Penulis: Hariani, S.Pd.
Kulihat ia menangis, bibir mungilnya bergetar begitu juga lidahnya, bola matanya sampai tak terlihat karena pipinya tertarik ke atas sehingga lengkung bawah matanya menyatu dengan kelopak mata. Kini ia telah dibersihkan. Dokter mengembalikannya lagi kepelukkanku. Aku pun tersenyum melihatnya, tapi di satu sisi ada titik jatuh dari sudut mataku.
Sudah genap satu minggu pasca persalinanku, tidak ada tanda-tanda ayah dari anakku melihat buah hatinya lahir ke dunia ini. Selama itu pula aku tak pernah keluar rumah meskipun untuk keperluan anakku semua itu dibantu oleh orang tuaku. Ia sangat sayang padaku, dengan ikhlas ia merawat bayiku meski ia kecewa dengan semua ini, ada rasa menyesal di hati mengapa dulu aku tidak mendengarkan nasihatnya.
Nasi sudah jadi bubur, itulah yang pantas buat anak yang tidak menuruti perintah dan nasihat orang tua sepertiku. Masih dalam ingatanku betapa sedih dan marahnya orang tuaku ketika dokter memvonisku bahwa aku dalam keadaan hamil. Bak halilintar menyambar wajah orang tuaku ketika saat itu, geram, marah menyatu menjadi satu, “Maafkan aku Ibu. Aku khilaf, Bu,” dengan suara lirih kumohon kepada Ibu.
“Siapa yang melakukannya, Nak?” tanya Ibu kepadaku, dengan isak tangis
“Temanku, Bu,” jawabku, “tapi ia bukan satu sekolah denganku, Bu,” jawabku. Memang kuakui saat itu aku masih duduk di kelas XII di salah satu SMA yang bonafide di kota Lubuklinggau.
Pada akhirnya mau tidak mau aku harus menikah dengannya, dengan proses yang begitu cepat aku pun menikah dengan Andri tanpa dihadiri teman-temanku. Hanya sanak keluarga dan masyarakat sekitar tempat tinggalku saja yang hadir saat itu. Karena aku sadar posisiku saat ini masih berstatus SMA dengan harapan aku dan Andri dapat mengikuti UN yang tinggal menghitung hari.
Setelah pernikahan itu kucoba untuk pergi sekolah seakan tidak terjadi apa-apa, bahkan kumohon, ya Allah, agar peristiwa ini tidak diketahui oleh pihak sekolah. Tapi apa hendak dikata, sepandai-pandai kita menyembunyikan bangkai suatu saat akan diketahui juga. Kepala sekolah dan guru-guruku pun mengetahui apa yang telah terjadi denganku, dengan proses panjang aku pun harus ikhlas berhenti sekolah sebab tak dapat dimungkiri lagi perutku sudak tampak menonjol, tak mungkin rasanya aku untuk melanjutkan sekolahku. Aku berhenti di tengah jalan.
Dengan pelan kuhela napasku meskipun ada rasa sesal di hati karena kebodohanku tidak bisa menahan kejolak cintaku pada Andri.
“Sayang ya Firna, kau harus putus sekolah,” kata Selly, teman sebangkuku.
“Ya, mau apa lagi, mungkin ini sudah nasib,” jawabku dengan suara pelan.
***
Minggu yang cerah, angin pun meniupkan sejuknya, pohon-pohon pun berbisik riang menyanyikan suara alam. Tapi tidak untuk hatiku. Andri yang telah berstatus sebagai suamiku akan meninggalkan aku dengan alasan ia akan kuliah di luar kota, tepatnya kota Bandung yang terkenal dengan kota pelajar.
“Jangan sedih, Sayang,” ucap Andri padaku, “aku akan selalu pulang setiap libur kuliah, doakan saja agar cepat selesai dengan nilai yang baik dan dapat berkumpul kembali denganmu dan anak kita nanti,” dengan lemah lembut ia membelai rambut dan sambil mengecup keningku.
Kring… kring… bunyi ponsel mengejutkan lamunanku. Kulihat di layar ponselku tertulis nama Andri dan secepat kilat kuangkat ponselku.
“Halo, apa kabar, Sayang, apa kamu baik-baik saja?” suara Andri terdengar di seberang sana.
“Ya, Mas,” jawabku, “o ya Mas, anak kita sudah lahir, dia laki-laki, ganteng sepertimu, Mas.” Dengan senyum semringah kuucapkan kabar gembira ini.
“Alhamdulillah, kalau begitu,” jawabnya, “tapi aku belum bisa pulang, Sayang, kesibukan kuliah yang menyita waktuku dan menuntutku biar aku cepat pulang dan kita bisa berkumpul, tidak apa-apakan,” dengan nada lembut ia berkata padaku.
“Ya, Mas tidak apa-apa demi kebahagiaan dan masa depan kita juga nantinya.” Dengan panjang lebar kami bercerita tentang kehidupan dan masa depan.
***
Hari demi hari, minggu pun berganti, bahkan tahun pun telah berganti genap lima tahun sudah Andri yang kutunggu-tunggu tidak kunjung datang. Anakku pun sudah masuk tahun kelima, tidak lama lagi ia pun akan masuk sekolah. Aku sangat malu dengan orang tuaku yang selama ini sudah menanggung kehidupanku dan anakku. Dengan tekad dan ketegaran hati ingin berbicara dengan ibuku dengan maksud untuk pergi menyusul Andri ke Bandung. Bakda Ashar ibuku seperti biasa duduk di teras depan sambil bermain dengan Iqbal anakku.
Dengan suara pelan kuucapkan, ”Bu Firna ingin ke Bandung menyusul Mas Andri.”
”Ada apa, Nak, apa yang terjadi?” jawab ibuku.
“Tidak, ada apa-apa Bu, Firna ingin tahu saja bagaimana keadaan Mas Andri sekarang.”
“Kapan rencana akan berangkat ke Bandung?” tanya Ibu.
“Secepatnya, Bu.”
Beberapa hari kemudian aku dan anakku pun berangkat ke Bandung. Di perjalanan ada kegembiraan terpancar di wajah anakku. ”Ma, kita ketemu Papa, ya Ma?”
“Ya, Nak,” jawabku, “tapi Iqbal tidak boleh nakal ya kalau ketemu Papa nanti!”
“Ya, Ma,” jawab anakku dengan senyum gembiranya.
Sampai di Bandung kami langsung ke rumah kontrakan Mas Andri. Tapi sia-sia saja ketika sampai di kontrakan, Mas Andri sudah tidak tinggal lagi di situ.
“Pindah ke mana ya, Bu, Mas Andri?” kutanyakan kepada yang punya kontakan.
“Kurang tahu juga ya, Nak. Tapi menurut cerita Andri pindah ke alamat ini,” jawab Ibu itu sambil menyodorkan kertas yang berisi alamat Mas Andri padaku.
“Terima kasih ya, Bu,” jawabku dengan suara pelan. Dengan rasa kecewa dan tak menentu, kulangkahkan kakiku menyusuri sepanjang jalan dan kutatap langit mendung bertanda akan hujan.
“Ma, mengapa kita pulang ? Mana Papa, Ma?” tanya anakku.
“Papa sudah pindah dari sini, Nak,” jawabku, dengan suara pelah kemudian kucium pipinya agar kekhawatiran tidak tampak di wajahku. “Ya, sudahlah, nanti kita cari lagi alamatnya, sekarang kita cari penginapan dulu karena hari sudah sore ya, Nak,” dengan lembut dan kesabaran kukatakan pada Iqbal anakku.
Keessokan harinya kami lanjutkan kembali mencari alamat Mas Andri sesuai dengan petunjuk ibu di mana tempat Mas Andri tinggal dulu. Dengan langkah terayun-ayun kami selusuri sepanjang jalan, tepat di perempatan jalan langkahku terhenti.
”Sepertinya ini rumahnya, tapi rasanya tidak mungkin rumahnya begitu besar, dari mana Mas Andri mendapatkan uang untuk mengontrak rumah sebesar ini?” tanyaku dalam hati. Lalu kulihat kembali nomor rumahnya persis nomor 23 yang tertera di kertas alamat yang kupegang. Dengan perasaan lega namun penuh dengan keraguan kucoba masuk ke rumah tersebut.
“Assalamualaikum…”
“Waalaikumsalam.” Tak lama kemudian pintu dibuka, terlihat seorang wanita cantik, anggun sekali dengan baju warna kuning telur dengan jilbab yang senada. “Cari siapa ya, Mbak?”
“Mau… mau… tanya, Dek. Apakah alamat ini betul?” Sambil kuserahkan secarik kertas yang berisi alamat Mas Andri.
“Betul,” jawabnya, “O… cari Mas Andri ya?”
“Ya, Dek,” jawabku.
“Mas… Mas!”
“Ya, ada apa, sebentar!” suara dari dalam rumah.
“Ini ada yang cari Mas,” jawabnya.
“Dek… kalau boleh tanya Adek ini siapanya, Mas Andri?”
“O… saya istrinya.”
“Oh maaf ya Dek, mungkin saya salah orang, saya mau mencari suami saya mungkin namanya saja yang sama. Maaf ya Dek. Kalau begitu saya permisi dulu ya Dek, sekali lagi saya minta maaf.”
“O… tidak apa-apa,” jawabnya.
Baru beberapa langkah aku meninggalkan rumah itu terdengar suara, ”Siapa yang cari, Sayang,” dengan spontan kutolehkan wajahku ke suara itu.
Daaaar! Seperti ada petir yang menyambar tubuhku, wajahku memerah, hatiku bergemuruh. Dengan tatapan nanar kupandang sosok laki-laki itu yang berdiri di samping wanita itu.
“Mbak, Mbak, apa betul Mas Andri ini yang Mbak cari.”
“Bukan,” dengan suara serak kujawab. “Aku tidak mengenal laki-laki ini.” Dengan linangan air mata aku langsung lari meninggalkan mereka.
“Firna… Firna….” Andri memanggilku, lalu kuhentikan langkahku.
“Firna… Maafkan aku, nanti aku jelaskan.”
“Tidak perlu dijelaskan lagi, Mas,” jawabku. Dengan perasaan hancur kutinggalkan Mas Andri lalu aku pulang ke Lubuklinggau dengan perasaan hancur.
Sejak itu aku bertekad, aku harus berhasil dan sukses demi anakku Iqbal dan pelan-palan aku harus mengikhlaskan semua ini. Biarlah hanya Tuhan yang tahu. Mudah-mudahan pengalaman ini akan menjadi pembelajaran bagiku untuk melangkah ke depan dengan lebih baik lagi.(*)
Lubuklinggau, 9 Januari 2017
Hariani, S.Pd., bertugas di MA Negeri I (Model) Lubuklinggau. Pada tahun 2015, penulis memberanikan diri untuk menerbitkan karya tunggal berjudul Peluk Aku Tuhan (bennyinstitute).
Email: hariani79@yahoo.co.id, FB: Hariani Spd