Kereta Kebesaran

Kereta Kebesaran

Kereta Kebesaran
Oleh: Lutfi Rose

Tuan, lihatlah keretamu sudah di depan rumah. Para penggawa sudah siap memanggulnya, menggantikan peran roda di keempat penjuru. Bahkan putra kesayanganmu juga tampak siaga di samping keretamu. Mereka menunggumu dengan penuh kesabaran.

Tuan, senandung perpisahan mulai diperdengarkan, seluruh anggota keluargamu begitu khidmat, mendengarkan penuh haru. Lirih … isakan mereka membuaimu dalam lelap yang makin mendalam. Tak ada yang mampu membangunkanmu, tak juga suara tetua adat yang menggelegar, menyebutkan seluruh kebaikanmu semasa masih sehat. Mereka percaya bahwa kau adalah orang yang baik.

Tuan, para penggawa mulai bersiap, melangkah mendekati kereta kebesaranmu. Empat orang siap memanggul keretamu, berlaku selaksa empat roda yang siap menggelinding menjalankannya. Serempak, mereka mengangkat keretamu, tanpa saling mengecam dan menghujat, tanpa ada yang merasa paling berhak. Beberapa orang menanti giliran tatkala keretamu mulai diangkat, satu berganti yang kedua, berganti ketiga dan seterusnya. Mereka seolah tak mau ketinggalan menjadi salah satu pengangkat keretamu.

Tuan, seruan kebesaran Tuhan mulai dilantunkan. Semua orang menunduk, seakan merenungi waktu yang masih dititipkan padanya. Tak lama, dan memang tak butuh lama menunggu, keretamu segera akan dijalankan. Tetua mulai memberi aba-aba, melantunkan pujian kebesaran Tuhan lebih keras, mengiringi langkah-langkah pengangkat keretamu. Semakin lama semakin lekas derap kaki mereka melangkah.

Tuan, dapatkah kaulihat perempuan yang berdiri di samping tiang kayu berukir bunga kamboja di teras rumahmu? Bukankah semalam dia yang menyuapimu. Kau memintanya membasuh kakimu, mengambilkan segelas air putih yang hanya kauminum seteguk. Wanita yang tak pernah memaki meski puluhan kali kausakiti. Lihatlah! Ada air meleleh di kedua pipinya. Harusnya dia bahagia, sekarang dia takkan mendengar cacian pagi atau kemarahan malam saat sejenak tak sengaja dia terpejam, lalai tak membenahi kain penutup ranjang tidurmu. Apakah kau tak ingin semenit saja membuka mata? Membiarkan dia merasa bahwa dia begitu berharga. Atau sekadar mengucapkan terima kasih atas ketulusannya selama ini.  Atau menghaturkan rasa penyesalan atas kekasaranmu selama ini. Barangkali kau masih ingat kapan terakhir kali kau mengecup keningnya di pagi hari, seperti saat kalian di hari pertama menjadi pasangan suami istri. Bukankah itu hal terindah dalam hidupmu? Sayang … ego dan kekuasaan membutakan mata hatimu, kauikuti saja saran rekan bisnismu yang mengukuhkanmu sebagai raja diraja di antara mereka. “Seorang raja harus punya selir, tuanku.” Seruan mereka sukses membawa hidupmu ke dunia kelam.

Tuan, masih ingatkah berapa lama kau terbaring tak berdaya di atas pembaringan? Siapa saja rekan bisnismu yang datang? Cobalah kauhitung dengan jarimu, itu pun jika kau masih bisa membuka matamu. Tak ada, bukan? Tak satu pun dari mereka ikut merawatmu—rajanya. Bahkan hanya bunga ucapan bela sungkawa yang datang hari ini. Pun para perempuan berbalut lingerie mewah dengan aroma parfum mahal yang siap kauterkam setiap malam, tak muncul batang hidungnya.

“Kamu memang jagoan, Tuan. Pria perkasa yang sempurna,” ungkap perempuan yang kaunamai selir. Kata-kata rindu dia bisikkan setiap malam. Setiap helai baju yang kaulucuti, setiap itu pula kata rindu terus didengungkan. Apakah rindu itu memang ada, Tuan? Jika ada, ke mana mereka semua saat aliran darahmu mulai mengental hingga pembuluhmu pun tak sanggup dilewati. Ayo cobalah bangun! Cari mereka dan tagih ucapannya. Hanya sebegitukah janji manis di kala kau menjadi raja diraja? Semu!

Tuan, keretamu mulai berjalan, melewati gazebo—tempat yang dulu sering kaunikmati bersama keluarga kecilmu. Di sana dulu dan dulunya lagi kau pernah bercanda mesra dengan dua anakmu yang beranjak kanak-kanak. Si putri sulung yang mulai pandai bercerita dan si bungsu yang mulai tertatih mengawali langkah pertamanya. Itu dulu … sekali, sebelum dulu setelahnya, kau mulai sangat sibuk menjadi raja diraja. Berulang kali putrimu menelepon—karena jarak yang tak bisa ditempuh dalam satu hari—memintamu kembali pada dirimu sebelum diangkat menjadi raja diraja oleh rekan bisnismu.

Tuan, kalau kau bisa membuka matamu sekarang, keretamu melewati kebun apelmu. Semburat jingga di ufuk timur, menciptakan rona mentari yang malu-malu. Dulu kau sering menikmati momen seperti ini, berjalan sambil menggamit tangan istrimu yang tersipu. Bukalah matamu, Tuan! Langit sedang begitu cerah, apakah kau tak ingin melihatnya? Apel-apel mulai berbuah, beranjak matang, dan sebentar lagi siap dipanen. Bahan baku dari pabrik minuman kemasanmu ada di sana. Putramulah yang melanjutkan usahamu, setelah serangan tengah malam saat kau sedang bersama selir-selir kesayanganmu. Beruntung! Putramu tak pernah berhitung dengan kekayaanmu, segala pintamu—berobat ke luar negeri, operasi ini itu—dia turuti. Hampir separuh kebunmu terpaksa harus dijual demi kesembuhanmu.

Tuan, keretamu makin melaju. Beberapa orang bertukar posisi menjadi roda keretamu. Wajah mereka mulai tampak letih, keringat mulai mengucur di antara dahi-dahi mereka. Apakah kau belum ikhlas meninggalkan duniamu? Tubuhmu begitu berat tampaknya. Mengapa tuan? Apakah kau ingin menebus dosamu, meminta maaf pada keluargamu? Ataukah kau masih berat melepas harta yang kini tinggal seujung kuku saja itu? Atau kau takut menghadapi malaikat penanya kubur? Tapi … apakah mungkin kau masih ingat dengan pesan ayahmu dulu, saat kalian menghabiskan senja di serambi rumah?

“Setiap amal perbuatan manusia itu dipertanggungjawabkan, Le. Akan ada malaikat yang menanyaimu kelak, di dalam kubur,” ungkapnya waktu itu.

Kau manggut-manggut mendengarkan nasihat ayahmu. Kau tampak paham. Kemudian dengan yakin kau sampaikan pula semua ajaran itu pada kedua buah hatimu. Lihatlah! Petuah ayahmu berhasil meneguhkan watak dan pendirian mereka. Mereka tumbuh menjadi pemuda-pemudi yang berbudi. Sekali lagi, sayangnya kau sendiri yang seperti lupa nasihat ayahmu. Harta melimpah membuatmu terbuai, lupa pada semua pertanggungjawaban pada Yang Maha Kuasa. Kau yang dielukan, disibukkan, dan dilenakan dengan sebutan raja diraja.

Tuan, perjalanan keretamu tinggal beberapa langkah. Liang lahat sudah siap kautempati. Tanah merah siap memelukmu penuh cinta.

Tuan, keretamu berhenti. Para penggawa mulai menurunkannya. Putramu mendekati tubuhmu. Lihatlah! Bukankah dia putra yang istimewa, tampan dan berkarisma. Garis mukanya mengikutimu, hidung bangir dan mata yang bulat besar. Sedang kulitnya putih mengikuti ibunya, berbeda dengan kulitmu yang lebih gelap. Dia begitu sempurna, Tuan. Sayang kau tak sempat memeluknya selama ini. Kau sibuk marah-marah, menyalahkan keadaan, menyalahkan Tuhan, menyalahkan semua orang yang tak bisa membantumu kembali jemawa.

Tuan, waktumu sudah habis sekarang. Tubuhmu diangkat oleh putramu dan seorang lagi, menuju liang lahat. Dua orang telah menanti di bawah, menerima tubuhmu yang diangsurkan. Pelan … sekali mereka melakukannya, seakan tak ingin mengusik tidurmu yang lelap. Tubuhmu dimiringkan sedikit, tali di atas kepalamu dibuka, pipi kananmu diganjal segenggam tanah, agar kau bisa menghadap rumah Tuhan. Satu orang naik ke atas dan satu orang yang lain mulai menata lembaran-lembaran kayu miring di atas tubuhmu. Tanah mulai ditimbunkan di atas kayu yang terpasang, masih dengan perlahan, semua dilakukan dengan penuh sayang.

Tuan, sejumput tanah terakhir sudah ditimbunkan. Sebuah papan nama bertulis namamu dipasang di atasnya.

Tuan, mereka berpamitan lagi padamu. Memperdengarkan lantunan pujian pada Tuhan dan Membacakan doa untukmu. Lalu mereka beruluk salam sebelum meninggalkanmu sendiri.

Tuan, putramu menyeka ujung matanya sesaat sebelum membalikkan badan dan melangkah menjauh. Kini, semua sudah usai, perjalananmu sudah sampai garis akhir. Tak ada lagi istrimu yang bisa kaumarahi maupun kedua anakmu yang selalu sabar menuruti semua maumu. Apalagi para rekan bisnismu yang mengangkatmu sebagai raja diraja. Kau sendiri sekarang dan tak bisa lari ke mana pun. (*)

 

Lutfi Rose, seorang wanita dengan sejuta harapan dan impian. Bisa ditemui di akun fb @Lutfi Rosidah dan wp @Lutfi Rose dan Fan page @Arifa Style.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata