Kesempatan

Kesempatan

Kesempatan
Oleh : Ketut Eka Kanatam

Suara para juri yang sedang memberi penilaian kepada seorang peserta, terdengar sampai ke tempatku duduk untuk menunggu giliran menghadap mereka. Aku hanya bisa meremas jemari yang terus saja gemetar sejak salah seorang panitia mengatakan agar aku bersiap-siap untuk tampil. Dada ini masih saja terasa sesak walaupun sudah menghirup udara sebanyak-banyaknya.

“Aku bisa! Aku bisa! Aku bisa!”

Hanya kata-kata itu yang terus kuulang-ulang agar bisa lebih tenang. Kata-kata yang selalu dibisikkan oleh Hans, satu-satunya orang yang percaya kalau aku punya bakat. Dialah yang memintaku untuk mengikuti ajang menyanyi ini.

Aku segera bangkit dari tempat duduk ketika petugas yang memanggilku tadi memberi kode agar aku segera memasuki ruang audisi.

Saat melangkah dan berdiri di depan para penonton, aku kembali diserang kecemasan. Keringat dingin mengalir di keningku.

Padahal di antara ajang pencarian bakat yang ada, sengaja aku memilih ajang pencarian bakat ini. Para juri tidak akan melihatku saat tampil, pun tidak akan macam-macam pertanyaan yang membuatku semakin gugup. Mereka akan berputar menghadap peserta bersuara bagus dan layak diuji lagi dengan peserta lain.

Badanku sudah setengah berputar hendak meninggalkan ruang audisi ketika sudut mataku menangkap sosok yang baru saja duduk di bangku penonton. Tatapannya yang teduh membuatku bergeming, mengurungkan niat untuk mengundurkan diri.

Jika aku melarikan diri seperti sebelum-sebelumnya, maka perjuangan kami selama ini akan sia-sia. Hampir dua tahun dia hadir dalam hidupku. Selama itu, dia tak pernah bosan memberi semangat dalam setiap kesempatan. Dia selalu mengucapkan kata-kata motivasi agar rasa percaya diriku kembali.

Berdiri di panggung ini adalah satu-satunya kesempatan untuk menunjukkan bahwa aku percaya semua ucapannya.

Dengan melihat ke arahnya, aku bisa menyanyikan lagu yang telah kupilih. Aku menyanyi dengan sepenuh hati, khusus untuk dia. Rasa bahagia memenuhi hatiku ketika melihat senyumnya terus terkembang saat aku bisa menyanyi sampai selesai.

Kebahagiaan yang semakin sempurna saat keempat juri akhirnya berputar dan para penonton bertepuk tangan sambil berdiri begitu aku selesai bernyanyi.

Aku semakin lega ketika juri memberi penilaian pada suaraku tanpa menyinggung latar belakangku. Setelah dua puluh lima tahun, akhirnya aku bisa keluar dari bayang-bayang ibuku, sang penyanyi terkenal.

Hans menyambut kemenanganku. Dia bilang, dia bahagia karena aku berhasil mengatasi rasa minder yang selama ini mengungkungku. Hatiku penuh sukacita.

Hans mengajakku pergi ke pantai untuk merayakannya. Tempat pertama kali kami bertemu.

Kala itu, aku menatap dirinya, seorang laki-laki yang fasih berbicara dalam dua bahasa tentang keindahan matahari tenggelam kepada rombongan tamu mancanegara. Tidak ada kesan apa-apa selain kagum dengan kemampuannya.

“Tidak baik seorang gadis sendirian saat matahari masuk ke peraduannya.”

Sapaannya membuatku menoleh seketika. Aku kira kegelapan bisa membuatku tidak kelihatan dari tatapan orang-orang, ternyata, masih ada saja yang menyapaku.

Aku menatapnya dengan penuh prasangka. Apakah dia tahu siapa diriku yang masih tetap duduk di pasir ini? Meskipun semua orang sudah pergi setelah puas menyaksikan indahnya matahari tenggelam?

Apakah dia tahu kalau ibuku baru saja mengadakan konferensi pers dan mengatakan kalau aku adalah anak adopsinya? Dia membantah pemberitaan di semua koran yang menuliskan kalau aku adalah anak haramnya.

Apakah dia juga merangkap bekerja sebagai pemburu berita? Atau dia ingin mendengar pernyataan dari mulutku sendiri bahwa aku mengetahui kebohongan Ibu? Bahwa sebenarnya aku adalah anak hasil perselingkuhan antara dirinya dengan salah satu anggota dewan, orang yang membuat dirinya terus eksis di dunia hiburan.

“Jangan menatapku seperti itu, Nona! Aku hanya tidak mau kamu dilecehkan kalau diam terus di sini.

Tatapannya yang mengarah pada gerombolan pemuda yang sedang minum-minum tidak jauh dari tempatku duduk, membuatku mempercayai alasannya.

Aku segera bangkit dan pergi meninggalkannya. Sepertinya, hanya di dalam kamar hotel saja tempat paling aman dari serbuan wartawan dan tatapan melecehkan orang-orang iseng.

Aku sudah melupakan sosoknya sampai kemudian nasib mempertemukan kami kembali.

“Jadi kamu yang harus aku temani?”

Sapaannya membuatku teringat lagi dengan pertemuan kami saat matahari tenggelam. Rupanya, agen perjalanan yang aku pilih untuk mengenalkan wisata di Lombok, telah mengirim dia untuk menjadi guide-ku.

Pertemuan yang kedua itu menyebabkanku semakin peduli padanya. Sikapnya yang penuh perhatian dan tak pernah bertanya tentang latar belakangku, membuatku mulai tertarik dengannya. Dia gigih menunjukkan rasa tertarik kepadaku. Ketulusannya membuatku tersentuh. Pada akhirnya, perlahan tetapi pasti, aku mulai membuka diri.

“Terima kasih, Hans. Jika aku tidak bertemu dengan kamu, mungkin aku masih tetap hanya duduk di sini meratapi nasib.”

“Aku yang merasa sangat beruntung bertemu dengan kamu, Sa.”

Pelukannya erat di bahu, membuatku semakin nyaman bersandar padanya. Bahu yang aku tahu begitu kokoh saat Hans menggendongku turun dari gunung Rinjani. Waktu itu, kakiku terkilir saat terperosok ke dalam jurang akibat melihat pemandangan yang begitu menggodaku.

Malam kemenangan itu kami akhiri dengan menyewa sebuah motel karena hujan mendadak turun saat kami masih duduk menikmati deburan ombak yang memecah pantai.

“Jangan, Sa. Aku tidak akan melakukannya sebelum kita sah di mata Tuhan.”

Meskipun napasnya sudah memburu dan baju kaos yang dia pakai telah terongok di lantai—begitu juga rokku, dia masih mencoba menahan diri. Tangannya bergerak cepat menghentikan tanganku yang bergerak membuka kancing baju sendiri.

Aku tepis tangannya sambil terus membuka kemeja yang menutupi tubuhku dan juga melepas dengan cepat pelindung dadaku.

Dalam temaram lampu tidur kutatap matanya yang seketika membesar begitu melihatku berdiri polos di hadapannya. Jemarinya gemetar saat menyentuh dadaku. Sentuhannya begitu lembut, membuatku tidak tahan lagi.

“Kamu tidak merasa jijik kepadaku?”

Seharusnya Hans tidak menyentuhku seperti itu. Tidak ada laki-laki yang tahan begitu aku menampilkan diri apa adanya di hadapan mereka.

Bekas luka akibat siraman air mendidih yang dilakukan oleh Ibu sewaktu aku masih SMP tidak pernah hilang. Dia mengaku sedang mabuk saat melakukannya. Bekas luka berwarna cokelat tampak jelas di sekitar dada dan perutku. Warna yang kontras dengan warna putih gading kulitku. Ditambah begitu banyak parut di perut bekas goresan yang kulakukan sendiri untuk mengakhiri hidup.

Seiring usia bertambah, keinginan untuk mati bunuh diri semakin sering memenuhi benakku. Menjadi anak yang tidak diakui oleh Ibu kandung sendiri membuatku merasa tidak berarti hidup di dunia ini. Cacian, makian, dan siksaan yang dia lakukan telah membuatku mati rasa kepada semua orang.

Tidak ada yang menyayangiku dengan tulus. Orang-orang yang mendekatiku karena melihat ibuku. Mereka juga hanya tergoda dengan kecantikan wajahku. Sikap dan tatapan yang menyamakan diriku dengan ibu membuatku muak.

Aku selalu berhasil mengusir mereka dengan menunjukkan diri apa adanya. Tidak ada yang sanggup menghadapi bekas luka itu.

Malam ini, aku ingin menunjukkan hal yang sama pada Hans. Aku sudah mempersiapkan diri, menunggu waktu yang tepat untuk melakukannya.

Jika dia pergi dan ingin meninggalkanku, aku harus siap. Dia berhak mendapat yang lebih baik dari diriku.

“Izinkan aku menyentuhnya, Sa.”

Ucapan dan tindakannya membuatku tertegun.

“Kamu bisa melewati semua ujian dengan baik. Aku sangat beruntung bisa mengenalmu, Sa.”

Sorot mata penuh penghargaan dari dirinya membuat air mata tidak bisa kutahan lagi. Dia membuka tangannya, membiarkan aku menumpahkan tangis bahagia di dadanya yang bidang. (*)

Bali, 10 September 2021

Ketut Eka Kanatam, guru TK yang menyukai warna ungu. Sudah menulis beberapa antologi. Berharap suatu saat tulisan yang dibuat akan dibaca oleh semua anak didik.

Editor : Rinanda Tesniana

Gambar : https://pin.it/287hOZT

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

 

Leave a Reply