Kesatria Jayasri

Kesatria Jayasri

Kesatria Jayasri
Oleh: Cici Ramadhani

“Ayo, kita buktikan! Siapa yang terlebih dahulu sampai ke hutan dan mendapatkan daun Renggani, maka akan menerima jatah makan malam lebih dari yang kalah,” tantang Saka Geni kepada dua sahabatnya.

Daun Renggani adalah daun untuk menyembuhkan luka dalam. Hari ini guru mereka–Setya Rasi–yang tak lain adalah ayahanda Saka Geni, memberi tugas pada anak didiknya untuk mencari daun langka yang berada dalam hutan pegunungan Drisana itu.

Langga Weni langsung membayangkan piring makannya akan penuh oleh jatah makanan dari kedua sahabatnya. Dia yang memang doyan makan langsung menerima tantangan Saka Geni. “Baik, siapa takut. Aku pasti bisa mengalahkan kalian,” ucap Langga Weni yakin.

Lain hal dengan Pranajaya. Dia menerima tantangan Saka Geni karena jiwa petarungnya sangat tinggi. Meskipun dia harus kehilangan jatah makan malam, dia tak peduli.

Saka Geni melesat bagai anak panah yang baru saja terlepas dari busurnya, ketika dia dan kedua temannya–Langga Weni dan Pranajaya–saling adu kecepatan.

Mereka terus berlari, berkelok di antara pepohonan dan melompati anak sungai. Kelincahan kaki mereka hampir berimbang. Terkadang Saka Geni yang memimpin, kemudian Langga Weni menyusul, begitu juga dengan Pranajaya. Tidak ada kata lelah maupun menyerah.

“Saka Geni, tidak jauh lagi tempat daun Renggani biasa tumbuh,” ucap Soma –serigala biru–binatang sihir milik Saka Geni. “Setelah melewati anak sungai di depan, kau ambillah jalan ke kiri. Maka, kau akan lebih dulu mendapatkan daun itu.”

“Baiklah,” jawab Saka Geni.

Mereka bertiga terus berlari bersama dengan Shida masing-masing.

Saka Geni, Pranajaya, dan Langga Weni, masing-masing memiliki Shida–seekor serigala biru. Mereka terikat secara batin satu sama lain antar Tuan dan penjaganya. Mereka menggunakan telepati untuk berkomunikasi.

Berkat ketajaman penciuman Soma, Saka Geni memenangkan tantangan itu.

“Aku beruntung memilikimu. Tidak sia-sia aku melatihmu.” Saka Geni membelai bulu-bulu yang menutupi punggung Soma kemudian mencium kepalanya. “Terima kasih,” bisiknya.

Saka Geni menyeringai saat kedua sahabatnya tiba dengan napas yang terengah-engah. Kemudian melambaikan daun Renggani dalam genggaman tangan kirinya.

“Kemampuanmu semakin meningkat,” puji Langga Weni pada Saka Geni.

“Tidak juga, aku hanya mencari jalan terdekat agar bisa tiba lebih dulu,” Saka Geni menjawab.

“Pasti Soma yang memberi tahumu, ‘kan?” tebak Pranajaya.

“Ha-ha-ha,” tawa Saka Geni pecah. “Tentu saja. Penciuman Soma sangat tajam. Seorri kau harus lebih sering berlatih dengan Tilo, Pranajaya.”

Seusai mendapatkan daun Renggani, mereka bertiga kembali ke Akademi Jayasri untuk menyerahkannya pada Setya Rasi. Namun, saat menuju ruangan Setya Rasi, ketiganya berhenti karena mendengar percakapan. Tanpa diperintah, ketiganya mencuri dengar pembicaraan Setya Rasi dengan seseorang yang mengatakan Akademi Jayasri akan mengikuti perang di Padang Api, dan hanya murid-murid tingkat atas sajalah yang boleh ikut berperang.

Merasa belum waktu yang tepat untuk menyerahkan tugas, Saka Geni dan dua orang temannya segera berbalik badan menuju asrama mereka.

Setelah makan malam, Pranajaya mengajak bertemu di belakang asrama. Di atas balai-balai bambu, mereka duduk dan berbicara dengan suara pelan.

“Kita harus ikut berjuang,” ucap Pranajaya.

“Tentu saja. Mana mungkin kita berdiam diri di akademi sementara para guru dan senior berperang,” Langga Weni manambahi.

Saka Geni bergeming. Pikirannya terus mengembara pada ayahanda–Setya Rasi. Sebagai seorang anak dari salah satu guru Akademi Jayasri, Saka Geni tidak ingin mengecewakan ayahnya. Dia masih ingat akan pesan-pesan ayahnya saat awal masuk akademi. Sang Ayah memintanya untuk belajar dengan baik dan bersungguh-sungguh. Akan tetapi, jiwanya merasa terpanggil ingin melindungi Akademi Jayasri dari para musuh.

“Bagaimana, Saka Geni? Kau tentu akan ikut bersama kami, kan?” tanya Pranajaya sambil menepuk bahu Saka Geni.

“Baiklah,” jawab Saka Geni. “Sejak awal masuk Akademi ini, kita selalu bersama, dan kali ini pun kita akan tetap berjuang bersama.”

Mereka bertiga menyatukan kepalan tangan tanda kemantapan hati. Semalaman mereka mengatur rencana, mulai dari tambahan latihan ilmu kanuragan, meracik obat-obatan, serta memikirkan bagaimana bisa keluar dari asrama.

***

Hari-hari Saka Geni kini lebih sibuk dari sebelumnya. Saka Geni mulai meracik sebuah ramuan yang rencananya akan dibaluri pada mata anak panahnya. Dia pernah memperhatikan ayahandanya membuat ramuan tersebut.

Setelah ramuan selesai, Saka Geni melakukan uji coba. Bersama Adof, Saka Geni menuju lereng pegunungan Drisana. Saka Geni, menarik busurnya ketika melihat seekor cenai di antara pepohonan. Cenai itu memiliki taring yang tajam dengan moncong yang panjang. Kuku-kukunya juga runcing. Cenai biasa menjadi buruan para murid Akademi untuk mengambil kuku dan taringnya sebagai jimat keberuntungan.

Sekali bidik, anak panahnya langsung menancap ke perut Cenai. Saka Geni berlari mendekati binatang tersebut untuk memastikan keadaannya.

“Berhasil!” sorak Saka Geni penuh bahagia. Ramuan yang dibuatnya berhasil membunuh binatang itu. Tubuh cenai seketika menghitam. Selain itu, ini membuktikan bahwa kemampuan memanah Saka Geni juga meningkat pesat.

“Kau memang jenius, Saka Geni,” puji Soma.

“Bagaimana kalau sekarang kita uji kemampuanmu, Soma,” tantang Saka Geni. “Aku ingin kau bergerak cepat menghindari serangan ilmu kanuraganku. Kau bersedia?”

“Tentu, ucapanmu adalah titah bagiku,” ucap Soma yakin.

“Baiklah. Kau harus mengerahkan semua kemampuanmu, Soma. Karena jika tidak, jurus angin penjuruku akan melukaimu.”

“Sudah, jangan banyak bicara. Cepat buktikan kemampuan jurusmu,” potong Soma.

Saka Geni tersenyum sinis mendengar ucapan Soma. Dengan memusatkan pikiran, Saka Geni menutup kedua matanya, tangannya terbuka lebar. Mulutnya komat kamit membaca mantra sambil kedua tangan memutar-mutar mengumpulkan kekuatan. “Ketar … ketir … marute jiwo.”

Kemudian angin berembus kencang dari segala penjuru, lalu berkumpul dalam lingkaran kedua tangan Saka Geni. Ketika membuka matanya, Saka Geni terperanjat. Kumparan angin itu dua kali lipat besarnya dari yang biasanya.

“Soma, kau harus menajamkan penglihatanmu. Kau harus cepat menghindar!” teriak Saka Geni penuh kekhawatiran.

Saka Geni tak mampu menahan kumparan angin yang semakin membesar. Maka, dia melepaskannya dan terduduk lemas di tanah.

Beruntung, Soma menghindar dengan cepat. Kumparan angin besar itu merobohkan sebuah pohon besar yang ada di belakang Soma.

“Kau tidak apa-apa?” tanya Soma saat menghampiri Saka Geni.

“Tidak apa-apa,” Saka Geni mencoba bangkit. “Bagaimana denganmu?” tanya Saka Geni sambil mengelus seluruh tubuh Soma.

“Aku tidak apa-apa. Jurusmu kali ini memang sangat besar kekuatannya, tetapi kecepatannya sangat lambat sehingga aku bisa dengan cepat menghindar,” ucap Soma.

Sekarang Saka Geni mulai paham kapan ia harus menggunakan jurus angin penjuru. Biasanya dia berlatih tanpa fokus sehingga hanya ada kumparan kecil dalam lingkaran tangannya. Namun, jurusnya melesat dengan sangat cepat sehingga dapat melumpuhkan seorang lawan. Kali ini, jurus angin penjurunya bisa melumpuhkan puluhan orang.

Langit cerah tiba-tiba berubah kelam. Bahkan hawa dingin semakin menembus hingga ke tulang belulang. Begitu pula suara rintihan seluruh Shida di Akademi Jayasri yang menyayat kalbu, terdengar hingga lereng pegunungan Drisana, tempat Saka Geni berlatih.

“Soma, mari kembali ke asrama. Aku merasakan firasat yang sangat buruk,” ucap Saka Geni sambil mengalungkan busur panahnya.

“Seekor Shadi telah tewas,” ucap Soma sambil menitikkan air mata. “Naiklah ke punggungku.”

Saka Geni menuruti Soma kemudian secepat kilat hewan berbulu itu menembus kabut yang semakin tebal.

Lolongan, auman, dan cicitan, dari seluruh Shida yang ada di Akademi Jayasri serupa dengan tangisan kepiluan.

Saka Geni terduduk lemas, saat dilihatnya tubuh sang ayah–Setya Rasi–terbujur kaku di halaman Jayasri.

“Ayah, bangun,” ucapnya lirih. Saka Geni mengguncangkan tubuh Setya Rasi, berharap ayahnya akan terbangun mendengar suaranya. Namun, tubuh itu tak lagi bernyawa bersama Singoro–Shida Setya Rasi. Saka Geni terus melakukannya berulang-ulang. Air matanya terus mengalir tanpa henti.

“Cukup, Saka Geni. Relakan ayahmu.” Dupathi Deepa menepuk-nepuk bahu Saka Geni.

Dupathi Deepa adalah pemimpin Akademi Jayasri yang sangat sakti. Deepa adalah perempuan setengah manusia dan setengah Shida yang memiliki telinga runcing dan tanduk kecil di dahinya.

“Siapa yang melakukan ini pada ayahku, Dupathi Deepa?” tanya Saka Geni di sela isak tangisnya.

“Tidak ada yang tahu pasti kejadiannya. Akan tetapi, aku yakin ini pasti perbuatan utusan Raja Aji Wura,” jawab Deepa.

Saka Geni memeluk erat tubuh sang Ayah. Rahangnya mengeras, lengannya terkepal.

“Tenanglah, Saka Geni. Kematian ayahmu tidak akan sia-sia. Aku berjanji,” ucap Deepa.

“Ayaaah!” teriak Saka Geni disertai lolongan panjang dari Soma.

“Aku akan membalaskan dendam untukmu Ayah,” ucap Saka Geni dalam hati.

***

Malam ini, setelah memastikan semua murid tingkat awal telah tidur, Saka Geni, Langga Weni, dan Pranajaya akan menyelinap keluar asrama untuk menyusul para murid tingkat atas yang telah berangkat pagi tadi.

Saka Geni yang tahu seluk beluk asrama ini, berjalan lebih dahulu kemudian diikuti kedua temannya. Itu semua berkat ayahandanya yang sering membawanya ikut serta sebelum menuntut ilmu di Akademi.

Mereka mengendap-endap, berjalan perlahan menuju tembok belakang asrama yang terhubung langsung ke hutan. Itu adalah satu-satunya jalan keluar di mana tidak ada penjaga. Mereka bertiga berhasil melompati tembok pembatas yang menjulang tinggi dengan bantuan akar pohon beringai yang telah mereka ikat sebelumnya pada pohon di balik tembok. Akar pohon beringai sangat kokoh dan panjang sehingga tidak akan mudah patah ketika ketiga pemuda itu memanjatnya.

Matahari menampakkan sinarnya ketika Saka Geni, Langga Weni, dan Pranajaya terbangun. Setelah memakan bekal yang mereka bawa, mereka memutuskan kembali melanjutkan perjalanan.

Namun, di tengah perjalanan mereka bertemu para penjahat. Pertarungan pun terjadi. Saka Geni melepaskan anak panahnya ke arah lawan. Berlari dan memanah, kemudian melompat menghindari serangan dari musuh.

Soma mencengkeram seorang lawan, kemudian menggigit lehernya ketika Saka Geni hendak diserang dari belakang.

“Terima kasih, Soma,” ucap Saka Geni sambil berlari masuk ke dalam hutan.

Saka Geni mencampakkan busur panahnya karena tidak ada lagi anak panah untuk dibidikkan. Dalam keadaan terdesak seperti ini jurus angin penjurunya hanya bisa melumpuhkan beberapa orang saja. Saka Geni belum mempelajari banyak ilmu kanuragan lainnya.

Saka Geni dan Soma bersembunyi di balik batu besar saat menyadari kakinya mengeluarkan banyak darah. Para penjahat terus mengejar mereka. Saka Geni, Langga Weni, dan Pranajaya kini terpisah.

Saka Geni sadar, mereka jelas kalah jumlah dengan para penjahat itu. Tidak tahu pasti berapa anak panahnya yang berhasil membunuh lawan.

“Maafkan aku tidak bisa melindungimu,” ucap Soma saat Saka Geni meringis menahan sakit.

“Ini bukan salahmu. Belati musuh melesat sangat cepat sehingga dapat melukaiku. Akan tetapi, untungnya hanya mengenai kaki, sebentar lagi juga akan pulih.”

Saka Geni mengeluarkan ramuan penyembuh luka yang diraciknya dari daun Renggani kemudian menyobek lengan bajunya untuk membalut lukanya agar tidak terjadi pendarahan.

“Aku mengkhawatirkan Langga Weni dan Pranajaya,” ucap Saka Geni lirih.

“Jangan khawatir. Semoga tidak terjadi apa-apa pada mereka,” hibur Soma.

Setelah merasa cukup tenaga, Saka Geni dan Soma kembali berjalan menyusuri hutan, berharap dapat bertemu dengan Langga Weni dan Pranajaya. Saka Geni tidak akan berhenti hingga dendamnya terbalaskan. (*)

Cici Ramadhani, penulis asal Aceh. Penulis novel Perempuan dan Kenangan.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply