Kepunan

Kepunan

Kepunan
Review oleh : Ardhya Rahma

Judul : Kepunan
Penulis : Benny Arnas
Penerbit : PT. Grasindo
Tahun : 2016
Tebal : 279 halaman
ISBN : 978-602-375-759-6

Blurb :

Kepunan adalah drama-jarak-jauh berlatar situasi pra dan pasca-kemerdekaan di Musirawas antara tahun 1920-1983. Sebuah surat yang ditulis cucu laki-laki dari Fleur de Veidjn—putri pasangan Denis Veidjn dan Aziza alias Madam Veidjn—menjadi tabir pembuka sekaligus pemantik terbukanya kisah-kisah pribumi-Belanda: hubungan kontroleur dan pesirah yang menyerupai gunung berapi—tenang dan indah namun menyimpan lahar di dalamnya, sekolah privat yang hanya diikuti anak-anak gundik yang tampilan fisiknya mewarisi darah Belanda, perang gerilya yang menjadikan bukit hutan perawan sebagai barak, penyair cabul penjilat kolonial yang mendadak menjadi ulama, pejuang-pejuang perempuan dengan kesaktian yang melampaui logika, skandal asmara antarmenir yang menimbulkan kekacauan tatanan (pemikiran) masyarakat, dan buah pemikiran dan nasihat kehidupan—pada anak perempuan—yang keluar garis kelaziman.

Semuanya akan menjadi terang ketika empat puluh tahun kemudian masing-masing pihak menyiapkan sebuah pertemuan yang akan mengonfirmasi segala rahasia dan rindu yang mengapung sekian lama. Namun… mereka tak tahu kalau Tuhan justru mempersiapkan rencana yang berbeda.

Review :

Novel ini adalah novel sastra pertama yang saya baca. Juga novel sejarah pertama yang saya baca. Buat pembaca awam seperti saya yang belum mengenal nama penulisnya, tentu saja kesan pertama itu sesuatu yang sangat penting. Kesan pertama bisa diawali dari pemilihan cover dan judul.

Untuk cover menurut persepsi saya adalah penggambaran tokoh Aku yang dikelilingi berbagai masalah lokalitas di tempat dia dibesarkan. Cukup menarik.

Hal kedua yang menarik adalah judul. Terus terang saja saya sampai mencari arti kata kepunan. Ada beberapa, sih. Namun, kalau melihat setting cerita maka bisa diartikan Kepunan adalah salah satu istilah dalam bahasa melayu Palembang. Kurang lebih maknanya adalah pamali-saat-ingin-makan-sesuatu-tapi-tidak-dipenuhi-keinginan-itu. Atau dalam makna yang lain; ingin makan sesuatu sampai teringat-ingat dan mengganggu pikiran ( https://riopale.tumblr.com/post/70579928477/kepunan-ke-pun-an-adalah-salah-satu-istilah)

Novel ini sebagian besar berisi kisah tentang seorang perempuan yang mempunyai bakat mengarang sejak usianya menjelang puber hingga usia senja.

Berawal dari cucu lelaki almarhum Fleur de Veidjn yang ingin belajar mengarang. Dia mengirim surat pada tokoh Aku yang memiliki bakat tersebut. Dimulailah perjalanan mengingat masa lalu yang sudah lama disimpan dalam sudut memori terdalam.

Pembaca disuguhkan setting tempat di Musirawas sebuah dusun perkebunan di Sumatera Selatan. Dusun yang memiliki kekentalan budaya dan agama. Di era kolonial saat itu Musirawas yang menjadi bagian dari Hindia Belanda tentu saja masih kental dengan diskriminasi terhadap kaum Pribumi. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menikmati pendidikan.

Tokoh Aku pun tak luput dari hal itu. Persahabatannya dengan anak keturunan Belanda : Fleur, Sophie, Julia, dan Emma membuka jalan baginya. Dengan cerdik dia mencuri ilmu dari kawan-kawan Belandanya itu. Semangat jiwa muda dalam dirinya membuat dia berhasil melampaui batas wanita pribumi. Sayangnya kecerdasan dan bakatnya tersebut tidak mendapat dukungan dari keluarganya. Konflik pertama yang ada dalam novel ini cukup apik diceritakan termasuk bagaimana penulis menyindir dunia kepengarangan. Bisa dibaca dalam bagian, “Aku Berlindung dari Godaan Pengarang yang Terkutuk.”

Meskipun konflik tidak tajam, tapi saya suka pengemasan kisah dan alur yang disajikan. Kepunan merupakan kombinasi yang bagus dari romansa, keluarga, persahabatan, dan cinta tanah air. Penulis sukses mengharmonisasikannya dalam bab-bab kisah yang sayang untuk dilewatkan.

Mungkin penggambaran penulis tentang gunung berapi—tenang dan indah, tapi menyimpan lahar di dalamnya, cocok untuk menggambarkan konflik yang beriak tapi tidak tajam.

Salah satu kalimat yang saya suka dalam novel ini :

“Ketika masa kau besar nanti, tidak ada silaturahim yang murni. Kedatangan adalah jembatan mengantar keperluan. Senyuman adalah senjata untuk menyembunyikan kebusukan. Tolong-menolong haruslah diawali kesepakatan yang saling menguntungkan”

Kalimat itu mengingatkan saya betapa hal itu terjadi di era sekarang ini. Ironi-ironi yang terjadi di masa lampau seolah-olah menjadi pesan-pesan yang tidak sengaja terjadi di masa dewasa ini.

Moral yang diusung menjadikan cerita ini beriak. Mengakibatkan saya lupa akan konflik yang kurang tajam. Sebuah novel yang membuat saya banyak belajar bagaimana menciptakan setting yang detail dan mengemas moral cerita.

Selamat Membaca. (*)


Surabaya, 5 April 2021

Ardhya Rahma, penulis yang mencintai buku, koper, dan ransel.

Editor : Uzwah Anna

Grub FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply