Ketika Aku Memohon kepada Tuhan
Oleh: Imas Hanifah Nurhasanah
Aku duduk bersimpuh, menengadahkan kepala. Mengangkat kedua tangan dan mencoba tidak menahan tangisan ini. Semua kesedihan dan kegelisahan, kutumpahkan. Aku mulai berdoa. Satu demi satu keinginanku mulai kupanjatkan ….
Aku memohon kepada Tuhan, agar aku diberikan kelapangan. Kelapangan hati agar bisa tetap menerima kenyataan pahit ini. Aku berdoa semoga segera diberikan kerelaan. Kerelaan melepaskanmu.
Ternyata, kesedihan karena kehilanganmu begitu nyata dan sangat berdampak buruk pada hidupku. Kamu mungkin tidak tahu, betapa sulitnya aku melawan keinginanku untuk mati. Aku terseok-seok mencari sesuatu yang bisa membuatku melupakanmu. Entah sebab apa tiba-tiba langkahku menuntun ke tempat ini. Selama aku hidup, aku tak pernah ke sini.
Meskipun aku ingin mati, rupanya Tuhan masih ingin aku ada di dunia ini. Ia rupanya menginginkan aku untuk tetap bisa menikmati hal-hal yang indah di dunia. Walaupun saat ini, semua keindahan itu seakan tak ada artinya. Aku lelah, aku tak berdaya. Mengingat kamu sudah berada di pelukan orang lain.
Aku memohon kepada Tuhan, agar menghapuskan rasa cinta yang amat besar ini. Terhadapmu yang sudah bukan lagi milikku, rasa cinta yang begitu besar ini harus segera pergi.
Aku terisak, menangis. Mengingatmu, mengingat kenangan kita. Kenapa? Kenapa ini begitu menyakitkan, Tuhan? Apakah aku pendosa yang amat kotor? Sehingga Engkau memberiku rasa sakit yang rasanya tak sanggup kutahan. Apakah aku? Aku pendosa?
Aku masih memohon kepada Tuhan. Aku masih percaya. Sangat percaya kalau Tuhan pasti akan mengabulkan doaku. Sekali pun aku pendosa yang kotor. Aku harus yakin. Jika tidak, maka aku mungkin akan berakhir mati konyol.
Tangisan ini semakin menjadi. Tak peduli bahwa ada jamaah lain yang merasa tak enak bersimpuh di sebelahku. Ia yang kemudian bangkit untuk melaksanakan salat. Aku sendiri kembali melanjutkan doa-doa panjang ini.
Aku memohon kepada Tuhan, jika kamu memang bahagia dengan lelaki pilihanmu itu, maka aku ingin secepatnya disadarkan. Dibangunkan dari mimpi buruk yang belum juga menemui kata ‘usai’.
Bahwa memang, aku tidak pantas bersanding denganmu. Bahwa kamu memang tidak pantas ditakdirkan untukku. Mungkin dibandingkan dengan lelaki itu, aku tak ada apa-apanya. Aku miskin dan payah. Aku tidak bisa memberikanmu kebahagiaan. Aku ….
Tangisku tak bisa dikendalikan. Aku meraung. Sakit sekali rasanya. Sesak dada ini. Sesak sekali.
Seseorang yang berada di sebelahku berkali-kali menepuk bahu. Mungkin ia sudah selesai salat.
“Istighfar ….”
“Astagfirullahhaladzim ….”
“Astagfirullah ….”
Aku masih menangis. Terbata, mengikuti kalimat-kalimat itu. Meskipun sulit, aku mencoba mengucapkannya.
“Yakinlah, Allah akan menuntun kita ….”
Aku mengangguk. Masih sesenggukan. Mendengar kalimatnya, aku bahkan makin merasa menderita.
“Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar dari kesanggupan hamba itu.”
Aku menganguk. Entah sudah berapa ratus kali aku mendengar kata-kata itu. Namun, kini begitu menusuk hati.
Masih terus menangis, masih terus meminta, masih terus mendengarkan kalimat-kalimat menyejukkan dari orang yang tak kukenal itu.
Sampai kemudian, aku tertidur. Pulas sekali.
***
Aku bermimpi. Mimpi yang amat menyakitkan. Dirimu bersanding dengannya, mengucapkan ijab. Aku yang pernah membayangkan kita berdua yang akhirnya bersama, saling mengucap janji setia. Aku terluka.
Dengan santai dan senyum bahagia, kamu mencium punggung tangan lelaki itu. Lelaki yang telah merebutmu dariku. Hatiku panas, mendidih. Ingin rasanya aku melompat ke hadapannya dan mencekiknya sampai mati. Tetapi, kakiku sulit bergerak.
Kamu tersenyum bahagia dan senyummu itu ibarat pisau tumpul yang dipaksa menyayat urat nadi. Sakit bukan main.
Itu terasa nyata. Sampai aku menggigil dan terbangun dengan air mata yang masih berderai.
Kulihat seseorang yang sedari tadi membimbingku sedang khusyuk melaksanakan salat lagi. Kutengok jam dinding. Pukul dua dini hari.
Sebuah pesan instan darimu datang. Aku takut-takut membukanya. Kira-kira, apa isinya mampu membuatku semakin terpuruk?
Aku menarik napas panjang. Bersiap untuk rasa sakit yang lebih menyerang.
[Maaf, kamu sendiri tahu. Betapa besar perbedaan kita. Kamu dan aku, harus dipisahkan oleh keyakinan. Aku berdoa semoga Allah melapangkan hatimu.]
Aku diam. Tidak terlalu buruk pesannya.
Selesai salat, orang itu kembali menghampiriku. Aku tersenyum, meski mata sembap dan wajah kusut ini pasti lebih memprihatinkan.
“Sudah baikan?”
Aku mengangguk. “Bagaimana caranya masuk Islam?” tanyaku. Orang itu sedikit terkejut. Kemudian tersenyum penuh haru. Tangannya menggenggam tanganku.
“Masya Allah, Alhamdulillah ….”
“Saya serius.”
“Tentu. Insya Allah, saya akan membimbingmu.”
Entah permohonan siapa yang telah Tuhan kabulkan. Aku atau kamu, aku tidak tahu. Satu yang pasti, aku merasa lebih baik sekarang. Hatiku terasa lebih lega. (*)
2019
Imas Hanifah Nurhasanah. Wanita kelahiran 22 tahun silam ini bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Ia juga menyukai jus alpukat, kucing dan kelinci.
Ia bisa dihubungi via sosial media di facebook: Imas Hanifah N atau Ig: @hanifah_bidam.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata