Ketika Cinta Itu Memberi (The Gift)

Ketika Cinta Itu Memberi (The Gift)

Ketika Cinta Itu Memberi (The Gift)
Oleh: Lutfi Rose

Ketika pertama kali menonton film yang rilis Januari 2019, garapan Hanung Bramantyo ini, saya mengira film ini akan menceritakan tentang kisah cinta zaman klasik, karena setting cerita dengan rumah kuno dan logat yang sangat njawani. Tapi ternyata saya salah. Film yang berjudul “The Gift” ini mengisahkan tentang seorang novelis muda bernama Liana, yang mencari inspirasi atau semacam riset untuk memuat tulisan yang gak mainstream. Dan saya juga hampir terpeleset kembali, duh, parah! Kebiasaan suka menduga-duga. Saya mengira-ngira bahwa Liana yang diperankan oleh Ayusita, yang dalam film ini memiliki masa lalu kelam, akan mengantar saya pada kisah misteri. Lagi dan lagi saya salah. Ini bukan kisah drama misteri apalagi drama menye-menye. Ini benar-benar kisah yang unik, penuh perasaan dan drama yang tidak mendrama. Eh! Maksudnya apa coba?

Nah! Di sinilah kisah ini dimulai. Bagaimana latar belakang tokoh Liana, dengan keluarga yang berantakan, pertengkaran demi pertengkaran orangtuanya yang disajikan dengan menyisipkan adegan flashback dengan sangat cantik, membuat kisah ini hidup dan menggiring penonton untuk penasaran dan ingin mengetahui kisahnya secara utuh. Trauma masa kecil gadis yang suka bersembunyi di dalam lemari yang gelap ketika kedua orangtuanya bertengkar. Dia merasa aman dalam kegelapan. Kemudian ketika ibunya meninggal dia tetap tak mau keluar dari dalam lemari, hingga seorang perempuan, yang adalah pekerja sosial, mendatanginya lalu merawatnya, dan dibesarkanlah dia di sebuah panti asuhan.  Kehidupan sebatang karanyalah yang membuat Liana langsung simpati dengan tokoh pria yang diperankan oleh Reza Rahardian, tokoh yang hidup sendiri di rumah besar di mana dia menyewa paviliun. Pria yang bernama Harun itu, akhirnya diketahui tumbuh dalam asuhan yang tak kalah gelap dengan Liana. Bagaimana di sini kita digiring untuk melihat sebuah pemberontakan masa muda Harun yang mengantarkan dirinya menjadi manusia cacat seumur hidup, buta. Sebuah hal yang disebabkan oleh orangtua yang terlalu keras dan egois.

Kan? Otewe mikir deh yang punya anak, jangan bertengkar di depan anak. Efeknya bisa parah ke depannya.

Semua berawal dari rasa simpati dan berkembang menjadi rasa cinta yang mendalam, karena merasa senasib, begitu kira-kira latar belakang hubungan mereka.

Di sinilah drama kehidupan dimulai. Sebuah pernyataan cinta yang tidak dengan ucapan tapi dengan perlakuan. Perhatian seorang pria yang cukup posesif karena menyadari dunianya yang hanya berkutat dalam kegelapan dan sangat terbatas, dan juga cinta seorang gadis yang idealis serta memiliki dunia yang cukup luas. Dua dunia yang bertolak belakang.

Dari sekian banyak adegan, saya paling suka pas adegan Harun menyentuh wajah Liana, berasa bener jadi tokoh Liana di sana. Sentuhan yang penuh perasaan dan mampu membuat penonton menafsirkan dengan berbagai rasa. Sentuhan seorang buta yang hanya menggunakan indra peraba namun bisa memahami kecantikan dunia dengan lebih dalam. Dan semua menjadi sempurna dengan kualitas akting kedua pemeran yang sangat menjiwai.

Sayangnya kisah cinta yang begitu kuat kandas sebelum dirajut. Semua menjadi buram ketika ada tokoh ketiga yang memiliki fisik serta kehidupan yang mapan, yang menjembatani pertemuan tokoh Liana dengan ayahnya yang ternyata masih hidup. Marah! Kemarahan dirasakan oleh Harun dan membuat Liana harus pergi dalam kesakitan hati. Yang membuat saya berfikir betapa tidak adil hidup ini. Apalagi Liana dengan begitu saja menerima itu sebagai penolakan cinta dan dia pergi selamanya.

Dalam film ini, tokoh utama, baik Liana, Harun maupun tokoh pendukung Ari—yang dicemburui Harun—memiliki cara yang unik untuk memberikan bukti atas cinta mereka. Bikin terenyuh dan sedikit rasa tak terima ketika tahu bahwa Liana meninggalkan kedua pria yang mencintainya. Kenapa coba gak milih, Li? Padahal yang jomlo pasti buru-buru memungut itu para pria ganteng. Ish! Balik lagi ke film. Cerita film ini menjadi menegangkan ketika Liana bertemu kembali dengan Harun di rumah sakit tempat kekasihnya—Ari—bekerja, dan ternyata menjadi pasien Ari.

Rasa bersalah gadis itu semakin menjadi ketika tahu bahwa Harun tak pernah membencinya, melainkan hanya ingin berjumpa lagi saat dia telah operasi kornea dan bisa melihat. Kemudian, bagaimana seorang Ari yang akhirnya mengetahui kisah cinta dunia gelap Liana-Harun yang tulus dan  bersedia memenuhi permintaan mustahil Liana setelah membaca print out dari novel yang ditulis Liana yang disimpan Harun. Sebuah alasan yang cukup memberi nuansa logis, meski hal itu mustahil, ketika seorang lelaki membantu keinginan wanitanya berkorban demi orang yang dikasihinya. Apakah ini kebolongan logika film ini, entahlah! Hanya saja, semua keanehan itu tetap bisa diterima dan dimaklumi melalui kalimat Ari, “Aku terlapau mencintainya, hingga tak bisa menolak kemauannya.” Begitu kira-kira kalimat sederhananya.

Secara keseluruhan film ini recommended banget. Karena kisahnya menarik, sudut pandang tentang cinta yang unik dan mampu menyampaikan pesan dengan begitu halus dan mengena. Seperti dalam surat yang ditulis Liana pada Harun, “Aku belajar darimu untuk melihat dunia meski dalam gelap. Aku bisa menciptakan duniaku sendiri. Seperti tangan ibu tua hangat yang menyentuh kulit keriput  ….” Dan sebuah kalimat penutup dalam surat Liana, “Kita akan selalu dipertemukan dalam sebuah kotak yang dinamakan kenangan.” Dan … tara! Sebuah twist ending di akhir cerita, membuat saya dibuat melongo sekaligus sebal, sekaligus menyesalkan. Kok iyanya itu penulis skenario menyiksa para tokohnya, kebangetan.

Sedih? Sangat. Saya yang menonton film ini langsung ingin menangis. Entah mungkin karena saya cengeng kali ya. Tapi bener, film ini wajib ditonton anak muda agar mereka bisa melihat bahwa sebuah rasa cinta tidak hanya pada ego ingin memiliki dan menguasai, tapi cinta adalah memberi yang terbaik pada orang yang kita cintai. Ayo! Buruan tonton! Ini film yang cukup menguras emosi, dan semua pemeran di dalamnya, baik tokoh utama maupun tokoh pendukung bahkan figuran, memiliki peran yang bukan sekadar tempelan saja, tapi ada alasan keberadaannya.

Selamat menonton! [*]

 

Malang, 28 April 2019

Lutfi Rose, seorang perempuan yang berjuang melawan rasa malas dan memunguti semangat demi membuahkan karya yang terbaik. Bisa ditemui di akun sosmed-nya fb @Lutfi Rosidah, Ig @Lutfi Rosidah, Wattpad : Lutfi Rose,  dan sebuah halaman fanpage Arifa Style.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata