Kesaktian Mbah Mun

Kesaktian Mbah Mun

Kesaktian Mbah Mun

Oleh: Reza Agustin

 

“Mbah Mun kerasukan lagi!”

Petang itu sedikit ribut. Para bapak dan pemuda berbondong-bondong mendatangi rumah Mbah Mun. Kakek yang di masa mudanya pernah dikenali sebagai orang sakti. Konon, ia memiliki kemampuan mengubah diri menjadi Anoman atau kalau ingin tahu gambaran mudahnya, manusia kera. Dengan wujud itu, ia menjadi lebih lihai dalam memanjat. 

Kecepatannya tak ada yang menyamai. Karena itulah, Mbah Mun muda sering dipanggil untuk memperbaiki genting, memanjat pohon kelapa, dan hal-hal lain yang berhubungan dengan panjat memanjat. Bahkan pernah menjadi juara panjat pinang tingkat kabupaten. Sebuah sepeda kerbau dibawanya pulang dan masih sering dipakai sampai saat ini.

Tidak berhenti sampai di sana, kesaktian Mbah Mun tak hanya dikenali manusia saja. Bangsa primata pun mengenali kesaktiannya. Ketika sawah orang-orang habis dirusak monyet, hanya sawah milik Mbah Mun yang aman. Bahkan seekor monyet pun tak berani mendekat. Orang-orang dulu begitu mengagungkan Mbah Mun, bahkan memberikan julukan raja kera.

Itu adalah sebagian dari kisah jayanya di masa lalu. Di masa sekarang, Mbah Mun lebih sering disebut maksiat. Pria yang di masa mudanya bersekutu dengan siluman, lalu di masa tuanya enggan bertobat. Sampai pada titik dibenci oleh anak cucu sendiri karena tak sudi kembali ke jalan yang benar. Para lansia seusianya makin rajin beribadah, sementara Mbah Mun lebih senang mendengarkan gamelan sambil sesekali bernyanyi. Dengan fisiknya yang tak lagi sekuat dulu, Mbah Mun memang lebih sering kedapatan duduk-duduk santai di gubuk tengah sawah atau teras rumah.

Aktivitasnya itu-itu saja. Tak jauh dari mendengarkan gamelan dan sesekali mendendangkan tembang-tembang campursari dan kidung-kidung lawas. Semenjak itulah Mbah Mun mulai sering kerasukan. Mulanya Mbah Mun sedang asyik mendengarkan gamelan melalui radio yang selalu ia bawa ke mana-mana. Tahu-tahu saja ia sudah berada di tengah-tengah jalan dan bergerak-gerak seperti penari kethek ogleng*. Kalau sudah begitu, ia tak dapat dihentikan dan akan mengamuk jika disuruh berhenti.

Mungkin seseorang sedang mengusik Mbah Mun ketika sedang asyik mendengarkan radio. Mengamuknya pun tidak seperti orang biasa. Ia akan marah seperti monyet. Menggeram, mendesis, bahkan jalannya pun seperti monyet. Pada kasus terparah, ia pernah mencakar orang sampai berdarah-darah lalu kabur memanjat pohon. Ia tidak sudi turun sampai akhirnya minta diturunkan sendiri ketika sudah sadar. Sambil menangis-nangis pula.

Keluarga Mbah Mun telah mendatangkan banyak ustad dan orang pintar. Berharap dengan begitu Mbah Mun dapat disembuhkan. Tapi para ustad dan orang pintar itu babak belur kena bogem dan tendangan Mbah Mun. Pada akhirnya keluarga Mbah Mun pasrah. Mereka tetap berikhtiar dengan tetap mengaji dan bersedekah setiap harinya. Dengan harapan Mbah Mun dapat disembuhkan. Meski begitu, tak ada yang berubah dari kelakukan Mbah Mun. Ia tetap mendengarkan gamelan dan sesekali bernyanyi, tinggal tunggu waktu saja sampai tubuhnya dikuasai lagi seperti monyet.

“Mbah Mun dibawa ke rumah sakit,” cetus suamiku sepulangnya dari keributan petang tadi. Ia memasang peci di kepala dan mengenakan sarung hendak ke masjid.

“Loh … kenapa sampai dibawa ke rumah sakit?”

“Tadi jatuh dari pohon. Pas ngamuk, Mbah Mun manjat pohon kelapa tinggi banget. Enggak kuat pegangan terus jatuh. Makanya tadi Pak RT sama keluarganya Mbah Mun sempat heboh.”

“Kasihan, Mbah Mun. Semoga enggak kenapa-napa.”

Suamiku tersenyum sinis. “Ya … itu buah dari apa yang dia lakukan di masa lalu, kan? Semoga masih dapat kesempatan tobat, deh.”

Mbah Mun yang malang menjalani rawat inap selama satu minggu, lalu meninggal tak lama setelah dibawa pulang. Tak ada lagi Mbah Mun yang mengamuk maupun suaranya yang tak bagus-bagus amat ketika mendendangkan tembang-tembang di siang hari. Kematian Mbah Mun masih menyisakan banyak cerita, terutama ketika musim panen datang dan sawahnya masih tak tersentuh satu pun monyet. Lain dengan sawah orang lain yang habis tak bersisa karena ulah monyet.

Pada suatu siang, suamiku dipanggil oleh Pak RT lagi. Ia pamit, “Mau bersih-bersih sawahnya Mbah Mun. Kayaknya pasang gaman** di sana. Makanya enggak pernah diserang monyet. Semua sisa-sisa ilmunya harus diambil biar enggak bawa maksiat lagi.”

 

Wonogiri, 07 Juli 2023

 

Keterangan:

 

*kethek ogleng: kesenian tari khas Wonogiri

** gaman: semacam jimat atau senjata

 

Reza Agustin, INFP yang sayang kucing dan pria 2 dimensi.

 

Editor: Imas Hanifah N

Gambar: Pinterest

 

Leave a Reply