Penulis: Berry Budiman
Aku menuliskan cerita ini pertama kali ketika berada di kereta api. Aku menulisnya di ponsel dan tidak bisa kuselesaikan karena keburu lelah. Sepulang ke rumah aku memutuskan untuk menyelesaikannya karena perasaan romantis yang kurasakan pada saat itu nampaknya terlalu sayang untuk kuabaikan begitu saja. Aku ingin menyimpannya selamanya, dan hal itu hanya bisa kulakukan jika ia kuukir menjadi tulisan.
Di dunia ini, ada beberapa tempat yang mampu membuatmu merasa nyaman setiap kali ke sana, atau bahkan sekadar mengingatnya. Suatu tempat yang berkesan khusus bagimu yang selalu ampuh menjadikanmu sentimental. Ada tiga tempat ajaib yang memberikan efek begitu padaku: pantai, kolam renang, dan kereta api.
Semuanya berhubungan dengan kenanganku semasa kanak-kanak.
Pantai
Pantai mengingatkanku ketika masih bocah ketika Gede—sama artinya dengan Pakde—sering mengajak kami bepergian ke Bengkulu. Tujuannya untuk bersenang-senang ke pantai. Saat itu aku hanya berpikir betapa senangnya bisa mandi dan berlari-larian dan membangun istana pasir. Aku tidak khawatir pada apa pun. Aku baru tahu bencana apa yang sedang kuhadapi setelah mobil kami melaju setengah jam. Untuk sampai ke sana, kami harus melalui perjalanan darat yang jalurnya mengerikan—yang mampu membuat sekarat orang yang sebelumnya sehat wal afiat.
Perjalanan itu melewati area perbukitan, dan adalah mustahil menemukan jalan yang lurus dan datar-datar saja di sana. Jalur yang ada adalah malapetaka.
Perjalanan ini, meskipun siksaan, ada baiknya juga karena membuatku lebih mengenal diri sendiri, bahwa aku tidaklah sekuat yang kubayangkan. Aku pernah berkoar kepada teman-teman dan beberapa orang dewasa bahwa aku tidak pernah merasa pusing sedikit pun—meskipun aku lupa sarapan—saat menghadiri upacara bendera setiap Senin di sekolah.
Aku malah heran, kenapa seseorang bisa pingsan hanya karena berbaris di pagi hari dan berpanas-panasan sedikit. Sungguh orang-orang lemah, pikirku saat itu. Dan pada hari itu, aku menyadari bahwa aku juga sama lemahnya. Aku mengidap gejala keparat yang disebut mabuk darat. Semacam reaksi otak-tubuh yang tak tertahankan, yang menyebabkanmu pusing dan tak enak badan hingga membuat perutmu mual tiba-tiba ketika berkendaraan (khususnya mobil) di jalur berliku.
Dan gejala ini juga amat memalukan, karena dengan begitu kamu akan terkategorikan sebagai umat yang tidak berbakat menjadi orang kaya.
Mana ada orang kaya yang mabuk naik mobil? Bagaimana kalau nanti harus naik kapal, naik pesawat, naik jet pribadi? Itu kendaraan orang kaya, dan kamu, cuma sanggup naik motor!? Ejekan menyebalkan itu—harus diakui—masih laku untuk menyakiti perasaan siapa pun yang mengalami mabuk perjalanan.
Pada hari nahas itu, aku memuntahkan isi perutku tiga kali. Sekali di tengah perjalanan dan dua kali menjelang sampai. Setelah sampai pun perutku masih mual dan kepalaku pusing tak karuan. Aku butuh menyendiri selama satu jam penuh untuk memulihkan kondisiku, dan selama itu, aku hanya bisa melihat keluargaku bermain-main di pantai. Pengalaman tak menyenangkan itu terus berada di pikiranku sampai sekarang. Ia berubah menjadi kenangan bawah sadar yang membikin trauma tetapi juga mengesankan. Pada saat itu aku berpikir, alangkah mahalnya penderitaan yang harus kubayar supaya bisa melihat pantai yang begitu kuidam-idamkan. Pikiran kanak-kanakku, tanpa kusadari, mulai berkenalan dengan arti dari pengorbanan.
Aku selalu terkesan dengan pantai. Dengan anginnya yang sepoi-sepoi. Dengan cakrawala dan ombak dan langit dan burung-burung. Dan ketika aku duduk menghadap ke pantai dan membiarkan kakiku dibelai oleh ombak yang datang, aku merasakan lapang di dadaku, lapang yang sama dengan ketika aku berbaring di tengah Masjid yang megah dan menatap ke arah kubahnya yang besar.
Perasaan bahagia yang sulit kujabarkan.
Kolam Renang
Ketika masih kecil dulu, diajak berpegian ke pantai adalah semacam rekreasi yang mahal bagiku. Tidak setiap minggu, tidak setiap bulan, bahkan tidak setiap tahun aku bisa bepergian melihat pantai. Dibandingkan itu, kolam renang adalah rekreasi lain yang juga paling kutunggu-tunggu dan lebih sering kudapati. Alasannya mudah saja, pertama karena lebih dekat—setiap kota biasanya paling tidak punya satu wahana kolam renang, dan lebih murah. Dahulu, biaya berenang hanya 2.000 untuk anak-anak dan 3.000 untuk dewasa, dan ayahku cukup mampu untuk memboyongku ke sana paling tidak seminggu sekali.
Kalau dipikirkan lagi, tempat kedua ini kembali berhubungan dengan air. Tetapi tidak seperti yang pertama, berenang di kolam renang jauh lebih menyenangkan dibanding di pantai. Sewaktu pertama kali diajak ke pantai, aku langsung girang karena membayangkan bisa berenang di pinggir pantai dengan riang gembira selayaknya apa yang kulihat di TV. Tapi ujungnya sungguh di luar dugaan karena aku ternyata tidak bisa benar-benar menikmati berenang di pantai. Air laut tidak sejernih yang kukira, rasanya asin dan pedihnya luar biasa jika masuk ke mata.
Jika kurenungkan lagi, ini semua bukan tentang airnya, tetapi tentang perasaan sejuk yang kurasakan saat melihat pantai dan saat berenang. Jika saat itu panas, maka pantai dan kolam renang pun tak asyik lagi untuk dikunjungi. Cukup untuk dilihat saja.
Yang paling kusukai bukan berenangnya, tetapi bermain dan bersantai di atas ban karet. Pada saat itu tubuhmu akan terayun-ayun oleh gelombang air kolam dan merasakan adem dari air yang menyentuhi tubuhmu. Suasana menenteramkan yang enak pula untuk dibawa merenung atau dibawa tidur.
Aku tidak suka bermain-main ketika berada di kolam renang selayaknya anak kebanyakan. Ya, sekali-kali memang seru melakukan atraksi melompat indah dari pinggir kolam atau bermain lama-lamaan menahan napas atau melonjak dari air menggunakan dorongan pundak temanmu yang menyelam, tapi itu semua bukan yang utama. Sekali lagi, aku lebih suka menikmati berendam di dalam air, baik itu dengan ban mau pun tidak.
Pada saat itu aku merasa aman.
Kereta Api
Sekarang aku akan masuk ke bagian utama, yang berhubungan dengan kenapa aku menuliskan cerita ini kepadamu. Pada saat aku mendapat ide untuk tulisan ini, aku sedang berada di dalam kereta api. Aku berangkat dari Lubuklinggau ke Palembang untuk menjenguk kakekku yang sedang dirawat di rumah sakit. Saat itu mungkin sudah lebih dari tiga tahun aku tidak naik kereta api karena memang tidak ada urusan yang mengharuskanku menggunakannya. Tapi jauh sebelum tiga tahun itu, kereta api adalah bagian dari salah satu kenangan yang paling mengesankan. Dan selayaknya setiap kenangan, ia tak pernah hanya berdiri sendiri. Menyenangkan saja atau menyedihkan saja. Tidak. Ia selalu merupakan perpaduan yang rumit antara kenangan yang menyenangkan dan menyedihkan.
Aku akan memulainya dari awal ketika usiaku masih empat tahun. Sebagian orang tidak pernah bisa mengingat pengalamannya pada usia-usia semuda itu, aku pun seperti itu. Tapi bagaimanapun pada usia itulah aku pertama kali mengendarai kereta api. Aku lahir di Palembang dan pada saat usiaku belum genap lima tahun keluargaku pergi ke Lubuklinggau setelah ayahku diterima sebagai PNS dan ditempatkan di kota ini. Pada saaat itu Lubuklinggau belum menjadi kota seperti sekarang.
Setelah itu, aku mulai merasakan—tepatnya mulai mengingat—kenangan berkereta api karena hampir setiap tahun orangtuaku akan mudik ke Palembang (tempat orangtua ayahku) atau ke Tanjung Raja (tempat orangtua ibuku). Dan kedua-duanya harus dilalui dengan berkereta api. Atau paling tidak pertama kalinya begitu, karena untuk ke Tanjung Raja kami harus melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum selama dua jam kurang lebih.
Yang kuingat, kereta api adalah kendaraan yang mampu menyajikan begitu banyak kesenangan.
Tidak seperti sekarang, kereta api pada masa lalu belum ditertibkan dari pedagang yang bisa naik-turun semaunya ketika kereta berhenti di stasiun. Pertama kali naik dan duduk di tempat dengan nomor yang tertera pada tiket, kita langsung akan dijejali oleh begitu banyak pedagang yang menawarkan barang bawaannya. Mereka menjual macam-macam, mulai dari makanan, keperluan selama perjalanan (misalnya kipas, tisu, dll) sampai barang-barang yang tidak ada sangkut pautnya dengan perjalananmu.
Aku pernah melihat ada yang berjualan mainan, sabuk, jam tangan, bahkan senjata tajam seperti keris dan pedang. Sisanya menjual pernak-pernik. Yang menarik bukan hanya dagangannya, tetapi cara mereka menawarkannya. Beberapa pedagang bahkan menjadi penantian tersendiri bagi para penumpang karena seruan-dagangnya yang lucu. Ada yang bisa menyebutkan semua dagangannya dengan sangat cepat dan lengkap dalam periode beberapa detik, dan ada yang mengucapkannya dengan cara yang aneh dan lucu.
Selain pedagang, adalagi penumpang liar yang dalam beberapa kasus justru kamu nanti-nantikan. Ialah para pengamen. Para pengamen ini sangat beragam, ada serombongan anak muda, anak kecil, sampai orang tua dan perempuan dewasa. Selain membawa gitar, ada yang lebih kreatif dengan membawa stereo yang ia ikatkan ke tubuhnya sendiri selayaknya menggendong bayi, dan ada yang membuat sendiri alat musiknya. Seorang perempuan (bisa dikatakan lebih dari ibu-ibu tetapi belum nampak seperti nenek-nenek; sebut saja perempua tua) membuat sendiri alat musiknya dari papan dan triplek yang dilubangi tengahnya dan bersenarkan tiga sampai lima karet ban. Bunyi alat musik itu tentu saja tidak semerdu gitar, tapi ia tetap punya nada sendiri yang jika penggunanya mahir, bisa menghasilkan irama untuk sebuah lagu.
Penampilan mereka pun bermacam-macam, yang biasa saja tentu yang paling banyak, tetapi yang unik bukan berarti tidak ada. Beberapa di antaranya bahkan sangat menarik, seorang yang membawa stereo—yang kuceritakan sebelumnya—adalah lelaki tunanetra. Ia bukan hanya membawa stereo tetapi juga mikrofon sendiri, dan dengan keadaannya yang begitu, ia harus berjalan pelan-pelan sekali supaya tidak terjatuh atau menubruk pedagang/pengamen/penumpang lain yang hilir mudik di kereta. Kebanyakan yang lucu ini memang orang-orang dewasa. Yang lainnya adalah seorang lelaki yang berejung (bermain gitar dengan membawakan lirik-lirik bernuansa pantun namun beraroma komedi), dan bagi penumpang yang mengerti apa yang ia ucapkan, tak bisa menahan tawa. Yang kudengar saat ini lelaki itu sudah mempunyai album sendiri yang berisikan lagu-lagu yang ia nyanyikan di kereta api dan nampaknya lumayan sukses albumnya itu, paling tidak di daerah sini.
Yang terakhir—karena macam pengamen ini terlalu banyak dan tulisan ini akan sangat panjang hanya untuk membahas tentang pengamen saja—adalah seorang perempuan dewasa yang kuceritakan membuat sendiri alat musiknya.
Tidak seperti perempuan tua kebanyakan, ia adalah penggemar dangdut tulen yang membawakan lagu-lagu populer dengan gaya bak biduanita. Ia tak segan memuji beberapa lelaki yang menurutnya tampan dan terkadang mencubit lemak perut remaja muda yang menurutnya menggemaskan. Aku pernah nekat memberinya uang karena penasaran saja, dan ketika ia sampai ke bangkuku dan menerima uangku, dengan santai ia berhenti memetik kotak musiknya dan mencubit pipiku yang lumayan tembam, “Makasih ya, Cah Ganteng!” ucapnya manja yang segera menarik gelak tawa banyak orang. Aku senang sekaligus malu saat itu. Aku tidak malu karena disebut ganteng, karena ia juga akan mengatakan yang sama kepada siapa pun yang memberinya uang. Aku merasa malu karena keinginanku memberinya uang adalah supaya ia menyapaku. Itu motivasi yang aneh, tapi itulah yang kuinginkan saat itu.
Aku tidak menyesal sudah melakukannya, tapi aku tidak berniat untuk melakukannya lagi.
Yang kuceritakan di atas hanya contoh dari beberapa pengamen yang menghibur, tetapi tidak semuanya bisa membuatmu tersenyum senang, beberapa di antara hanya ingin mencari nafkah (jika tidak pas disebut sedekah).
Ada satu lelaki tunanetra yang membawa gitar, setiap kali ia sampai ke bilik (untuk menyebutkan empat bangku penumpang yang saling berhadapan), ia akan berjongkok dan mulai memetik gitarnya dan menyenandungkan lagu. Sayangnya, suaranya begitu lemah pun petikan gitarnya. Aku nyaris tidak bisa mendengarkan apa-apa. Tapi nampaknya ia tidak merasa begitu, aku yang masiih bocah saat itu saja bisa mengerti kalau lelaki itu benar-benar serius menyanyikan lagunya—entah apa yang ia nyanyikan. Dan kenyataan bahwa ia harus melakukannya berulang-ulang kukira sudah menunjukkan keseriusan itu. Anggaplah satu gerbong ada dua puluh bilik, maka itu artinya ia harus mengulang ritual itu selama sembilan belas kali.
Selain ia, ada seorang lelaki lain yang nampak mirip dengan pemetik gitar yang nyanyiannya terlalu lirih itu. Ia juga tunanetra dan postur tubuhnya pun tak jauh beda. Tetapi ia tidak membawa gitar pun menyanyi, ia hanya berdoa. Serius. Ia sampai ke bilik penumpang, kemudian berjongkok, kemudian ia menengadahkan tangannya dan mulai berdoa. Entah doa apa yang ia baca, paling mungkin adalah doa selamat.
Aku memperhatikan mereka satu per satu dan mendapatkan hiburan sendiri di kepalaku. Terkadang aku dibuat mereka tertawa, senang, sedih, dan ada pula yang membuatku terganggu. Tapi apa pun itu, kedatangan mereka adalah hal yang sangat kunanti-nantikan.
Cukup dari penumpang gelap itu. Di kereta api ada banyak hal lain yang menarik. Misalnya, penumpang kereta yang lain. Tidak jarang aku menemukan beberapa penumpang yang menarik perhatian, entah karena penampilannya atau karena perilakunya. Beberapa sangat senang mengobrol dan adalah menarik bagiku mendengarkan apa yang mereka obrolkan. Bermacam orang yang berasal dari bermacam daerah ada di sana dan lebih sering belum pernah bertemu sebelumnya. Jadi apa yang mereka bincangkan seringkali sangat menarik, pengalaman mereka, kejadian yang ada di daerah mereka, budaya yang berbeda, dan mitos yang dipercaya di setiap daerah.
Selanjutnya, pemandangan dari jendela kereta. Selain karena bisa melihat sendiri keadaan di luar kereta, melewati hutan, bukit, area permukiman penduduk, ada hal lain yang juga paling kunanti-nantikan, misalnya terowongan, jembatang, bukit jempol (atau bukit telunjuk), kebun kelapa sawit yang sangat luas, dan aku tidak bisa melupakan perasaan yang sangat mengesankan ketika kereta api hampir sampai ke tujuan.
Biasanya hari sudah petang, bahkan sering pula sudah masuk magrib ketika kereta api hampir sampai ke tujuan. Perasaan menunggu sampai dan menyaksikan kerlap-kerlip lampu yang mulai bermunculan tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Jika bisa, aku ingin sekali menyimpan sepotong kenangan itu sehingga bisa kulihat lagi kapan pun aku mau. Bunyi mesin dan roda kereta api yang bergesekan dengan rel, bunyi yang dikeluarkan kereta api—yang terdengar seperti lenguhan gajah—saat menjelang sampai, langit yang mulai gelap, dingin yang mulai menusuk, dan orang-orang yang mulai menurunkan dan mempersiapkan barang-barang bawaannya.
Mungkin agak aneh bagimu, kenapa hal semacam itu bisa sangat berkesan. Aku pun merasa aneh dan tidak mengerti kenapa aku merasa seperti itu. Yang jelas pada saat itu, aku merasa tidak mau turun dari kereta api. Aku ingin tetap di sana dan merasakan pengalaman itu lebih lama lagi.
Oiya, pada awal ceritaku tentang kereta api, aku menyebutkan soal pengalaman menyedihkan bukan? Tetapi aku berpikir untuk tidak menceritakannya kepadamu. Mungkin ia masih terlalu menyakitkan bagiku dan cukup untuk kuingat saja—dan selalu berusaha kubunuh dalam pikiranku. Aku merasa akan menghidupkannya lagi—dan itu sangat buruk bagiku—jika ia kuceritakan.
Saat ini kereta tidak seberkesan dulu. Semuanya sudah tertib dan pengalaman berkereta api tak ubahnya naik kendaraan umum lainnya.
Tak ada pengalaman yang beragam lagi. Kamu naik, berangkat, kamu sampai. Sungguh membosankan, tak ubahnya hidup ini.(*)
20 Mei ‘17