Kerang Mutiara

Kerang Mutiara

Kerang Mutiara

Oleh : Ken Lazuardy

 

“Saya minta tolong, Bu. Apa pun akan saya lakukan agar Alvin diterima di sekolah ini.” Wanita paruh baya itu memohon penuh harapan agar anak yang dibawanya bisa diterima di SMP swasta islam yang baru beberapa tahun berdiri itu.

“Iya, Bu. Saya tidak akan menolak, kami dengan senang hati menerima siapa pun yang ingin bersekolah di sini,” ujar Bu Rahma sambil mengangkat kedua sudut bibirnya.

Mata wanita itu berkaca-kaca, ia berkata sambil memegang erat tangan Bu Rahma, “Ya Allah. Beneran, Bu? Terima kasih, terima kasih sekali lagi ya, Bu. Saya bingung mau mencari ke mana lagi karena beberapa sekolah tidak mau menerima anak ini akibat ada beberapa catatan. Maafkan, ini dokumennya belum lengkap.” Wanita itu menyodorkan sebuah surat catatan khusus tentang anak tersebut dari sekolah terdahulu beserta satu map berisi dokumen-dokumen lain.

“Ibu, tenang saja, ya. Nak Alvin kami terima dengan tangan terbuka. Insya Allah kami akan mendidiknya seperti anak lain pada umumnya.”

Senyum Bu Rahma terlihat sangat teduh, menenangkan hati wanita yang sedang menangis di depannya itu.

***

Di ruang guru, semua sedang membicarakan kedatangan seorang murid yang dikenal sebagai anak nakal dan ini kali ketiga ia pindah sekolah setelah ditolak di beberapa sekolah dengan alasan rasio guru dan siswa sudah terpenuhi, yang sayangnya hanya sebagai alasan untuk tidak menerima murid spesial tersebut.

“Bu, sekolah kita saat ini memang sedang butuh siswa banyak, dan keputusan akhir memang di tangan Ibu sebagai kepala sekolah, tetapi sejujurnya saya kurang setuju jika Ibu menerima Alvin di sekolah ini karena akan memengaruhi image sekolah ini,” ucap seorang guru berkacamata yang duduk bersebelahan dengan Bu Rahma, dengan ragu-ragu.

Khas dengan senyumnya yang lembut, Bu Rahma menjelaskan,”Alvin itu salah satu generasi penerus bangsa, Bu. Sama seperti anak lainnya, ia memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang layak, ‘kan?”

Mendengar penjelasan Bu Rahma, semua guu yang berada di ruangan tersebut saling melempar pandang satu sama lain.

“Saya yakin guru-guru di sini memiliki kompetensi yang mumpuni, terutama Bu Aisyah wali kelas VIII yang nantinya sebagai wali kelas Alvin,” imbuh Bu Rahma.

Guru laki-laki yang duduk paling pojok ikut menimpali, “Tapi, Bu. Bagaimana nanti jika mendapat protes dari wali murid yang mungkin resah karena anaknya satu kelas bersama Alvin?”

“Iya, saya mengerti kekhawatiran yang Bapak rasakan, kita tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Memang perlu langkah antisipasi, tapi jangan jadikan sesuatu yang belum terjadi itu sebagai alasan untuk menolak anak didik. Bagi saya, ini amanah. Bahkan suatu kebetulan juga. Qadarullah Alvin dititipkan di sini.”

Bu Rahma menanggapi protes dari beberapa guru yang terus menyuarakan ketidaksetujuannya.

Dalam hati Bu Rahma sebenarnya juga merasakan keraguan untuk menerima, tetapi ia tak kuasa menolak ketika melihat gurat putus asa yang tergambar di wajah wanita yang ia temui pagi itu.

***

Sesuai dugaan, seminggu Alvin bersekolah di sini, telah terjadi beberapa kasus yang ia sebabkan, mengganggu teman-teman di kelasnya ketika pelajaran, tidak mengerjakan tugas maupun PR yang guru berikan, berkata tidak sopan terhadap guru dan daftar kenakalan lainnya. Bu Aisyah, wali kelas VIII yang mengajar Alvin, menyampaikan berbagai keluhan kepada Bu Rahma hampir setiap hari. Beberapa keluhan dan protes telah dilayangkan dari berbagai pihak kepada Bu Rahma, tetapi Bu Rahma tetap yakin bahwa keputusan untuk menerima Alvin merupakan hal yang tepat. Akhirnya, Alvin dipanggil ke ruangan Bu Rahma.

Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, dengan langkah santai Alvin menyelonong masuk ke dalam ruangan berukuran 2×3 meter persegi tersebut. Setelah masuk, Bu Rahma mempersilakan Alvin duduk di kursi yang berada di depannya.

“Kenapa, Bu? Saya mau dikeluarkan lagi?”

“Nggak, nggak ada yang mau ngeluarin kamu.”

“Terus?”

“Ibu cuma mau ngobrol aja sama kamu, Vin. Kamu nggak seneng sekolah di sini?”

“Nggak hanya di sini, saya emang nggak suka sama yang namanya sekolah.”

“Oh, jadi gitu. Kenapa nggak suka?”

“Nggak suka aja.”

Bu Rahma yang menangkap gelagat kurang nyaman pada Alvin, memutuskan menghentikan obrolan.

“Oke, kalau nggak mau cerita nggak apa-apa. Silakan kembali ke kelas.”

Bu Rahma sadar, tidak mudah untuk membuat murid spesialnya itu berbicara, sehingga ia memutuskan untuk memberikan kelas khusus untuk murid istimewa yang akan ia handle sendiri. Untuk sementara waktu, ia dipisahkan dari teman sekelasnya agar observasi masalah yang tengah dihadapi Alvin terlaksana, pun bertujuan agar tidak mengganggu kegiatan belajar mengajar siswa lain di kelas.

Sedari pertemuan pertama sampai hari ini rasanya masih kurang, kepala sekolah wanita yang berusia 35 tahun itu belum berhasil membuat Alvin merasa nyaman untuk berbicara, berbagai hukuman yang mendidik tak pernah membuatnya jera. Hingga suatu hari, Bu Rahma memberikan hukuman dengan menulis rangkuman dari sebuah video pembelajaran dan meninggalkannya sendirian di ruangan. Secara tidak sengaja Bu Rahma mendengar Alvin bernyanyi sesaat sebelum kepala sekolahnya itu masuk ke ruangan, ia menyanyikan lagu “Titanium” dengan indahnya.

I’m bulletproof nothing to lose

Fire away, fire away

Ricochet, you take your aim

Fire away, fire away

You shoot me down, but I won’t fall, I am titanium

Terdengar pintu ruangan dibuka, cepat-cepat Alvin menghentikan nyanyiannya dan pura-pura sibuk menulis, padahal kertasnya dari tadi terlihat masih kosong. Bu Rahma tersenyum lega, kini ia menemukan sesuatu hal, sesuatu yang spesial, bakat terpendam dari seorang Alvino Brahmantara. Hal yang mungkin tidak pernah dilihat oleh guru-guru terdahulunya.

Menurut seorang pakar Pendidikan dan psikologi dari Amerika, Howard Gardner, ia memiliki salah satu kecerdasan dari sembilan jenis kecerdasan majemuk, yaitu kecerdasan musical. Ia mampu menyanyi dengan bagus. Bukan, tak sekadar bagus, tetapi sangat merdu, andaikan ada kata yang bisa menggambarkan lebih dari kata merdu.

Bu Rahma membuka obrolan, “Suka nyanyi ya, Vin?”

Mata Alvin terbelalak, ia menyadari bahwa ada yang mendengarnya tadi ketika ia bernyanyi.

“Ibu juga suka lagu itu, bikin semangat banget. By the way, kamu mau ikut nggak lomba menyanyi solo FLS2N (Festival Lomba Seni Siwa Nasional) tingkat SMP tahun ini?” Bu Rahma membaca ekspresi Alvin yang sepertinya ada sedikit ketertarikan.

“Nggak mau juga nggak apa-apa, sih, soalnya lumayan kalau kamu ikut, bisa sejenak meninggalkan kegiatan sekolah ketika persiapan dan pelaksanaan lombanya, loh!” Bu Rahma mencari celah untuk memancing minat anak didik yang ternyata bersuara emas itu. Ia berharap embel-embel bisa meninggalkan sekolah sejenak dapat memberikan percikan semangat kepada Alvin.

Ternyata berhasil. “Serius, Bu?” Alvin mulai angkat bicara.

“Serius. Tapi ada syaratnya, sih. Kamu suka nyanyi, kan? Kalau kamu bisa melewati Ujian Tengah Semester ini dengan nilai cukup pas KKM, atau bahkan melewatinya, Ibu akan daftarkan. Tapi kalo nggak bisa, ya, terpaksa nggak jadi.”

“Iya, Bu, saya mau. Saya akan berusaha. Tolong bantu saya ya, Bu.”

Wanita yang saat itu berhijab putih dengan seragam batik PGRI, melihat Alvin berubah 180 derajat, yang tadinya cuek dan hampir membuat Bu Rahma putus asa, kini berubah menjadi lebih semangat dan terbuka. Tak menyangka Bu Rahma akan membuat Alvin kembali semangat belajar dan menemukan ada hal menarik dalam dirinya. Anak didik khususnya itu memang tergolong lemah di bidang akademik, sehingga butuh effort yang cukup besar, berbagai metode pembelajaran yang menyenangkan telah dicoba untuk membantu Alvin yang memiliki gaya belajar auditori dalam memahami materi yang disampaikan. Tidak banyak menulis ataupun membaca teks, ia lebih suka mendengarkan penjelasan dan menonton video.

Setelah UTS usai, tibalah penyerahan hasil raport tengah semester, Alvin menunggu saat itu dengan gelisah. 

“Gimana, Bu? Saya bisa ikut FLS2N?”

“Hmmm, gimana, ya, Vin. Nilai Matematika dan Biologimu masih di bawah KKM.”

Bu Rahma melihat ada guratan sedih dalam raut wajah anak didiknya itu.

“Tapi, nggak apa-apa. Ibu kasih tambahan waktu untuk memperbaiki melalui Remedial Test. Dan Ibu akan melihat progress-mu dalam seminggu ini di dalam kelas. Perbaiki tingkah lakumu terhadap teman dan guru.”

Wajah Alvin berubah semringah, tak menyangka dirinya masih memiliki kesempatan untuk melakukan hal yang paling disukainya itu.

***

Masih terekam jelas dalam memori Bu Rahma momen ketika wanita yang mengantar Alvin, yang memperkenalkan diri sebagai Bu Aini, mengiba di depannya. Sebenarnya, ada satu hal lagi yang membuat ia bersikukuh menerima Alvin, yaitu karena memang anak ini perlu pertolongan.

Bu Aini bukan ibu kandung Alvin, Mama Alvin sudah meninggal. Alvin melarikan diri dari rumah lalu bersembunyi di rumah Pak Herman, suami Bu Aini, yang merupakan anak buah Papa Alvin. Alvin sudah dikurung di gudang berhari-hari oleh ayahnya, dengan air putih dan makanan seadanya, akibat mengadu bahwa mama barunya tidak bersikap baik kepadanya. Meskipun keberadaan Alvin telah diketahui oleh Papa Alvin, namun papannya tak sedikit pun berniat untuk menjemput. Papanya telah memiliki keluarga baru, entah mengapa sikapnya berubah drastis, yang mulanya sebagai family man, kini bahkan tidak memedulikan anak kandungnya. Beruntung Alvin diselamatkan oleh Bu Aini dan Pak Herman, penghasilan seadanya terpaksa harus dicukupkan untuk Alvin dan ketiga orang anaknya. Kini Bu Rahma mengerti apa latar belakang Alvin yang cenderung ingin melanggar peraturan, mungkin ini adalah sikapnya untuk mencari perhatian yang selama ini tidak ia dapatkan.

“Bu Rahma,“ panggil Alvin yang membuyarkan lamunan Bu Rahma. “Saya juara satu, Bu, bulan depan mewakili kecamatan untuk maju ke kabupaten,” lanjut Alvin sambil menyodorkan piala dan sertifikat lombanya.

Baru kali ini Bu Rahma melihat senyum lepas seorang Alvin. Kebahagiaan luar biasa yang tidak mampu ia sembunyikan.

“Selamat, ya, Nak. Kamu berhak mendapatkannya,” ujar Bu Rahma sambil menepuk bahu Alvin penuh rasa bangga.

“Terima kasih, Bu Rahma,” ujar Alvin singkat sambil mencium lembut tangan kepala sekolahnya. Sebenarnya ada banyak hal yang ingin Alvin sampaikan, tetapi entah kenapa hanya itu yang dapat terucap dari bibirnya.

Bu Rahma membatin, Ibu yang seharusnya berterima kasih kepadamu, kamu telah membawa nama baik sekolah, kamulah sebenarnya guru bagi Ibu. Darimu Ibu jadi belajar tentang banyak hal, kesabaran, keberanian, dan semangat untuk tidak pantang menyerah.

Satu hal yang ingin Bu Rahma wujudkan di sekolah ini, ia ingin sekolah ini seperti kerang mutiara, mengubah pasir tak berharga yang masuk dalam cangkangnya menjadi mutiara yang sangat berharga. Tak peduli bagaimana input siswa/latar belakangnya, yang penting, ketika keluar dari sekolah ini, ia menjadi generasi penerus yang membawa bangsa ini menuju masa depan yang jauh lebih baik. Semoga kelak, sekolah ini dapat menghasilkan mutiara-mutiara lain, yang bersinar dengan potensinya dan menjadi terbaik versi dirinya.

Ken Lazuardy. Perempuan kelahiran November 1990 di Pasuruan, Jawa Timur ini mencoba menekuni dunia kepenulisan pada bulan Oktober 2019 dengan mengikuti sebuah kelas menulis online. Masih dan akan terus belajar di berbagai grup kepenulisan, salah satunya di Kelas Menulis Loker Kata. Jika ingin berkenalan lebih lanjut, silakan berkunjung ke akun sosial medianya, WA: 082234570275, IG : ken_lazuardy, Facebook : ken_lazuardy.

Editor: Erlyna

Grup FB KCLK

Halaman FB Kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply