Keris Desa Adat Penglipuran: Sebuah Simbol, Sebuah Kehormatan, Sebuah Warisan
Oleh : Devin Elysia Dhywinanda
Dalam rangka Jejak Tradisi Nasional (JETRANAS) Tahun 2019
Menurut ilmu antropologi yang disampaikan oleh Koentjaraningrat (1985), kebudayaan adalah seluruh kemampuan manusia yang didasarkan pada pemikirannya, tercermin pada perilaku dan pada benda-benda kecil karya mereka yang diperoleh dengan cara belajar. Selanjutnya, secara garis besar, Koentjaraningrat juga membagi kebudayaan dalam 3 wujud, yaitu: (1) kebudayaan sebagai sebuah ide/gagasan; (2) kebudayaan sebagai sebuah aktivitas atau tindakan berpola masyarakat; (3) kebudayaan dalam wujud hasil karya manusia. Perihal pelestarian kebudayaan sendiri juga telah diatur dalam pasal 32 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Contoh nyata dari penerapan konsep ini adalah diberlakukannya Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali sebagai sebuah upaya pengakuan, pelestarian, dan pemajuan kebudayaan di Provinsi Bali. Sebelumnya, perlu dipahami bahwa desa adat didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak-hak tradisional, harta kekayaan sendiri, dan tata krama pergaulan hidup yang diturunkan secara turun temurun dalam bentuk ikatan suci. Dari hal ini, dapat disimpulkan bahwa desa adat mengemban misi besar untuk terus melestarikan kebudayaan “asli” daerah dalam rangka memajukan kebudayaan nasional.
Desa Adat Penglipuran merupakan salah satu desa adat di Kabupaten Bangli yang terkenal atas predikatnya sebagai Desa Terbersih Ketiga di Dunia. Lebih lanjut, sebagaimana klasifikasi wujud kebudayaan oleh Koentjaraningrat, desa ini juga memiliki berbagi ragam kebudayaan, mulai dari tari tradisional, rumah adat, makanan tradisional, hingga senjata tradisional. Ada beberapa senjata yang dikenal oleh masyarakat di desa ini. Akan tetapi, hanya keris yang dianggap sakral, bahkan diwariskan secara turun temurun antarkepala keluarga di Desa Adat Penglipuran. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari aspek historis serta simbolis dari keris itu sendiri.
Berdasarkan wawancara dengan Bapak I Ketut Budiarsa (52 tahun) selaku narasumber acara Jejak Tradisi Nasional (JETRANAS) 2019, dalam wawancara tanggal 5 Agustus 2019, pukul 14.00 WITA, didapatkan informasi bahwa keris di Bali secara historis berasal dari Pulau Jawa, yang dibawa ke Pulau Bali ketika masa Majapahit. Atas dasar tersebut, asal muasal keris di Bali sendiri sedikit kabur, terlebih tidak ada literatur yang menjelaskan secara rinci perihal penyebaran keris di provinsi ini. Namun demikian, keris memiliki makna yang sangat penting, ditinjau dari segi historis di Desa Adat Penglipuran.
Sebagaimana yang dijelaskan dalam karya tulis Keris, Senjata Tradisional Desa Adat Penglipuran (2019), pada mulanya masyarakat Penglipuran merupakan masyarakat dari Desa Bayung Gede. Namun, Raja Bangli memerintahkan penduduknya untuk pindah ke daerah yang lebih dekat dengan Kerajaan Bangli, yang sekarang disebut dengan Desa Adat Penglipuran. Hal ini tidak terlepas dari berbagai kemenangan yang diraih Kerajaan Bangli saat menyertakan penduduk Desa Bayung Gede dalam peperangan. Masyarakat Desa Bayung Gede percaya, kemenangan tersebut disebabkan oleh keris yang mereka pakai dalam berperang. Kepercayaan inilah yang terus terjaga dan diwariskan di lingkungan masyarakat Desa Adat Penglipuran.
Selain itu, keris juga memiliki makna yang dalam apabila ditinjau dari aspek simbolis/filosofisnya. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa keris terdiri dari 6 bagian, antara lain: (1) bilah/lingga sebagai simbol maskulinitas; (2) ganja/yoni sebagai simbol feminitas; (3) pesi yang mengasosiasikan kelangsungan hidup; (4) gagang keris; (5) pamor; (6) wurangka. Kesemua bagian itu membentuk makna utuh keris sebagai simbol kesuburan serta kehidupan bagi masyarakat, terutama di Desa Adat Penglipuran. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa keris di Desa Adat Penglipuran, sebagai salah satu bagian dari Provinsi Bali, memiliki aspek simbolis yang berbeda dengan keris di Pulau Jawa.
Bapak I Ketut Budiarsa menegaskan bahwa keris di Bali mengalami penyederhanaan makna dibandingkan dengan keris di Pulau Jawa. Perbedaan ini dapat dilihat dari pemaknaan masyarakat Jawa terkait jumlah luk (lekukan pada keris, pen.) keris, yang mana mana hal ini tidak ada dalam pemaknaan keris di Bali. Bapak I Ketut Budiarsa juga menambahkan bahwa keris di Bali sebatas terdiri dari “badan kasar” saja, sedangkan untuk “isi”nya sendiri tidak ada, berbeda dengan keris di Pulau Jawa yang diyakini memiliki “isi” yang bersifat magis.
Akan tetapi, hal tersebut tentu saja tidak mengurangi kesakralan keris bagi masyarakat di Desa Adat Penglipuran. Terbukti, di Desa Adat Penglipuran, keris biasa memiliki makna: (1) sebagai alat perang; (2) kelengkapan ketika rapat; (3) hiasan dalam upacara Ngaben; (4) kewajiban bagi organisasi Seka Baris[1] untuk memasuki pura; (5) simbol kehormatan keluarga yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Sehubungan dengan simbol kehormatan keluarga, hal ini tentu saja tidak terlepas dari aspek historis keris di Desa Adat Penglipuran, yaitu sebagai alat perang di masa lalu. Selain itu, masyarakat Penglipuran menganggap keris sebagai kebanggaan serta harga diri keluarga sehingga mewariskannya secara turun temurun. Sebagai informasi, keris untuk warisan biasanya disebut sebagai keris pusaka.
Pewarisan keris dilakukan secara terus menerus oleh 76 kepala keluarga di desa adat ini. Lumrahnya, keris ini diwariskan kepada anak lelaki dalam sebuah keluarga, entah itu putra tertua atau putra termuda. Apabila dalam keluarga tersebut tidak memiliki anak lelaki, keluarga tersebut harus melakukan tradisi nyentana, yaitu menikahkan anak perempuan mereka dengan lelaki yang akan menetap dan mewarisi keris dari ayah mertuanya.
Dalam hal ini, keris tidak hanya dimaknai sebagai kehormatan, tetapi juga kewajiban bagi penerus keluarga untuk melindungi dan membawa keluarga menuju kemaslahatan. Laki-laki yang diwarisi keris wajib menjaga keris tersebut—menaruhnya di sebuah kotak atau di tempat yang tinggi; mengasahnya secara berkala; merayakan Hari Suci Tumpak Landep, yaitu hari persembahan suci yang khusus ditujukan untuk keris pusaka dan semua jenis benda yang terbuat dari besi, tembaga, dan perak—dan, bersamaan, menjaga keluarganya. Keris memiliki simbol sebagai tanggung jawab bagi seorang laki-laki, baik itu tanggung jawab terhadap Sang Hyang Widhi, keluarga, lingkungan, Desa Adat Penglipuran, Provinsi Bali, atau Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam berbagai aspek kehidupan. Inilah aspek simbolis yang menjelaskan alasan keris dianggap sebagai sesuatu yang sakral, filosofis, terutama di Desa Adat Penglipuran.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pewarisan keris di Desa Adat Penglipuran dilakukan sebagai sebuah simbol kebanggaan, kehormatan, sekaligus kepercayaan bagi penerus keluarga di Desa Adat Penglipuran, yang masih terjaga dengan baik hingga sekarang dan selaras dengan tujuan dari desa adat itu sendiri, yang tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019, yaitu memajukan adat, tradisi, seni dan budaya, serta kearifan lokal Desa Adat secara sakala dan niskala. Lebih lanjut, dari segi nilai praksis, masyarakat Desa Adat Penglipuran merupakan teladan nyata atas pentingnya pelestarian kebudayaan daerah sebagai sarana pengembangan kebudayaan nasional, sebagaimana bunyi pasal 32 ayat (1), sekaligus motivasi bagi masyarakat di daerah lain untuk terus mengembangkan nilai-nilai serta tradisi di daerah masing-masing. (*)
[1] Sebuah organisasi di Desa Adat Penglipuran yang beranggotakan para penari Tari Baris, sebuah tari sakral yang digunakan sebagai persembahan kepada Sang Hyang Widhi sekaligus pengiring dalam Upacara Panca Yatna.
REFERENSI
Permonodjati, Agil, dkk. 2019. Keris, Senjata Tradisional Desa Adat Penglipuran. Bali: Badan Pelestarian Nilai Budaya Daerah Provinsi Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Aksara Baru: Jakarta.
Pemerintah Daerah Provinsi Bali. 2019. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Bali: Pemerintah Daerah Provinsi Bali.
Devin Elysia Dhywinanda lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001, dan kini berstatus sebagai pelajar kelas XII di SMA Negeri 1 Ponorogo.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata