 tahun.
***
Serang, 10 Maret 2021
Ina Agustin, seorang perempuan biasa yang sedang belajar merangkai kata.
Editor: Rinanda Tesniana