Ketapel Dalam Lensa (Terbaik ke-20 LCL)

Ketapel Dalam Lensa (Terbaik ke-20 LCL)

Ketapel Dalam Lensa
Oleh: Selim Dee
Pilihan Gambar: Gambar 6
Terbaik ke-20 Lomba Cermin Lokit
#Menerjemahkan_Gambar

 

Badanku terasa pegal setelah perjalanan yang melelahkan. Belum lagi, sampah, baju kotor, sisa roti, dan tumpukan kertas di mobil. Daripada kondisi yang berantakan, aku justru lebih mengkhawatirkan body Wrangler-ku. Selain noda coklat yang menempel kuat, aku cemas pada batu yang sempat terlontar dan menggores bagian luar. Dua hari yang lalu, mobilku itu, melewati medan yang cukup berat. Aku hanya berpikir, masih ada jalanan dengan tanah ambles, kerikil, dan batu besar, sedangkan sekitar tidak sampai 100 km dari sana, ada jalan tol yang digunakan pengendara untuk memangkas waktu.

Andai saja tidak jenuh dengan pekerjaan, tentu aku tidak sampai ke daerah itu. Sebenarnya, bukan ide bagus pergi di musim penghujan tanpa persiapan matang. Biasanya, aku membuat perencanaan yang detail bersama dengan timku. Kali ini aku benar-benar ingin sedikit santai: tanpa target dan tanpa sosmed.

Rupanya aku menuai efek mematikan sosmed setelah ponsel kuaktifkan: teror dari tim kerja. Untungnya, hasil lensa kamera video profesional–yang kusiapkan di mobil ketika travelling–menyelamatkanku dari tuduhan “menghilang saat dibutuhkan”.

“Video ini yang mau diunggah?” tanya Risma.

Aku hanya melirik Risma yang berdecak sebal. Wanita cerewet itu menyingkirkan gelas berisi kopi hitam instan yang berada di dekat tumpukan kertas. Asbak yang berisi puntung rokok pun digesernya sambil terus mengomel tentang kebiasaanku yang berantakan.

“Kenapa kamu bisa bekerja seperti ini?” tanya Risma.

“Dan kenapa aku tidak bisa bekerja dengan kondisi seperti ini?” balasku tanpa menghentikan jariku yang menggerakkan mouse.

Sejenak tanganku berhenti bergerak. Aku mengamati tiga anak yang berlari dalam tayangan di monitor laptop. Ada tiga bersaudara yang kukenal saat perjalananku berhenti di sebuah desa, yaitu Rino, Udi, dan Alit. Tak sengaja aku merekam mereka yang sedang berburu burung dengan ketapel. Mereka berlari ke arah pepohonan yang dikelilingi perdu dan rumput liar. Kaki mereka seakan-akan punya mata sehingga tidak terpeleset karena jalan becek dan berbatu.

Aku masih ingat saat itu jam setengah enam pagi dan aku tak bisa memejamkan mata lagi karena ulah mereka. Yang membuatku harus menahan kesal adalah mereka memukul body jeep-ku saat bertengkar. Virus Risma sepertinya menular padaku kalau itu tentang mobil. Namun, tiga bersaudara itu hanya mengedikkan bahu saat aku mengomel. Mereka mungkin mengira harga mobilku seperti mobil-mobilan.

“Itu, Mas, tembak! Aku mau itu!” teriak Alit sambil menunjuk ke arah satu pohon paling besar. Rupanya ada seekor burung bertengger di sana.

“Ssst, jangan teriak,” ucap Rino.

“Dari tadi kamu terus. Aku mau juga,” gerutu Udi.

“Kamu belum bisa. Sekarang kita harus dapat dulu,” ujar Rino.

Trak! Batu menumbuk sesuatu.

“Apa hebatnya itu?” Suara Risma mengalihkan fokusku dari layar.

Aku tak ingin menjawab. Namun, kalau aku mengabaikan Risma, omelannya akan sepanjang trilogi The Lord of The Rings.

“Lihat, yang memegang ketapel ini keren karena ia harus membidik sasaran sementara sekitarnya berisik.”

“Oh, si Paling Tua yang menganggap dirinya hebat sampai adiknya tidak dipinjami ketapel barang sebentar,” ujar Risma.

Kenapa Risma tidak melihat Rino mengagumkan? Tentu saja Risma tidak pernah merasakan sensasi kayu berbentuk huruf V itu, batu kerikil, dan tali yang diregangkan. Hasil lenturan adalah lesatan yang tidak bisa dibayangkan: sesuatu yang tidak akan sama lagi, kepuasan atau kekecewaan. Membidik sasaran menggunakan ketapel butuh kecepatan sekaligus kesabaran. Aku yakin, tidak aku saja yang bisa melihat itu dari Rino.

“Kalau kemiringan tidak tepat, kerikil justru akan menumbuk jempol. Setidaknya, dia harus menguasai ketapel itu agar bisa mengajari adiknya,” ujarku. Aku kenal dengan perasaan ini. Menjadi anak tertua membuat naluri melindungi adik-adikku muncul begitu saja. Bukan tidak percaya, aku harus memastikan situasi terkendali agar bisa menjawab ketika orang tuaku bertanya ini-itu.

“Tidak ada tanda-tanda dia akan menyerahkan ketapel pada adiknya. Pantas saja adiknya kesal,” debat Risma sambil bersedekap.

“Kamu hanya melihat Udi. Alit malah antusias.”

“Itu karena dia ingin dapat sesuatu yang instan tanpa usaha,” tukas Risma cepat.

Kembali aku menatap video. Beberapa adegan malah terlewat karena ocehan Risma mengganggu pendengaranku. Aku kembali memutar beberapa adegan pada menit sebelumnya.

“Burungnya di pohon yang tinggi. Kurang panjang talinya. Pasti gak kena,” gerutu Udi dengan muka masam.

Rino tidak membalas hanya mengarahkan ketapel ke arah Udi. Muka Udi pucat. Ia langsung berjongkok, menentukan posisinya agar tidak menghalangi Rino. Anak lelaki enam tahun itu menatap burung di pohon dengan wajah muram.

“Hanya begini saja. Tidak menarik.” Kembali suara Risma terdengar.

Aku menatap layar komputer. Apanya yang tidak menarik? Selain anak-anak itu, pohon besar yang diameternya melebihi pelukan orang dewasa, daun-daun berserakan, dan bunga yang tumbuh liar sangat menarik untuk ditonton. Beberapa tumbuhan bahkan sudah jarang ditemukan. Tentu saja butuh sedikit usaha mengedukasi penggemar.

“Kemasan mereka kurang menarik.”

Apakah karena celana pendek dan kaus tanpa lengan membungkus kulit cokelat dan berkeringat? Justru aku melihatnya mirip bocah petualang yang ada di televisi.

“Tidak mungkin aku menyuruh mereka menggunakan seragam atlet ketapel,” timpalku mulai jengkel.

“Kamu jangan berlebihan, sudah ada klub ketapel di Indonesia.”

“Kamu saja yang belum melihat value di sini.”

“Meskipun kamu ketua tim kita, aku memberi masukan sesuai dengan selera netizen Indonesia. Jangan merajuk.”

Baiklah, setelah Si Berlebihan, aku menjelma menjadi Si Perajuk. Padahal, aku tidak meninggikan nada suara, tetapi Risma memberiku label yang mengerikan. Begitulah, wanita dengan semua asumsinya.

“Menurutku ini ide segar. Netizen bisa jenuh kalau kita mengunggah konten yang sejenis,” sahut Hendi yang tiba-tiba sudah di dekat mejaku.

“Ketapel di video itu tidak istimewa. Lagi pula, anak-anak itu harus terlihat sangat miskin, sangat menyedihkan, atau justru sangat menyebalkan agar di mata netizen menarik, sampai mereka emosi atau menangis kalau perlu,” komentar Rina dengan menaikkan salah satu sudut bibirnya.

“Harus sedramatis itu untuk membuat menarik? Justru mereka terlihat natural. Kita tinggal matangkan konsep dan kemasannya,” kilah Hendi.

“Aku tetap ingin posting,” tandasku.

“Ya, membuat sesuatu yang biasa jadi luar bisa itu tantangan.”

“Tentu,” jawabku sambil mengerling ke arah Hendi.

Rina mengedikkan bahunya, lalu berkata, “Terserah. Jangan salahkan aku kalau konten kita kali ini kurang menjual atau ditinggalkan penggemar.”

Semua bungkam. Aku menatap kedua temanku yang berbeda pendapat. Tak berapa lama, tawaku meledak karena teringat sesuatu. Sampai Rina dan Hendi mengumpat dan akhirnya pergi ke meja mereka masing-masing, aku tetap tertawa keras.

Bumi Tembakau, 21 September 2021

Selim Dee, penyuka warna biru yang hobi menulis. Baginya, menulis adalah merekam peristiwa dan menolak lupa.

Komentar juri, Lutfi Rosidah:

Membaca cerpen ini seperti menyentil saya, mengingatkan betapa orang-orang begitu naif pada segala hal yang dianggap menarik. Sampai-sampai harus membuat sesuatu secara berlebihan agar mendapat perhatian dan viral.

Sepenggal kisah yang relate dengan kondisi negri kita saat ini.

Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Leave a Reply