Ketika Anjing-Anjing Terbang ke Bulan

Ketika Anjing-Anjing Terbang ke Bulan

Ketika Anjing-Anjing Terbang Ke Bulan
Oleh: Nurul Istiawati

Sebenarnya Swara pernah mengatakan pada teman lelakinya bahwa ia ingin menyumpal mulut Wali Kota yang terang-terangan mengumumkan akan memindahkan seisi kota ke bulan.

“Wali Kota adalah pria gila. Aku yakin, yang ada di dalam kepalanya bukanlah otak, tetapi segumpal daging lembek yang busuk. Bisa jadi di dalamnya hanya ada panci yang berisi angin dan angin. Sebab kurasa ia memang benar-benar tak punya akal.”

“Ra, mendengar ocehanmu ini merangsangku untuk merokok.”

Teman lelaki Swara menyalakan rokok. Asap pun berembus mengikuti arah angin.

Swara merebut rokok teman lelakinya tanpa izin, kemudian meletakkannya di antara helai bibir, mengisapnya nikmat.

Swara bertanya-tanya, “Untuk apa dia memindahkan kota ke bulan?”

“Alasannya cukup logis. Kaummu, kaum perempuan terus-menerus melahirkan bayi. Angka kelahiran yang sangat tinggi ini sudah keterlaluan. Bahkan kakak iparku sendiri, setiap tahun melahirkan empat bayi kembar dalam satu waktu. Dua bayi lahir dari lubang selangkangannya sedangkan yang lain lahir dari lubang telinganya.” Ia berhenti sejenak mengambil rokok miliknya dari Swara.

“Angka kelahiran yang tinggi berbanding terbalik dengan angka kematian. Kau tahu, orang tua di sini enggan untuk mati, usia mereka mencapai ratusan tahun. Kota menjadi penuh dan sesak, wajar saja jika Wali Kota berbuat seperti itu,” lanjutnya.

“Ini tidak adil. Mengapa kaumku yang disalahkan? Kaummu, kaum lelaki juga turut bersalah atas banyaknya bayi yang lahir di kota ini. Aku akan mendatangi Wali Kota dan memprotes tindakannya,” ucapnya geram.

“Kamu tidak boleh ke sana! Wali Kota takkan mendengarkanmu. Kamu perempuan. Namamu Swara, artinya suara. Namun kamu bahkan tak pernah bisa menyuarakan isi hati. Sudah ditakdirkan bahwa kaummu mengalami kemalangan seperti ini.”

Dalam batinnya, Swara ingin berdiskusi mengapa Tuhan menciptakan suara pada perempuan. Suara yang berisik, suara yang berbisik, suara yang lantang, dan suara yang lembut. Apakah karena Tuhan terlanjur menciptakan telinga? Dalam keyakinannya, ia hanya yakin bahwa Tuhan menciptakan suara, apa pun itu, agar manusia lain dapat mendengarnya. Namun di kota ini, suara perempuan tak pernah dihargai.

“Setidaknya izinkan aku menyadarkan Wali Kota bahwa kenangan demi kenangan tercipta di sini sehingga kita tak perlu jauh-jauh ke bulan.”

Teman lelakinya mengikik.

“Ra … Ra, dalam keadaan seperti ini, tak seorang pun mau memikirkan kenangan.”

“Kalau begitu aku akan menetap.”

“Kamu akan mati karena kesepian, Ra.”

“Kudengar kita akan ke bulan dengan kereta. Tentu akan memakan waktu lama, bukan? Menetaplah denganku.” Swara mencoba memengaruhi teman lelakinya.

“Kita bisa buat jalan tol. Tentu lebih cepat.”

***

Sudah berminggu-minggu penduduk kota disibukkan dengan proyek jalan tol ke bulan. Semua orang menyambut proyek ini dengan bahagia, kecuali Swara. Hanya dia yang menampakkan ekspresi protes di wajahnya.

Swara kembali menemui teman lelakinya untuk sekadar berbincang dan merokok bersama di sudut kafe.

“Dua hari ini aku melihat anjing-anjing terbang di langit,” ucapnya membuka pembicaraan.

Teman lelakinya tak kuasa menahan tawa. Ia terbahak-bahak sambil sesekali menepuk meja, terlebih saat Swara mengatakan bahwa anjing-anjing itu terbang lebih indah daripada kunang-kunang.

“Anjing-anjing itu terbang lurus ke arah bulan. Di sanalah tujuan mereka,” ucap Swara menunjuk bulan di langit.

“Sepertinya waktu sekolah dasar kamu melewatkan pelajaran biologi, Ra. Anjing bukanlah unggas atau burung. Tanpa sayap anjing tak bisa terbang.” Nada ejekan terdengar dari mulut teman lelakinya.

“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Kalau kamu beruntung, kamu akan melihat mereka terbang berkawanan ke timur, sayapnya membentang bagaikan aurora.”

Teman lelakinya mulai tertarik dengan pembicaraan ini meski sebelumnya ia meragukan perkataan Swara.

“Bagaimana sayap bisa tumbuh di tubuh mereka?”

Swara menyesap kopi di hadapannya. “Dari sayap bidadari.”

Swara bertemu dengan bidadari belum lama ini. Tak dapat menghitungnya dengan satuan waktu, tetapi ia masih ingat persisnya. Pada malam hari Swara berjalan sendirian. Karena kehabisan bahan makanan, ia memutuskan membeli di minimarket terdekat di sekitar rumahnya. Mungkin sekalian membeli sabun cuci dan sebungkus rokok. Meski langit sangat gelap karena mendung, Swara tetap berjalan sampai akhirnya tak sengaja ia bertemu bidadari itu.

“Kamu akan tertawa melihatnya. Dia adalah bidadari termiskin yang pernah ada. Lupakan tentang lukisan bidadari cantik dan manis yang ada di pameran.”

Bidadari yang dilihat Swara sangat kumal. Wajahnya murung dan tubuh manusianya hanya tertutupi kain compang-camping.

“Ya, bidadari itu memiliki tubuh seperti manusia. Aku menyesal telah memercayai bahwa bidadari jauh lebih indah dari manusia. Kenyataan yang kulihat berbeda. Dia seperti … apa ya. Ah, seonggok tahi! Ya dia bahkan lebih jelek dari itu.”

“Mana mungkin Tuhan tega menciptakan bidadari seperti kotoran,” protes teman lelakinya.

“Mungkin saja Tuhan telah mengutuknya.”

Bidadari kumuh itu meletakkan kedua sayapnya di bawah kaki Swara. Ia merasa terhipnotis dengan tatap mata bidadari yang menyedihkan.

“Kemudian ia menyeberang jalan. Dia seperti siput. Dia lebih waspada dari emak-emak yang naik motor. Menengok ke kanan lalu ke kiri kemudian berhenti sejenak menengok ke kanan kiri lagi. Ketika dia sampai di seberang jalan aku memanggilnya.”

“Kamu memanggilnya? Dengan sebutan apa?”

“Mbak.”

“Bodoh! Itu tidak sopan,” ucap lirih teman lelaki Swara.

“Kenapa?”

“Bidadari mana mau dipanggil dengan sebutan yang sebanding manusia.”

“Saat itu aku belum tahu kalau dia bidadari,” bela Swara.

“Terus?”

Swara terus memanggil bidadari itu, tetapi ia tak menoleh. Ketika panggilan ketiga ia baru menoleh.

“Kupikir dia tuli.”

“Aku ingin mengembalikan sayapnya. Sayapnya putih dan halus, ada sedikit darah.”

“Mengapa kamu mengembalikan sayapnya?”

“Dia membuangnya begitu saja. Tak baik membuang sampah sembarangan. Bukankah kamu juga tak suka kalau seseorang membuang sampah sembarangan di hadapanmu?”

“Iya.”

Saat Swara mendekatinya, bidadari itu belalu menghilang entah ke mana.

Ada kesunyian di antara percakapan Swara dan teman lelakinya.

“Kadang kamu akan menjumpai kejadian tak terduga di luar rumah,” ucap Swara.

“Terus kamu apakan sayap itu?”

Swara tersenyum, matanya memandang wajah teman lelakinya. “Aku memberikannya pada anjing-anjing. Aku membiarkan mereka menggerogoti sayap itu sampai ke tulang-tulang. Jumlah mereka cukup banyak, sekitar dua puluh atau tiga puluh. Beberapa menit kemudian, punggung anjing-anjing itu tumbuh sayap baru. Awalnya kecil seukuran sayap burung merpati, tetapi lama kelamaan sayap itu membesar. Lalu mereka terbang bersamaan. Lurus ke arah bulan.”

Teman lelaki Swara meraih cangkir berisi teh hangat. Mendengar cerita Swara mungkin membuat tenggorokannya kering.

“Seharusnya aku memotong sayap itu kecil-kecil untuk kujadikan sup bersama irisan wortel dan sayuran. Kemudian akan kubagikan sup sayap bidadari itu ke seluruh penduduk kota dan sayap baru akan tumbuh di punggung mereka. Seluruh penduduk bisa terbang ke bulan dengan sayap itu. Sehingga Wali Kota tak perlu menghambur-hamburkan uang untuk proyek jalan tol ini,” ucap Swara mengakhiri pembicaraan. (*)

 

Pemalang, 21 April 2019

Nurul Istiawati, gadis 18 tahun yang hobinya dengerin musik klasik.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata