Keputusan
Oleh: Lutfi Rose
Langit biru Kota Tokyo tampak cerah merona. Pelangi menghiasi di antara rintik, sisa hujan semalam. Nobita akan bergegas berjalan sambil menenteng tas besar. Hari pertama dia masuk kerja di sebuah kantor pemasaran barang bekas layak pakai yang diekspor ke negara-negara berkembang di seluruh Asia.
Bukan rahasia jika negara kincir anginku memang pandai membuat inovasi baru, sehingga setiap bulan banyak barang dengan teknologi mutakhir yang akan menggeser barang lama yang dianggap ketinggalan zaman. Mungkin ini juga alasan mengapa banyak sekali negara berkembang seperti Indonesia dan tetangganya menjadi tujuan pembuangan barang bekas pakai masyarakat Jepang.
Entah! Sampai kapan negara berkembang menjadi pasar empuk negara kreatif seperti kami.
“Ayolah, Doraemon … keluarkan alat yang bisa membuatku tak dimarahi atasan!”
Kukira dia sudah berangkat, tiba-tiba sudah berdiri di belakangku.
Seperti biasa, selalu ada saja permintaan tidak masuk akal dari Nobita. Dia menangis meraung-raung sambil memukuli lantai dengan kepalan tangan.
Keterlaluan!
Apa boleh buat, “Senter Penakluk Hati!” Kuangsurkan sebuah senter kecil padanya. “Senter ini akan membuat semua orang menurut dan sayang padamu. Tapi ingat! Gunakan seperlunya, ya!”
Dengan binar mata penuh kepuasan Nobi mengambil alat baru itu dari tanganku.
“Terima kasih. Kamu memang sahabat terbaik, Doraemon.”
“Selalu begitu.” Aku bersungut kesal.
Bagiku Nobita adalah belahan Jiwa. Puluhan tahun kami bersama. Meski sering kali sahabatku itu membuat kesal, tetap saja rasa sayang mengalahkan sebal.
Tahun ini usia Nobita menginjak 25 tahun. Sayangnya, kelakuan masih tak jauh dari anak usia 10 tahun. Nobita tetap saja sering mengeluh dan memohon-mohon agar aku mengeluarkan alat jika dia mengalami sedikit kesulitan. Dan selalu aku tak sampai hati menolak permintaannya.
Ya! Rasa sayang seringkali malah menjerumuskan.
Namun takdir bukan kita yang menentukan. Ada tangan lain yang lebih berkuasa atas segala hal di dunia, termasuk jalan hidup. Hari ini rencananya aku akan pamit. Rencana yang sudah kupertimbangkan masak-masak jauh hari. Nobita harus bisa hidup mandiri tidak selalu bergantung pada alatku.
Sambil menunggu Nobita pulang kerja sore, aku akan menemui Mici. Dia pasti sudah menunggu, kemarin kami sudah janjian akan bertemu lagi di lapangan bermain.
Jalan setapak ini sudah banyak perubahan. Saat pertama kali aku menginjakkan kaki di kota ini 15 tahun silam, rumah-rumah masih banyak yang memiliki halaman luas, kebun dengan aneka buah yang mereka tanam di depan rumah. Arus lalu lintas juga belum sepadat sekarang, rumah makin berjubel, halaman juga tak luas lagi. Untungnya kebiasaan baik masyarakat tidak ikut tergerus bersama perkembangan zaman. Masyarakat di sini masih sangat peduli dengan lingkungan. Lihat saja! Semua saluran pembuangan air mereka bendung dan memelihara ikan aneka macam. Pemandangan yang sangat jarang ditemui di kota lain.
Kakiku menginjak rumput hijau di lapangan bermain. Tempat satu-satunya yang tak pernah berubah. Tiga buah beton base masih tetap kokoh tertidur di satu sisi lapangan. Hanya saja sekarang sudah tidak muat lagi untuk kami duduk di dalamnya. Apalagi Giant, dia sangat besar sekarang, masih suka bernyanyi dan main baseball. Untungnya dia sudah tak suka memukul lagi. Setiap hari membantu ibunya berjualan di toko. Sedang Suneo, dia sudah menikah seusai wisuda tahun lalu. Kemudian pindah ke Perancis bersama istrinya.
Seekor kucing cantik sedang duduk di atas beton base. Dia memang selalu membuat dadaku berdegup kencang.
“Mici!” aku berteriak memanggilnya.
Matanya melebar menyambutku.
“Dory …,” suaranya selalu seksi.
Aku melompat duduk di sebelahnya.
“Sudah lamakah?”
Hanya senyuman sebagai jawaban. Bibirnya mengerucut seolah merajuk. Kusentuh pipinya yang memerah. Kucing cantik itu mengeong.
Aku memang memasangkan alat di bagian leher Mici, supaya dia bisa berbicara layaknya manusia.
Kami diam, menatap goyangan daun beringin tua yang tertiup angin. Beberapa mulai menguning dan gugur.
“Apakah kita akan pergi petang ini?” tanya Mici, menatapku lurus.
“Iya, aku akan mengajakmu ke rumahku di masa depan. Bertemu dengan adikku Dorami.”
Dia mengalihkan pandangan ke langit biru, membiarkan kesunyian mengisi beberapa menit kebersamaan.
“Mici … aku harus mengemasi barangku. Beberapa benda harus kumasukkan ke dalam kantong ajaib, jangan sampai tertinggal dan menjadi masalah di kemudian hari.”
Mici menganggguk. Hanya menatap ketika aku meloncat turun dan pergi sambil melambaikan tangan.
**
Tepat pukul empat sore Nobita pulang.
“Aku pulang …!” teriakan yang selalu menyertai kedatangannya.
Langkah kecilnya setengah berlari menuju lantai dua, kamar kami. Aku sudah selesai memasukkan semua alat ke dalam kantongku.
Sudah kusiapkan semua kalimat yang akan kusampaikan padanya.
Setelah Nobi mengganti baju, berbaring, aku ikut merebahkan diri di sampingnya.
Kutarik napas dalam sebelum memulai kalimatku.
“Nobita, kita harus bicara.”
“Sudahlah, Doraemon. Aku masih lelah. Kita bicara nanti setelah makan malam.”
“Tidak mungkin, Nobi. Harus sekarang. Aku tidak punya banyak waktu.”
Dia tampak kaget, menoleh padaku.
“Ada apa?”
“Aku akan pergi.”
“Apa!” sahabatku berteriak, serentak duduk, langsung memegang kedua bahuku. “Jangan bercanda!”
Nobita terus menggoyangkan tubuhku berkali-kali.
“Iya, Nobi. Aku akan pergi.”
Dia meracau tidak jelas, memaki, berteriak dan lari turun meneriakkan, “Ibu …!”
Aku mengikutinya dari belakang.
“Ada apa, Nobita? Ini masih sore, makan malam belum siap.”
“Ibu, ini bukan soal makan malam. Dengarkan aku, Ibu. Doraemon akan pergi. Jangan biarkan Ibu, cegah dia!”
“Sudah-sudah! Hentikan adu mulutnya.” Ibu membentak kami berdua.
Baiklah akhirnya aku menjelaskan bahwa harus pergi malam ini. Robot ini akan pulang ke masa depan bersama Mici, toh Nobita juga akan memulai berumah tangga dengan Suzuka.
Nobita meraung-raung lagi. Gayanya selalu sama, kolokan!
Kucoba menenangkannya, memeluk erat sebelum benar-benar pergi untuk selamanya. Ibu tampak beberapa kali mengusap sudut matanya. Bukan mereka saja, aku juga sama sedihnya.
Tapi tekad sudah bulat, aku harus pergi sekarang.
Kulambaikan tangan pada Ibu dan Nobita yang masih terus menangis. Mici pasti sudah menunggu di lapangan bermain.
Aku berlari tanpa menoleh, dan Nobita berlari juga di belakangku.
Benar saja, Mici sudah menunggu di sana, dia duduk di tempat yang sama ketika kutemui pagi tadi. Kudapati dia di pelukanku.
“Kamu yakin akan pergi, Doraemon?”
Kulepas pelukan dan menatap sahabatku. Aku mengangguk.
“Apakah aku membuat kesalahan?”
“Tidak, Nobi. Hanya saja aku ingin memulai hidup baru. Bukankah tahun ini kalian akan menikah, kamu dan Suzuka?”
Hening.
“Tapi kamu tidak harus pergi, Doraemon ….”
“Aku mencintai Mici, Nobi. Kami juga akan menikah. Kalau kamu sudah bersama Suzuka tak mungkin aku tetap tinggal di kamarmu.”
Aku mengeluarkan alat dari kantongku. Memasangnya, menghubungkan dengan masa depan.
Kugandeng tangan Mici, perlahan memasuki Gerbang Waktu.
Masih kudengar teriakan keras Nobita memanggilku. Aku berusaha tak peduli. Makin kueratkan genggaman pada tangan Mici.
“Kita harus pergi sekarang,” bisikku di telinganya.
Suara keras berdengung memekakan telinga. Dan, “Brak!” tubuh kami menabrak sesuatu.
“Mici, kamu baik-baik saja?”
Hanya suara meong yang kudengar. Sekuat tenaga kubuka mata. Gelap. Sangat gelap. Kuambil senter dari kantongku dengan sebelah tangan tetap memegang tangan kekasihku.
“Ya Tuhan, aku salah memencet tahun, Mici. Ini dunia saat sudah musnah, kiamat. Kita harus kembali.”
Gerbang Waktu masih berfungsi. Buru-buru kami memasukinya.
**
“Doraemon, kamu kembali?”
Nobita berhambur memelukku.
“Dengar! Aku memang akan menikah. Dan kamu akan punya kamar sendiri bersama Mici, kalian juga akan menikah. Jadi tak perlu pergi jauh.”
Nobita memegang kedua tanganku. Tampak kesungguhan di kedua matanya.
“Kita akan jadi dua pengantin paling berbahagia tahun ini. Kamu mau, kan?”
Pria tinggi ini memang selalu bisa mengambil hatiku. Tahu saja jalan pikiranku, lalu membuatku tidak bisa menolak.
“Baiklah! Bolehkah Mici tinggal bersama kita? Dia sudah sebatang kara.”
“Tentu! Ayo pulang!”
Kami berjalan beriring ke rumah keluarga Nobi.
“Aku ingin segera punya anak, Nobita. Sama sepertimu kelak,” perbincangan kami sepanjang jalan.
“Tentu!”
“Kamu mau anak berapa, Mici?”
Gadisku hanya tersipu malu.
“Sebentar! Doraemon kamu kan robot? Bagaimana bisa punya anak?”
Aku tersentak seolah siuman dari pingsan. Aku robot? Ya! Apakah aku bisa bisa membuahi ovum seperti kucing sesungguhnya?
Ya Tuhan … tidak adakah alat untuk memproduksi mahluk hidup? Aku tak bisa berpikir lagi.
END
Malang, 29 Januari 2019.
*Diambil dari cerita Doraemon.
Lutfi Rose, seorang ibu yang tak pernah ingin berhenti berkarya. Menulis di sela kesibukan merawat anak dan menjalankan sebuah butik di desa kecil di sudut kota Malang. Prinsip hidupnya, “Hidup akan berarti saat kita bermanfaat bagi sesama.
Tantangan Lokit adalah tantangan menulis cerpen yang diselenggarakan di grup FB KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata