Kepulangan Dodi

Kepulangan Dodi

Kepulangan Dodi
Oleh : Ning Kurniati

Senyumnya lebar memperlihatkan barisan gigi putih begitu matanya menangkap pulau yang sudah dia tinggalkan sejak sepuluh tahun yang lalu. Kampung yang dikelilingi pulau-pulau kecil di segala penjuru sisinya. Tidak bisa tidak, dia teringat bahwa dahulu tidak ada yang lebih membahagiakan selain mendatangi tempat-tempat tersebut, yang sudah pasti akan membuat para orang tua murka melihat anak-anak mendayung perahu kembali ke pulau utama—tempat mereka bermukim—hanya bila gelap menjelang.

Pantang untuk bermain di sana, pulau-pulau itu berpenghuni, ucap Kamituwo—salah satu yang dituakan meski umurnya masihlah kategori dewasa. Mendengar teguran yang sebelumnya sudah didengar dari masing-masing orang tua, gerombolan anak-anak itu hanya diam mendengar selagi laki-laki tersebut bicara tak lain dilakukan sebagai tanda untuk menghargai. Begitu selesai, segera mereka menyingkir meninggalkan debu-debu pasir melayang-layang akibat pijakan, dengan mata yang saling pandang satu sama lain mereka seperti menyiratkan omong kosong belaka, tak ada apa-apa di sana, malah udang dan kepiting lebih mudah ditemukan di balik tubir-tubir batu, kalau memacing ikan-ikan di sana dapatnya malah lebih besar.

Mungkin Kamituwo sudah meninggal, pikir lelaki dengan rambut selang-selang putih di antara hitam rambutnya itu. Dia membayar dengan melebihkan beberapa lembar ke anak yang menyembarangkannya, yang hanya diam selama perjalanan. Dia sendiri tidak memiliki keinginan untuk berbasa-basi, seperti menanyakan nama, siapa nama orangtuanya, di bagian mana rumahnya, apa menyembarangkan orang adalah pekerjaan tetap anak itu.

Begitu turun dari perahu segera dia berjalan menuju rumahnya. Kepulangannya hari ini persis seperti ketika dia kecil, gelap menjelang. Hanya saja kali ini selain tubuhnya yang berubah, pulau itu pun menampakkan perubahan. Dia menghela napas. Apa yang sudah terjadi?

***

Kamituwo sudah lama meninggal, dia ditemukan di rumahnya dalam keadaan membusuk, informasi yang didapatnya pagi ini ketika dia bertanya pada tetangga perihal Kamituwo.

“Bapak kenal Kamituwo?” tanya ibu muda itu sambil menyusui anaknya di teras rumah.

“Iya.” Dia merasa dirinya tidak dikenali, mungkin pengaruh bentuk tubuh yang melebar, dan cat rambut yang seperti uban itu dirinya dianggap asing.

“Ibu siapa, ya?”

“Maksudnya?”

“Nama Ibu?”

“Oh, saya Sulas.”

“Su-las, anaknya Pak Mapi?” Perempuan itu mengangguk dengan kuluman senyum. “Saya Dodi. Anak Pak Soleh, pemilik rumah itu,” tunjuknya ke rumah yang jaraknya lima puluh meter dari rumah Sulas.

“Oh, ya ampun! Kau berubah betul, Dodi. Badanmu jadi gemuk begitu, sudah ubanan pula.”

“Heh, ini bukan uban, tapi cat rambut.”

“Oh, jadi begitu ya, gaya orang-orang kota?”

Dodi hanya terkekeh, tidak membalas tanggapan Sulas perihal rambut.

Dari pembicaraan dengan Sulas, dia mendapat banyak informasi, pertama tentu saja bagaimana Sulas bisa menjadi istri tetangganya itu mengingat bagaimana keluarga mereka saling bermusuhan ketika mereka masih kecil, tentang kematian Kamituwo lebih lanjut dan orang-orang yang dikenalnya, tentang adanya dermaga di bibir pantai, dan segala hal yang berubah yang sangat jauh berbeda dengan nilai-nilai yang dijaga ketat Kamituwo dan keturunannya. Keturunannya yang ketika sudah menggantikan posisi ayah mereka, pasti akan mendapat panggilan yang sama: Kamituwo.

***

Selepas berberes rumah dengan seadanya dan santap siang, Dodi berjalan-jalan untuk membuktikan omongan Sulas atau barangkali melengkapi apa yang sudah diperoleh. Observasi, padahal niatnya untuk liburan dan mengenang masa kecil, malah jadi begini. Tidak apa, hatinya mengambil alih, toh, ini juga menyenangkan. Niat baik akan berakhir baik, pikirnya. Akankah selalu begitu?

Dodi menyapa penduduk pada beberapa titik yang sedang berkumpul kadang dia berlama-lama di sana, kadang hanya sekadar mengingatkan orang-orang bahwa duluya dia juga bagian dari kampung, selanjutnya dia akan mengabarkan bahwa ayahnya—Pak Soleh sudah lama meninggal, lalu beralih ke pokok-pokok yang ingin diketahuinya.

Dari mereka, Dodi tahu bahwa kematian Kamituwo ada hubungannya dengan pembangunan dermaga dan pulau-pulau kecil yang sekarang tidak lagi menjadi tempat untuk mendapatkan hasil laut semata. Di sana sudah berdiri penginapan kecil-kecil yang bisa ditempati wisatawan untuk menginap bukan lagi di rumah-rumah warga, ada juga titik yang sengaja dibangun untuk memancing, atau tempat sekadar untuk berswafoto. Sejak pembangunan pertama dan orang-orang luar mulai berdatangan, tak ada lagi larangan untuk mengungjungi pulau-pulau. Sepanjang hari sepanjang malam. Benar-benar berbeda dengan keadaan ketika Kamituwo dan keturunannya masih hidup. Seiring dengan itu, hasil laut seperti ikan, udang, dan kepiting, jumlahnya mulai berkurang, bahkan pada beberapa titik, benar-benar susah untuk mendapatkan. Para nelayan harus jauh-jauh mendayung.

Di masyarakat jasa-jasa Kamituwo selama ini tidak berarti apa-apa, dia dianggap orang yang masih trauma dengan penjajahan, membatasi orang luar berbaur dengan mereka, padahal—kata salah satu penduduk—bila mereka berdatangan ke sini, penduduk akan untung karena bisa menjual kebutuhan mereka: pakaian, makanan, minuman, dan juga jasa. Bukan hanya jasa menyembarangkan loh, tapi ada yang lain juga, ucap tante-tante itu dengan genit sambil mata mengedip, dengan tubuh yang dicondongkan sedikit membuat Dodi bergidik. “Iih!”

Sore hari itu Dodi kembali mendatangi Sulas. Sulas tak sekucel pagi tadi, kali ini bahkan bibir kecokelatannya memerah dengan pulasan lipstik. Dodi merasa salah waktu. Sulas seperti hendak bepergian. Maka dia bertanya seadanya dengan mata yang menunduk dan begitu mendapatkan jawaban, segera dia menyingkir kembali ke rumahnya.

***

Tak ada lagi pemimpin kampung. Tak ada yang mau. Tanggung jawabnya begitu besar, orang-orang tidak mau dimusuhi seperti Kamituwo dan mati mengenaskan kalau melawan mereka, kalau tidak melawan, beberapa penduduk akan menyalahkan pemimpin yang baru karena tak becus memakmurkan. Melawan, suami Sulis ditemukan pagi buta dekat dermaga.

Laki-laki yang melaut banyak yang tak pulang, sebagian mayatnya ditemukan, sebagiannya tidak, ada yang dikabarkan tenggelam, ada kabar mereka dibunuh. Dodi tidak menyangka seperti ini kampung yang lama tidak dikungjunginya. Tidak bisa tertidur, perkataan orang-orang silih berganti memenuhi kepalanya membuat gelisah. Kemudian Dodi tersentak, keras, ketukan demi ketukan memaksanya harus membuka pintu. Dia keluar dan tiga orang yang tak dikenal itu melewati pintu begitu saja tanpa dipersilakan. Akunya sebelum memulai pembicaraan, mereka ditugaskan untuk menjaga kampung ini dan penginapan yang ada di pulau-pulau sebelah.

“Bapak kenapa tanya-tanya ke penduduk tentang penginapan sampai tentang Kamituwo si tua yang mengada-ada itu?”

“Memangnya kenapa, Pak, kalau saya tanya? Kan hanya tanya-tanya.”

“Ya, orang kalau bertanya pasti ada tujuannya, Pak?” Laki-laki yang merokok bersuara.

“Ya, karena saya mau tahu, Pak.”

“Lantas kalau sudah tahu, Bapak mau apa?”

Dodi mendadak diam, tidak tahu jawaban apa yang pantas dikeluarkan untuk ketiga orang ini. Dia menatap tamunya itu lebih saksama dari sebelumnya.

“Kalian bertiga penduduk di sini?”

“Ya, kami penduduk asli.”

“Saya juga orang sini, kok. Saya rasa kita tidak usah bicara dengan menegangkan begini, saya ke belakang dulu mau siapkan minuman.”

“Tidak perlu, Pak, kami sudah minum kopi sebelum ke sini,” ucap laki-laki yang pertama bicara tadi begitu Dodi mengangkat pantat dari kursi kayu orangtuanya yang melapuk. “Kami ke sini cuma mau mengingatkan, Bapak, jangan memberikan pengaruh yang macam-macam ke penduduk, kampung kita ini sudah maju. Bapak bisa lihat bedanya ‘kan dengan masa kecil Bapak. Dulu tidak ada dermaga, sekarang sudah ada. Orang-orang bebas berdatangan ke sini, kita semua untung, bisa berjualan ke mereka. Tidak seperti dulu, ketika kamituwo-kamituwo itu hidup, kalau ada yang datang ya, menginapnya di rumahnya, loh pastilah orang-orang itu memberikan upah ke kamituwo, kita dapat apa? Anak-anak mah palingan diajari membaca dan menulis, tahu berhitung, tidak menghasilkan uang, Pak. Sekarang, siapa pun bisa menghasilkan uang kalau mau berusaha, iya tidak?” Mereka saling melirik, cengengesan, dan pamit pulang.

Sebelum memakai sandal, laki-laki yang dari tadi saja diam berbalik dan  bicara, “Saya ingat Bapak, dulu kita teman masa kecil, saya Harun, Dod. Oh, ya, kau juga bisa menanam modal atau membangun di sini, itu bisa dibicarakan bersama. Saya kenal orang-orang yang bisa membantu sampai bangunan itu berdiri. Biar wisatawan makin banyak. Duit ngalir. Kau bisa datang ke rumah saya kalau kau mau. Masih ingat, ‘kan?” ucapnya diselingi senyum.

Dodi cuma bisa tertegun, bukan saja rupa yang berubah, kepala orang-orang juga berubah. Dia menendang pintu yang engselnya sudah mau lepas. Kemajuan macam apa yang mau dibanggakan kalau moral merosot turun?

***

Pagi itu, Dodi merasa tidak perlu ke mana-mana. Memakai celana training dan lengan panjang longgar, dia ingin berjalan-jalan di sepanjang pantai. Pikirannya ruwet antara mau menunjukkan jalan kepada penduduk bahwa ada yang salah di sini atau justru memilih bungkam dan menganggap semua baik-baik saja. Tapi, apanya yang baik-baik saja?

Wajah dan rambutnya tertampar-tampar angin. Dodi duduk di bawah kelapa berdampingan dengan plastik-plastik makanan dan minuman ringan, potongan-potongan kayu, batok buah kelapa yang tidak berisi, dan serakan daun-daun. Kamituwo benci sekali kalau begini, pikirnya. Dia ingat bagaimana dirinya dan teman-teman hanya diam mematung kalau dinasihati Kamituwo, menganggap semua omongannya kosong belaka.

“Dodi!”

“Eh,” Dodi menoleh dan melihat perempuan yang menyebut namanya. “Su-las. Kau dari mana?”

“Dari Pulau Keraci. Saya duluan, ya.”

Dodi cuma mengangguk sambil menatap punggung perempuan itu. Dalam hati dia bertanya, di mana anaknya?

Ditawarkan kue dadar dan kue lapis, seorang bocah menyentakkan Dodi dari lamunan. Anak itu duduk berlama-lama, menatap Dodi seperti orang yang mengamati barang. Kalau diperkirakan anak itu berumur delapan tahun, memakai celana selutut dan baju yang kedodoran.

“Tidak sekolah?”

“Tidak.”

“Kenapa?”

“Soalnya kalau sekolah cuma bikin rugi, bakalan keluar pulau, yang jaga kampung ini siapa? Jadi penjaga kampung, uangnya banyak loh, Pak. Tidak sekolah orang bisa kaya juga. Sekolah sudah jauh-jauh, banyak uang keluar, eh rugi, kata bapak saya.”

“Memangnya sekolah untuk kaya, ya?”

“Lah, memang sekolah untuk apa lagi, Pak?”

“Ya, kalau sekolah bisa membedakan mana baik dan buruk … bisa mikir dengan baik.”

“Yang baik itu kalau makan, yang buruk itu kalau lapar dan tidak bisa makan, kata bapak saya.”

“Dari tadi kamu nyebut-nyebut bapak, bapak, bapak terus. Nama bapakmu siapa?”

“Harun, Pak.”

“Loh, bukannya bapakmu itu kaya?”

“Woaah, Bapak kenal bapak saya? Hebat ‘kan bapak saya, Pak?” kata anak itu sambil menaikkan alis.

Dodi geleng-geleng kepala. Tetapi, mendadak dia memiliki ide mau melakukan apa hari ini. Dia ingin berkunjung ke rumah Harun.

***

“Sudah saya duga, kau akan kemari Dod,” ucap Harun sambil memeluk Dodi seperti kawan lama yang baru bertemu untuk pertama kali. “Hari ini, ayo kita bicara seperti dulu saat mendatangi pulau-pulau kita, Dod.” Dodi berusaha tersenyum meski kelihatannya tetap masam. Sejak kapan pula ada “kita” setelah kata “pulau”.

Panjang-lebar keduanya mempertahankan alasan masing-masing. Dodi mengingatkan Harun bahwa apa yang dilakukannya bersama teman-teman itu tak membawa kebaikan, memang uang bisa dia peroleh begitu juga dengan beberapa penduduk yang lain, tapi mau sampai kapan? Jalan yang ditempuh, toh, tidak halal, alam sudah rusak, moral hancur lebur, tidak ada kebaikan sama sekali. Stigma seperti tidak melanjutkan pendidikan lama kelamaan menjadi ciri khas kehidupan penduduk yang mulanya Dodi pikir tidak akan ada lagi pemikiran seperti itu mengingat dirinya dan beberapa orang yang keluar kampung menimba ilmu dan jadi orang. Tapi, buat apa jadi orang di tempat jauh, sedang tempat asal rusak tak terkira?

Tak ada jalan untuk menyatukan pendapat, hari itu Dodi pulang tanpa hasil. Satu, yang diketahuinya bahwa si Harun meski kedatangannya beberapa hari yang lalu di rumahnya kelihatannya tampak pasif, sesungguhnya dialah pengendali kegiatan di kampung ini. Malah Dodi khawatir kematian Kamituwo dan beberapa penduduk, Harun ikut andil. Dari bahasa tubuh dan pendapat, Dodi tahu betul bahwa Harun memiliki pengaruh yang kuat di sini. Dia teringat percakapan hari itu.

“Ke mana istrimu?”

“Ke pulau.”

“Kerja?”

“Yah, dia kerja, harus kerja. Kalau tidak kerja, tidak makan dia sama anaknya itu.”

“Loh, kau kan suaminya.”

“Iya, saya memang suaminya, tapi ya, masa saya yang habis-habisan kerja, mereka enak-enakan pakai uang, kerjanya cuma jadi penghuni rumah. Ya, saya suruh saja dia kerja. Dia cantik kok, banyak yang suka.”

Ketika mendengar perkataan itu, ingin Dodi segera melompat dan meninju mulut Harun, membuat bibir hitamnya penyok berdarah-darah, tetapi yang dilakukannya malah meninggalkan rumah. Di luar barulah dia mengumpat. “Setaaan! Kampret!”

***

Ini kepulangan Dodi untuk kesekian kalinya. Senyumnya lebar seperti yang sudah-sudah. Sulas yang menunggu di dermaga segera menghampiri tatkala melihat lelaki itu turun dari kapal. Di belakangnya mengikut beberapa warga. Untuk kelima kalinya dalam tahun itu, tarian penyambutan dilakukan lagi oleh para lelaki dan anak-anak. Satu dari kebiasaan penduduk yang dibangkitkan kembali.

Di gapura sebelum memasuki kawasan rumah penduduk tertulis Desa Vasi dalam warna merah putih. Pemekaran dan menjadinya desa mereka wilayah konservasi sumber daya alam memberikan warna baru bagi penduduk. Pemikiran mulai terbuka, kini sudah ada pemimpin, tak lagi ada ketakutan, dan orang-orang tetap berdatangan bahkan lebih banyak. Kenyamanan menjadi milik semua orang.

Desa Vasi bukan hanya melestarikan kepiting langka yang baru ditemukan berkat kerja sama dengan Universitas M, tetapi juga melestarikan budaya-budaya masyarakat dan moral manusianya. Tak ada lagi tebaran sampah organik apalagi anorganik seperti plastik. Di bibir perempuan tak ada lagi merah lipstik. Harun dan teman-teman dibuat tak berkutik.

Kapal Lapak Baca yang pernah diusir mau datang kembali. Saat ini Dodi mengusahakan adanya sekolah di desa mereka, paling tidak sekolah dasar. Dan, untuk pertama kalinya rumah ibadah dibangun.

“Terima kasih, Pak Dog,” ucap Dore yang tak lain adalah anak Harun ketika menerima bingkisan dari Dodi.

Not Dog, but Dod.”

“Dog.”

“Dod!”

“Dog!”

“Dood!”

“Doog!”

“Doood!”

“Dooogsh!” Liur Dore tersembur.

“Aihhh.” Dodi melipir.(*)

 

Maret 2020

Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link bit.ly/AkunNing

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply