Kereta Ini Melaju Lebih Cepat
Oleh : Nuke Soeprijono
Aku masih berdiri di depan mesin minuman otomatis—yang mengeluarkan botol setelah dimasuki selembar uang lima ribu atau sepuluh ribuan—ketika mendengar celoteh anak kecil mendekat. Aku sempat menoleh ke arah sumber suara. Ternyata seorang wanita berbaju merah yang lumayan cantik sedang menggamit lengan dua balita perempuan kembar. Pantas saja celotehan mereka ramai sekali. Mereka kemudian melintas di belakangku sebelum kulanjutkan memilih minuman yang kusuka.
Waktu aku menoleh ke arah mereka, ketiganya terlihat gembira meski si wanita tampak kewalahan menghadapi balita kembar yang tidak berhenti bertanya perihal apa saja yang dilihatnya. Wanita itu juga hanya membawa satu tas—yang tidak terlalu besar tetapi juga tidak bisa dibilang sebagai tas kecil—yang talinya terselempang di depan dadanya dan satu kantong keresek berlogo salah satu minimarket.
Selesai meneguk air teh kemasan botol dan membetulkan letak tas ransel yang memeluk punggungku, aku cepat-cepat berjalan menyusuri peron dan mencari gerbong kereta jurusan Bandung yang nomornya sesuai dengan nomor pada tiketku. Tidak terlalu sulit, karena hanya ada dua rangkaian kereta yang berhenti di stasiun sore ini. Aku segera naik dan mencari kursiku.
“Maaf, Bu, ini nomor kursi tiga puluh tiga, ‘kan?” tanyaku pada seorang wanita yang … ah, ternyata dia wanita dengan dua balita kembar tadi. Aku lihat dia sudah nyaman duduk di kursi yang nomornya sesuai nomor tiketku sambil memangku salah satu balitanya. Sedangkan satunya, dia biarkan duduk sendiri di kursi sebelahnya.
“Oh iya, benar. Gimana, Mas? Ini sama dengan nomor yang ada di tiket saya,” ujarnya ramah sambil mengulurkan selembar kertas yang sedang digenggamnya.
Aku meraih kertas itu dan melihat nomor yang tertera. Lalu sedikit tersenyum, aku menjawab, “Maaf, Bu, ini nomor tiga puluh delapan, lho. Sepertinya Ibu salah tempat duduk.” Dengan hati-hati aku menunjukkan nomor yang tertera lalu memberikan kembali kertas itu padanya. Kukira ibu ini tidak sepenuhnya salah. Sebab nomor belakang yang tercetak memang sedikit tidak jelas sehingga angka yang seharusnya delapan terlihat seperti angka tiga.
“Ya ampun, salah, ya! Maaf ya, Mas, saya pindahin dulu semuanya,” ujarnya sambil buru-buru berdiri dan mengambil tasnya dengan cepat lalu menyambar kantong keresek yang diletakkan di bawah kakinya. Tak lupa dia bersiap menggandeng balita kembarnya.
“Emm … maaf, Bu, saya saja yang pindah kursi. Ibu tetap di sini saja,” kataku cepat. Tiba-tiba aku merasa simpati melihat kerepotannya. Sesaat senyum wanita berbaju merah yang lumayan cantik itu mengembang, lalu dia mengucapkan terima kasih padaku.
“Masnya duduk di situ aja. Nanti kalo ada orang baru pindah sesuai nomor,” selorohnya sambil meringis menunjuk kursi di depannya yang masih kosong. Aku melirik kursi di sebelahku berdiri saat ini, lalu sesaat menyapu pandangan hingga ke sudut kabin kereta. Mengingat kereta akan berangkat sepuluh menit lagi. Kurasa kali ini kereta memang relatif sepi, hanya ada penumpang di beberapa kursi sana dan bisa jadi kursi ini memang kosong.
Aku menyandarkan punggung setelah menaruh tas ransel di bagasi bagian atas kursi. Sepuluh menit berlalu setelah peluit panjang dibunyikan oleh petugas, perlahan kereta bergerak meninggalkan stasiun. Aku melempar pandangan keluar jendela. Suasana sore dalam kereta seharusnya menghadirkan nuansa romantis—seperti buku yang kubaca, karangan penulis idola yang sengaja aku bawa dan alunan musik instrumen dari earphone yang terhubung dengan ponselku—tetapi terasa sedikit “rusak” oleh celoteh riang dan tepuk tangan dua balita kembar di depanku ini.
Beberapa saat aku hampir tidak bisa mendengar dengan jelas semua pembicaraan mereka. Telingaku penuh dengan suara tiupan saksofon Kenny G dan mataku tertuju pada lembar buku yang kubaca, sebelum salah satu dari si kembar itu terjatuh dari kursi.
“Cemplik, aduh!”
Wanita itu menjerit tertahan. Bak memungut berlian jatuh, dia menggendong balita itu dengan sangat hati-hati. Tentu saja anak yang dipanggil Cemplik itu menangis keras. Kata salah satu kawanku yang berpengalaman, anak kecil yang terjatuh menangis keras ada beberapa kemungkinannya: dia benar-benar merasakan sakit dan atau terkejut mendengar teriakan orang dewasa di sekitarnya.
Aku refleks mencabut earphone yang menyumpal telingaku. Alih-alih ingin membantunya, aku malah melongo memandang wanita itu.
“Maaf, ya, Cemplik sayang … sakit, ya? Oma nakal, ya?”
What, Oma? Apakah maksudnya nenek?
Wanita itu menimang-nimang dan menepuk pelan punggung kecil yang digendongnya. Anak yang dipanggil cemplik itu masih menangis. Sedangkan cemplik satunya, terlelap di kursi dengan pulas.
Aku masih melongo. Dengan penampilannya yang terbilang trendi; baju merah dengan celana bermuda warna khaki, flat shoes, dan rambut ikal sebahu, aku rasa wanita yang ada di depanku ini belum terlalu tua. Aku menaksir usianya kira-kira masih empat puluhan. Apa iya, balita kembar yang dibawanya ini adalah cucunya? Penasaran, aku hanya tersenyum dalam hati dengan penuh tanda tanya.
Merasa ada yang menatapnya lekat-lekat, wanita itu lalu mengajakku bicara. “Ini cucu pertama saya, Mas. Alhamdulillah dikasih kembar,” katanya masih dengan menepuk-nepuk punggung si Cemplik.
Seakan mendapat angin segar untuk menuntaskan rasa penasaran, aku segera menimpali, “Alhamdulillah ya, Bu. Bahagia sekali sudah punya cucu, kembar, cantik, tapi neneknya masih muda.”
Wanita itu tertawa sekilas, seperti campuran rasa bahagia dan bangga.
“Saya sudah tua Mas, sudah empat lima. Kalo masnya pasti masih masih sekolah, ya?” selorohnya.
Aku tertawa kecil. Bukan pertama kali tuduhan ini diarahkan padaku. Dianugerahi wajah baby face kerap membuat orang salah menaksir umurku.
“Saya sudah kerja, Bu. Ini sedang ada tugas dari kantor harus menyelesaikan urusan di Bandung. Umur saya dua lima,” kataku menjelaskan.
“Oh, berarti sama kayak anak saya yang pertama, mamanya si kembar ini,” timpalnya dengan mata berbinar-binar. “Anak saya dua. Yang pertama mamanya si kembar. Lalu yang kedua masih kuliah semester empat. Saya menikah muda, lulus SMA langsung ijabsah,” kelakarnya seraya tertawa lebar.
Aku refleks ikut tertawa dan membulatkan bentuk bibir serupa huruf O sambil manggut-manggut. Beruntung sekali wanita ini. Sudah memiliki cucu yang cantik-cantik di usia yang relatif masih muda. Dia juga terlihat cekatan dan luwes memegang balita itu. Si Cemplik sudah tidak menangis lagi. Aku kagum melihat keterampilannya mengasuh anak kecil. Ah, tentu saja, bukankah dia sudah pengalaman?
“Saya dulu mau menikah muda, sebab sudah punya pacar sejak sekolah, Mas. Pacar saya, kakeknya si kembar ini, dulu sudah bekerja. Kami selisih sepuluh tahun. Saat itu saya ndak mungkin kuliah karena ndak punya biaya. Jadi ya, saya pikir menikah sajalah,” ujar wanita itu, lagi-lagi dengan tertawa lebar.
“Senang, ya, Bu, masih pada sehat-sehat,” ucapku basa-basi.
“Kakek si kembar ini sudah meninggal, Mas. Dia kena serangan jantung waktu umur empat dua.” Sekilas air muka wanita itu berubah sedikit murung, tetapi kemudian tersenyum lagi sambil menatap si kembar secara bergantian.
Sedikit tak enak hati, aku mengucap maaf pada wanita itu. Dia hanya menggeleng pelan, “Ndak papa, semua sudah jalan-Nya,” jawabnya diplomatis. “Saya malah bersyukur di usia segini sudah merasakan semua. Menikah muda, punya anak-anak yang sehat cerdas, suami yang baik dan tanggung jawab, meskipun Tuhan juga mengambilnya lebih cepat. Ndak papa, sekarang saya tinggal menikmati masa tua sama anak-cucu. Hiburan saya ya ini,” katanya sambil melirik si kembar dengan tatapan penuh kasih. “Saya ke Bandung juga mau mengantar mereka ke mamanya,” imbuhnya, seakan tahu pertanyaan yang ada dalam kepalaku.
“Oh, jadi putri Ibu tinggal di Bandung, ya?”
“Iya, dua-duanya di sana. Anak Ibu yang kedua kuliah di ITB,” jawabnya bangga. “Ibu tinggal di Bekasi karena rumah peninggalan suami masih ada. Biarlah jadi kenang-kenangan kami,” pungkasnya.
Tanpa menimpali perkataannya, lagi-lagi aku hanya tersenyum. Mencoba mencerna pelajaran hidup yang baru saja kudapatkan, bahwa jalan kita di dunia ini sudah diatur dengan sempurna oleh Tuhan. Ada yang lambat, ada pula yang cepat sampai tujuan. Jalani saja dengan gembira, ikhlas, dan semangat seperti wanita berbaju merah yang lumayan cantik yang duduk di depanku ini.(*)
Tangerang, Oktober 2020
Tentang Penulis:
Nuke Soeprijono, alter ego yang baru belajar menulis.
Editor : Tri Wahyu Utami
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.