Keping Musim Semi
Oleh : Devin Elysia Dhywinanda
Salju turun setinggi tiga sentimeter di depan gedung apartemenku. Udara tambah beku. Bangku taman lamat-lamat berubah jadi es. Orang-orang tidak lagi melalui jalan tak beraspal yang tertutup sempurna oleh salju. Namun, kamu malah duduk di bangku taman yang menjerit diterpa angin utara, mengasingkan diri dari kehangatan yang didamba banyak orang.
Kamu bersikeras masuk alih-alih duduk diam di tempat berbau obat itu. Saat sekali lagi kuminta untuk berhenti, kamu malah memperhatikan bunga ‘snowdrop‘ sembari berkata, “Aku tidak akan mati oleh udara dingin.”
Aku menggigit bibir. “Aku tahu. Tetapi, kamu memang berniat mati di sini, ‘kan?”
*
Kita bertemu dua tahun lalu, setahun setelah kuputuskan hidup terpisah dari orangtuaku yang menyerah membiayai sekolah tiga kepala pelajar. Musim dingin. Apartemen berbau busuk yang setiap hari ditagih biaya sewanya oleh sang pemilik. Buku pelajaran yang tidak lengkap lantaran menunggak uang sekolah. Menu diet yang tiba-tiba jadi alternatif lantaran uang kerja sambilan sengaja kutabung untuk memenuhi kebutuhan lain. Omelan orang-orang dewasa yang mencapku tidak serius sekolah lantaran kedapatan tidur di jam-jam tertentu.
Aku masih enam belas tahun, siswa tingkat pertama sekolah lanjutan. Seraya melihat tetangga sebelah yang selalu pulang menjelang subuh, aku mengamini bahwa dunia bawah itu keras. Menuntut. Memaksa buat menjadi bajingan. Kau bisa merangkak dengan menjadi pelayan di kafe kecil atau kasir ‘shift‘ malam di ‘minimarket’ terdekat, pekerjaan ‘sebersih’ itu tidak lagi cukup ketika kau berhadapan dengan kota sebesar ini.
Aku memasuki tempat itu dengan tubuh bergetar. Dunia malam bukan lagi hal tabu di negara kami, tetapi tetap saja tempat ini mengerikan—terutama pria berjenggot yang berbicara dengan aksen Daegu. Kuputari bangunan segienam yang amat bising tersebut sembari berharap cemas tidak tertangkap si Aksen Daegu. Kutemui seseorang berkaca mata kotak, berbincang sebentar, membuat kesepakatan. Tatkala akhirnya manik obsidian itu menyiratkan persetujuan, tiba-tiba saja perutku mual dan aku sudah berlari keluar lewat pintu sebelah barat.
Telur rebus yang kumakan tadi siang raib. Aku merutuk. Saat itulah, kamu datang memakai jaket berwarna hitam. Impresi pertamaku adalah pemuda pendek bermata tajam dengan gaya rambut normal. Kamu bersikap biasa kendati telah kupandang sebagai orang aneh. Malah, ketika aku hendak kembali, kamu bertanya, “Kamu betulan mau kembali ke tempat itu?” Aku berhenti melangkah. “Kalau memang tidak ingin, tidak usah dilakukan, daripada malah berlagak sebagai pihak terluka dan menyalahkan nasib yang sudah ada.”
Aku mendengus, merasa tersindir. “Memang, kamu tahu apa tentang hidup? Tahu apa soal uang? Tahu apa soal mereka yang tidak punya apa-apa untuk bertahan di dunia ini?” Aku mendekat. “Hidup bukan hanya perkara menjadi idealis apalagi sok suci! Semua orang butuh uang untuk makan, sekolah, bukan hanya omong kosong dari penipu yang merasa dia tahu segalanya!”
Ada suara tempat sampah yang jatuh dari ujung gang tatkala kamu mengatakan hal tidak terduga, “Kalau begitu, ayo mati bersama.” Aku membatu. “Tidak usah memikirkan uang. Tidak usah repot mencari makan, apalagi sekolah. Tinggal tidur saja. Tubuhmu jadi milik tanah, milik algojo akhirat yang ditugaskan Tuhan, bukan milik ‘dunia’ yang selalu menuntut banyak hal.”
Aku mengepalkan tangan, ingin membalas, tetapi kamu melanjutkan, “Tidak usah berlagak sok suci dengan mengatakan aku tidak tahu apa-apa atau bunuh diri adalah salah satu ciri pendosa. Kalau memang tidak bisa menghargai, lebih baik mati saja daripada jadi kumpulan penggerutu di dunia ini.”
Aku menahan napas. Dadaku sejemang terasa sesak, terlebih ketika kamu bertanya jenaka, “Ayo, kamu mau mati, ‘kan?”
Malam bersuhu -3°C, aku berjongkok sambil menangis keras, menyadari bahwa aku memang menginginkan hidup yang normal. Malam itu, aku mengetahui sedikit profilmu yang merupakan pasien abadi di rumah sakit kota ini. Malam itu, aku tidur dan berjanji untuk menjadi sedikit sok suci. Malam itu, kita menjadi dekat dan saling memahami.
Namun, aku baru mengetahui bahwa kamu tidak berniat menyelamatkanku. Sama sekali. Kamu memang betulan mau mati. Oleh karena itu, kamu memilih menyiksa diri di bawah salju, menghitung detik hidupmu yang tidak kunjung selesai kendati sembilan belas tahun telah berlalu.
*
‘Kamu tidak diharapkan’. Entah sudah berapa kali kalimat itu terucap dari bibir tipismu. Mendengarnya serupa merunut kronik hidupmu yang sejak bayi berada di panti asuhan. Ada gunjingan, sorot mata, serta perlakuan berbeda yang kamu rasakan, tetapi kamu mengabaikannya sebab masih ada beberapa lain di tempat serupa. Di usia ke-lima belas, ketika kecelakaan dan membutuhkan transfusi darah, barulah kamu menyadari apa yang kamu bawa selama lima belas tahun ini.
Kamu adalah sosok yang amat rapuh.
“Asosiasi ODHA[1] bersedia membantuku, tetapi tetap saja semua berbeda. Perawat itu menunjukkan ekspresi lelah. ‘Teman-temanmu’ tiba-tiba saja menjauh. Pemilik panti sesekali menggerutu di balik pintu kamar. Atmosfer lingkungan seketika menyuruhmu untuk mati daripada menularkan itu ke orang lain sebab, toh, tidak akan ada yang menikah denganku.” Tidak ada yang benar-benar tulus di dunia ini, sebab aku pun merasa jijik usai kau menceritakan hal itu. Tetapi, kini berbeda.
Aku menundukkan kepala, enggan melihatmu yang, kuprediksi, tengah melihat danau kecil yang airnya membeku. “Aku terbiasa sendirian, tetapi penolakan adalah perkara berbeda.” Dari ekor mataku, kulihat kamu tengah mengepalkan tangan. “Kalau tidak bertemu denganmu, aku sudah menularkan virus ini ke dunia. Biar aku tidak sendiri. Biar ada orang lain yang ditolak selain aku.”
Namun, kamu tidak bisa—aku tahu hal itu. Salju tidak pernah memaksa untuk turun di gurun pasir. Kamu hanya mengajak mereka yang sepemikiran denganmu … aku, salah satunya.
Akan tetapi, aku pun punya perspektif berbeda denganmu mengenai hal ini.
“Tuhan menakdirkanku untuk pergi, jadi aku akan menurutinya.”
*
Kamu tidak pernah menyalahkan takdir dan justru mengikutinya seperti air yang mengalir. Kamu tidak pernah membantah. Jika memang orang-orang itu memintamu pergi, kamu akan pergi. Jika dunia merasa kamulah makhluk tidak berguna, maka dengan senang hati kamu bakal menghilang.
Katamu, kamu ingin menguap seumpama es diterpa sinar mentari. Pun, kamu mau gugur seperti daun maple yang jatuh tiap musim gugur bertandang di kota ini. “Ingin menghilang,” katamu tenang, seolah itu adalah kata sederhana yang dapat dilupakan usai diucapkan. Akan tetapi, aku membantah. Kukepalkan tangan sembari menundukkan kepala, mati-matian menahan air mata yang berdesakan meminta keluar.
“Kamu pantas untuk hidup,” kataku pelan.
Kamu menatapku yang berdiri di hadapanmu, lalu tertawa canggung. “Jangan menilai apa yang tidak kamu ketahui. Aku yang paling tahu takdirku sendiri.”
Aku menarik napas, menenangkan diri, mengingatmu yang selalu mangkir saat diminta minum antiretroviral[2]; yang pernah kupergoki membeli satu puntung rokok karena penasaran oleh rasanya; yang terus duduk di taman agar bisa terkena influenza.
Kamu selalu begitu. Terlalu menurut. Terlampau manut. Sangat keras kepala. Tidakkah kamu menyadarinya?
“Aku tahu, aku tahu … aku hanya jujur pada perasaanku. Aku tidak memaksamu mendengarkan, hanya ingin memberi tahu bahwa bajingan ini mengakuimu sebagai ‘manusia’.” Aku memandang manik jelagamu lurus. Tulus. “Kamu menemukanku, jadi aku pasti akan kembali menemukanmu.”
Kamu bungkam.
“Terserah mau melakukan apa, berkata apa, berpikir apa … Aku pasti ada di sisimu. Menyelamatkanmu, sama sepertimu yang menyelamatkanku dulu.”
Kamu terdiam, lalu tertawa amat keras. Salju jatuh dari pohon pinus seberang jalan dan, tiba-tiba, kamu meraih tanganku, persis seperti anak kecil.
“Waktu itu, aku cuma mencari teman bunuh diri yang asyik. Tidak tahunya malah orang itu yang memaksaku untuk tetap hidup,” ungkapmu jenaka, mengabaikanku yang membatu oleh tangan besar bersuhu rendah tersebut.
Beberapa sekon kemudian, kamu menengadah, memandangku dengan mata sipit yang sudah sembab. “Apa pendapatmu kalau aku memilih hidup sekali lagi?”
*
Musim panas waktu itu, ketika pantai penuh sesak oleh pengunjung dan warna biru samudra terpantulkan sempurna hingga sanggup kita lihat dari balik jendela berkorden putih, baritonmu terdengar pelan, seolah takut didengar orang lain, “Kadang, seseorang menyerah bukan karena ia kalah, melainkan karena memang waktunya menyerah.”
Kamu memakan apel yang baru kupotong. Tenang, seperti biasa, padahal jariku nyaris tergores pisau buah.
“Park, apa menurutmu aku menderita? Atau justru bahagia? Apakah aku marah pada Tuhan? Atau justru menerima apa yang Dia berikan?” Wajahmu berubah menjadi bocah ketika melihat keramaian di luar rumah sakit. “Kau tidak dapat mengetahuinya, ‘kan? Hanya aku yang tahu benar perasaanku sendiri.”
“Kelak, salju akan mencair. Musim dingin angkat kaki. Bunga sakura mekar dan memenuhi jalanan dengan warna merah muda. Musim semi datang, tetapi bukan berarti salju menghilang. Ia hanya hadir dalam wujud berbeda.” Ia memandangku lembut. “Ketika momen itu datang, kuharap kamu memahaminya, Park.”
Saat itu, aku mati-matian tersenyum—sama seperti hari ini, ketika keping salju terakhir cair dan kuncup pertama mekar dibawa angin dingin warisan musim sebelumnya. Bangku taman lembab. Jalan tak beraspal mulai dilalui orang-orang. Danau kecil itu dipenuhi teratai.
Ruanganmu sempurna senyap. Lemari penuh guci itu mendapat satu penghuni tetap. Lalu, bersama harum sari bunga yang kuhirup perlahan, kamu hadir menjadi keping musim semi ini … dalam wujud berbeda.(*)
Note :
[1] Sebutan untuk penderita HIV/AIDS.
[2] Obat yang berfungsi untuk menghambat virus. Biasanya diberikan kepada ODHA.
*
Devin Elysia Dhywinanda, merupakan hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang menetas tanggal 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita