Kesan Pertama
Oleh: Inu Yana
Pilihan Gambar: Gambar 2
Terbaik ke-2 Lomba Cermin Lokit
#Menerjemahkan_Gambar
Kalau bukan karena teman dari Ratna, keponakan jauhnya, dan belum terlanjur menerima uang panjer, mungkin Salamah enggan menerima Juni untuk tinggal di salah satu rumah kontrakan miliknya. Ia tak menyukai gadis berambut cokelat itu. Menurutnya gadis cerewet itu terlalu berani untuk ukuran perempuan. Ia bahkan berani menatap mata Salamah saat berbicara, padahal selama ini hampir semua penghuni kontrakannya tak ada yang berani menatapnya seperti itu.
“Memang apa yang salah dengan dia menatapmu? Bukankah itu artinya ia menghargaimu sebagai lawan bicara?” tanya Junaidi, suami Salamah.
Selama hampir sepuluh tahun menjadi istri juragan kontrakan, perempuan itu sudah terbiasa berhadapan dengan berbagai macam karakter orang, tetapi untuk saat itu ia tak seperti biasanya.
“Tapi dia memanggilku Budhe,” jawab Salamah, menyimpang dari apa yang ditanyakan suaminya. Memang, tak ada yang salah dari tatapan gadis itu, tapi dipanggil Budhe membuatnya merasa seperti lebih tua sepuluh tahun dari usianya yang sebenarnya. Salamah berpapasan dengan Juni saat gadis itu hendak naik ke lantai dua tempat kamarnya berada. Suasana hati Salamah saat itu memang sedang tidak baik usai gagal menagih uang kontrakan pada salah satu mahasiswi yang tinggal di kamar paling ujung yang sudah menunggak dua bulan dengan begitu banyak alasan. Saat itu ia tengah menuruni undak demi undak tangga kontrakan dua belas pintu miliknya itu sambil mengomel. Ia terkejut saat tahu-tahu ada seorang gadis bertubuh sintal sudah berdiri di hadapannya. Gadis itu berdiri terpaku satu undak di bawahnya seraya menatapnya dengan tatapan yang menurutnya aneh. Ada senyum samar di wajah gadis berkemeja kotak-kotak itu, hal itulah yang membuat Salamah sedikit kesal pada gadis yang datang dengan sebuah tas ransel di punggung juga menenteng koper warna merah muda itu.
“Apa, sih, arti sebuah panggilan? Kamu pengennya dipanggil Kakak?” ledek Junaidi, seraya meletakkan segelas teh yang baru saja ia seduh sendiri pada meja di depan istrinya kemudian duduk di samping perempuan itu.
“Ya, nggak seperti itu juga. Tapi dia terlalu sok akrab.” Salamah mengganti saluran.
Suaminya tersenyum kecil, “Itu artinya dia ramah.”
“Dia bukan ramah. Dia petentengan,” jawab Salamah tanpa menoleh, fokus pada layar 42 inch di depannya. Ia masih kesal karena dipanggil Budhe oleh orang yang menurutnya usianya tak terlampau jauh dari darinya.
“Dari mana petentengannya?”
“Lihat saja, rambutnya dicat, gayanya sok asyik dengan headset yang nggak lepas dari kepalanya. Kami papasan di tangga tadi dan dengan entengnya dia bertanya, “Apa Budhe juga tinggal di sini?”” Bibir perempuan itu meleyot ke kanan ke kiri. Ia juga ingat gadis itu begitu percaya diri mengulurkan tangan memperkenalkan namanya dengan wajah berbinar-binar, “Saya Juni, mulai hari ini kita tetanggaan, Budhe.” Dasar tidak sopan, pikirnya.
“Jadi sebenarnya kamu tak menyukainya karena apa? Karena dia petentengan, karena dia lebih cantik dari kamu, atau karena dia memanggilmu Budhe?”
“Entahlah, aku nggak suka aja liat gayanya. Ganjen. Asal kamu tahu, hampir semua penghuni disapanya, ‘Hallo kenalin nama aku Juni,” kata Salamah menirukan cara Juni menyapa tetangga-tetangga kontrakannya.
“Ganjen dari mananya. Itu cara dia memperkenalkan diri.”
“Dia overpede.”
“Apa yang salah?”
“Salahnya karena aku tidak nyaman dengan sikapnya. Itu tidak sopan.”
“Tidak sopan sebelah mananya? Karena manggil kamu Budhe? Ya mungkin memang menurutnya kamu sudah budhe-budhe.”
Salamah melirik tajam pada suami yang sudah menemani hidupnya selama tujuh belas tahun itu.
“Aku jadi penasaran seperti apa gadis itu,” ujar Junaidi, hingga membuat istrinya kembali melirik tak suka. “Asal mana dia?”
“Dari kampung. Tapi kurasa dia kecakepan untuk ukuran gadis kampung.”
“Kampung kan cuman asalnya, bukan berarti dia harus kampungan juga, dong.”
Dalam hati kecilnya, Salamah membenarkan. Gadis itu memang datang dari kampung tapi gaya dan penampilannya jauh dari kata kampungan. Rambutnya dicat cokelat yang begitu serasi dengan warna kulitnya. Baju dan sepatunya juga bukan sepatu murahan sepertinya. Dia juga cantik. “Awas aja kalau sampai gadis itu berani menggodamu,” pungkasnya.
Junaidi tertawa, “Jadi sebenarnya, masalah utamanya apa?”
“Entahlah, aku tidak menyukainya bahkan sejak pandangan pertama.”
“Mana bisa seperti itu. Kita tidak bisa menilai seseorang hanya dari apa yang kita lihat.”
“Diamlah. Tidur saja kamu,” ketus Salamah, yang diabaikan oleh Junaidi dengan beralih pada gelas tehnya yang sepertinya mulai dingin. Ia menyeruputnya seraya melirik pada istrinya yang masih memasang wajah masam.
Cukup lama mereka saling bungkam. Salamah fokus pada tayangan di layar televisi sedangkan Junaidi menikmati teh seraya membolak-balik koran di tangannya, menyusuri satu demi satu berita yang disajikan media cetak nasional kenamaan tersebut. Hingga akhirnya kelengangan di antara keduanya terpecahkan saat sebuah ketukan terdengar dari arah luar. Keduanya saling pandang, mata mereka seolah sedang berdiskusi tentang siapa yang harus mengalah bangun dan membukakan pintu untuk si tamu. Dan seakan memahami tatapan istrinya, Junaidi mengembuskan napas, melipat koran di tangannya, meletakkannya di meja dan bangkit berjalan ke luar.
“Siapa?” tanya Junaidi saat mendapati seorang gadis bermata bulat, berambut cokelat berdiri di hadapannya.
“Hallo, Om, nama saya Juni… Tantenya ada?” jawab gadis itu dengan wajah ceria, tampak penuh percaya diri. Dari nama dan ciri-cirinya Junaidi langsung bisa mengira-ngira kalau gadis inilah yang sedari tadi terus dibicarakan istrinya.
“Kamu nyari saya?” tanya Salamah yang tiba-tiba saja muncul di balik punggung Junaidi.
“Loh, Jadi Budhe… maksud saya Tante, Tante yang punya kontrakan itu,” tanya gadis itu, cengengesan seraya menunjuk deretan rumah tidak jauh di depan sana.
“Kamu pikir?” Salamah bertanya balik. Sedangkan Junaidi menahan senyum di belakangnya. (*)
Cikarang, 21 September 2022
Inu Yana, perempuan cerewet yang masih kesulitan merangkai aksara.
Komentar juri, Lutfi Rosidah:
Membaca cerpen ini membawa saya masuk ke dalam dunia yang diciptakan penulis. Percakapan suami istri yang terasa dekat dengan gaya bahasa yang ringan dan topik yang juga ringan tapi sukses membuat saya tersenyum, membayangkan bagaimana para tokoh berinteraksi di dalamnya. Sangat pas dengan genre slice of life, cerpen ini memang layak menduduki posisi tinggi.
Lomba Cermin Lokit adalah lomba menulis yang digelar di grup FB Komunitas Cerpenis Loker Kata (KCLK)