KESAKSIAN TUBUH
Aku menyiapkan bubur pagi itu. Putri kecilku sedang bermain dengan kucing. Pintu rumah didobrak. Aku dibawa ke hutan. Mereka merusak tubuhku.
(Linda Christanty)
Sepotong cerpen ini dibuat berdasarkan selarik puisi di atas.
**
Mas Djati baru saja berangkat. Punggung tubuhnya baru saja menghilang di ujung jalan. Tadi dia meninggalkan ciumnya yang hangat. Kali ini rasanya sangat berbeda dan tidak seperti biasanya. Entahlah … firasatku tidak enak. Namun aku berusaha menepis perasaan itu. Semoga ia baik-baik saja.
Pagi belum pergi dan bulir-bulir embun masih menempel di pucuk-pucuk daun tanaman yang ada di halaman rumah. Aku buru-buru kembali ke dapur. Menyiapkan bubur untuk Nina, anakku satu-satunya. Ia baru saja sembuh dari sakitnya dan aku tidak ingin ia jatuh sakit lagi karena kelaparan. Kunyalakan api tungku dan sekejap asapnya lesap mengotori genting dapur. Tanganku bekerja cekatan menyiapkan bahan-bahan.
Putri kecilku sedang asyik bermain dengan kucing di ruang tamu. Dan tiba-tiba … brakk! Suara pintu rumah yang didobrak membuat kami kaget dan anakku ketakutan. Ia menangis seketika. Suara gaduh yang mengoyak keheningan pagi. membuatku buru-buru meninggalkan dapur hingga lupa mematikan api kompor.
“Mana Djati? Mana?!” seorang serdadu yang bertubuh tegap dan gempal bertanya dengan nada kasar, tanpa permisi dan basa-basi. Beberapa temannya juga langsung masuk dan menggeledah kamar tidur, membuka lemari, memeriksa kolong ranjang, dan yang lainnya langsung pergi ke bagian belakang mencari-cari Mas Djati.
Lalu ia bertanya kembali:
“Mana Djati? Pergi ke mana dia, hah!”
Jantungku langsung berdegup kencang. Ada sesuatu yang aneh yang aku tidak ketahui namun aku tidak berani bertanya. Tatapan mata yang nanar dan wajah-wajah garang membuat aku takut.
“Ia sudah berangkat kerja,” jawabku sekenanya. Aku gugup, tidak bisa berpikir banyak apalagi berbohong.
“Ayo, kamu ikut! Seorang lelaki yang paling tua dari mereka menunjuk seorang anak buahnya untuk menyeretku tubuhku. Aku berontak sebisanya tapi akhirnya aku tidak berdaya. Tangan-tangan kekar yang kuat segera memadamkan pemberontakan tubuhku.
Nina menangis, meraung, dan memanggil-manggil, “Mama, Mama,” tapi mereka tidak peduli. Serdadu-serdadu itu lalu melempar tubuhku kuat-kuat ke atas mobil bak seperti menghempaskan sekarung beras saja. Aku merintih kesakitan … tapi lebih sakit lagi saat harus melihat anakku yang terus menangis tidak mau ditinggal pergi.
Bude Jujuk, salah seorang dari beberapa tetangga kami yang kebetulan melihat kejadian itu mendekat dan berinisiatif menggendong Nina agar anak itu diam, tapi tetap saja tak berhasil. Anakku terus menangis. Aku tahu sebenarnya mereka juga ingin bicara tapi mereka takut. Ujung senjata yang diarahkan ke tubuh mereka membuat nyali siapapun menciut.
Mobil berjalan dan air mataku langsung jatuh. Bagaimana bisa aku meninggalkan Nina sendirian? Baru kali ini ia ditinggal ibunya, tanpa ditemani neneknya atau kakeknya atau pamannya atau siapapun yang dekat dengannya. Oh, Tuhan, ada apa ini? Apa yang sedang terjadi? Apakah ini mimpi buruk? Tapi melihat orang lain yang juga berada di atas bak mobil ini dengan wajah-wajah yang memelas dan penuh rasa takut segera menyadarkanku, bahwa ini adalah nyata. Ini adalah kesialan yang menghampiri.
Aku berdoa, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Aku memang telah mendengar dari mulut Mas Djati, beberapa hari yang lalu, setelah “peristiwa” itu, banyak orang-orang yang telah diculik dan dibawa pergi entah kemana. Tak ada satu pun anggota keluarga mereka yang tahu. Tapi bukankah kami hanya orang biasa. Suamiku hanyalah seorang guru yang penuh dedikasi mengajar di sekolah menengah. Berangkat pagi, siang atau menjelang sore ia telah tiba di rumah. Tak pernah ia pergi malam-malam, ikut rapat atau menjadi anggota kegiatan organisasi apapun. Mas Djati adalah contoh lelaki rumahan yang lebih betah berada di rumah ketimbang mengikuti urusan-urusan yang tidak jelas. Hidupnya datar-datar saja. Dan aku pun hanya seorang ibu rumah tangga biasa ….
Jadi apa yang harus dikhawatirkan! Namun kejadian pagi ini nyatanya sangat tidak masuk di akal.
“Turun. Cepat kalian turun!”
Salah seorang tentara menghardik kami agar segera turun.
Di sebuah hutan pohon karet yang sepi mobil berhenti. Mereka segera memisahkan tawanan lelaki dan perempuan. Nasib perempuan lebih baik, tangan kami tidak diikat atau ditendang dengan ujung sepatu lars yang keras. Tetapi tidak dengan tawanan lelaki. Jika ada yang tak sengaja berhenti, mereka akan menendang dan memukuli kepala bagian belakang dengan popor senapan. Ada seseorang yang tidak terima dengan perlakuan kasar tersebut itu, tetapi ujung peluru panas segera menembus tubuh lelaki yang berusaha melawan itu.
Semua orang diam dalam ketegangan. Semua orang bertanya-tanya, bagaimana dengan nasibnya hari ini.
Pertanyaan terjawab sudah. Setelah melewati hutan karet dan menerobos semak belukar, tibalah kami di bibir sungai. Beberapa tawanan laki-laki langsung disuruh berdiri tegak menghadap ke sungai. Dan … suara senjata menyalak beruntun. Tubuh-tubuh tak berdaya itu langsung diceburkan ke dalam sungai dan darahnya segera memerahi air sungai yang tadinya berwarna kecokelatan. Aku dan dua tawanan perempuan yang lain langsung berteriak histeris. Kami sangat takut. Belum pernah aku melihat kejadian ini: Manusia sedang membunuh manusia. Pandanganku mengabur, semua menjadi buram, lalu tak ada yang bisa kulihat selain gelap. Dan kemudian aku bermimpi, beberapa kera besar menindih dan menjilati sekujur tubuhku, lalu kera-kera itu bergantian menyetubuhi diriku sambil tertawa-tawa dan berteriak-teriak, “ uk-uk-uk-uk.” Seolah-olah aku kera betina yang sedang memasuki musim kawin dan segera harus dibuahi ….
**
Aku tersadar dari pingsan dan mendapati rasa sakit yang sangat pada kemaluanku. Perih, memar dan ada begitu banyak bekas tumpahan lendir yang telah mengering di sekitar pangkal paha. Pakaianku kini tidak lagi lengkap, kutang dan celana dalamku telah hilang. Kedua teman perempuanku juga tak ada di sampingku lagi. Entah apa yang terjadi dengan mereka, aku tidak tahu. Apakah dua orang itu menerima perlakuan yang sama denganku, atau nasibnya lebih buruk lagi, diperkosa, lalu dihabisi, dan kemudian mayatnya dibuang ke dalam sungai.
Aku berusaha bangkit dan sambil menguat-menguatkan diri. Lalu mencoba berjalan walaupun sambil tertatih-tatih. Perih itu masih mendera-dera, sakitnya luar biasa dan terus mengikuti kemana pun langkahku.
Aku harus segera pulang, senja sebentar lagi datang. Anakku tidak boleh sendirian. Aku juga ingin menangis: Suamiku pasti telah dihilangkan ….
Karnajaya Tarigan, 24 September 2020.