Kepergian Ibu

Oleh : Fitri Hana

 

Aku berusaha menahan keseimbangan tubuh saat sampan yang kudayung menabrak tiang-tiang penyangga gubuk-gubuk yang berdiri di atas perairan. Adikku yang berdiri di sisi lain pun beberapa kali jatuh terduduk lalu segera berpegangan pada pinggir sampan.

“Kak … ini sudah berulang kali. Berhati-hatilah,” ucapnya seolah aku tidak berhati-hati.

Sungai yang kami lalui tidak terlalu lebar. Tapi berkelok beberapa kali. Gubuk-gubuk yang dibangun tidak beraturan menambah sulit pergerakan sampannya. Dua gubuk di sisi kiri, lalu dua gubuk di kanan depan. Belum lagi pinggir-pinggir sungai yang mulai dangkal sampai-sampai rerumputan tumbuh dengan lebat. Menyisakan lebar sungai sekitar 1 – 1.5 meter saja.

Ini kali kedua aku terpaksa mendayung sampan di sini. Menyusuri jalur yang tidak mudah bagi anak usia dua belas tahun. Aku terpaksa mengajak adikku yang berusia tujuh tahun itu agar rengekannya berhenti.

Tiga hari yang lalu, seorang tetangga mengetuk pintu rumah kami. “Aku melihat ibumu ada di gubuk di sungai itu,” ucapnya setengah berbisik sambil menunduk menyejajariku. Sayangnya ia tidak melihat kalau adikku tengah menempel di belakangku. Sehingga ia pun mendengarnya.

“Apa, Paman? Gubuk yang mana? Gubuk yang mana yang ada ibuku? Yang mana, Paman?” tanyanya berulang-ulang sambil menarik-narik baju tetanggaku itu.

Dia terkejut. Lalu mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada sebagai permohonan maaf.

Akibatnya setiap pagi seusai membuat sarapan, aku kembali ke sana. Mengayuh sampan menyusuri jejak ibuku. Entah bayangan itu betulan ibuku atau hanya seseorang yang mirip ibu, aku belum menemukan jawabannya.

Jarak antara pemukiman sungai ini dengan rumahku hanya dua kilometer saja. Aku mengayuh sepeda dari rumah sampai ke sini. Lalu meminjam sampan dari penduduk setempat untuk mengecek puluhan gubuk yang berdiri di atas sungai.

“Kak, lihat di sana. Itu pasti Ibu, Kak.” Ken, adikku menunjuk-nunjuk gubuk yang ada di depan. Seorang perempuan mengenakan daster berwarna hijau tampak berdiri di depan pintu.

Aku mempercepat dayunganku. Aku setengah tidak percaya dengan apa yang kami lihat. Aku tetap berharap itu bukan ibu.

Ken buru-buru menaiki tangga rumah saat sampan sudah sampai di bawah gubuk yang tadi kami lihat ada sosok mirip ibu.

“Ibu … Ibu ….”

Oh, dasar Ken!

“Diamlah, Ken. Belum tentu dia Ibu. Jangan bikin keributan,” ucapku sambil menarik lengannya agar ia mengendalikan diri.

Seorang perempuan keluar dari pintu yang terbuka. Perempuan yang mengenakan daster tadi. Perempuan dengan rambut ikal kemerahannya. Yang dulu rambutnya masih sebahu sekarang sudah panjang hampir menyentuh pinggang. Hanya saja tubuhnya lebih kurus sekarang. Dia ibu. Ibu kami.

“Ibu ….” ucapku dengan suara yang hampir hilang. Tenggorokanku tersekat.

Ken sudah berhambur memeluk Ibu.

Ibu mamatung.

Biasanya saat dipeluk Ken ibu akan berlutut agar sejajar dengannya, kali ini Ibu bergeming. Tinggi Ken sudah hampir mencapai dadanya. Ibu memandang kami bergantian. Matanya berkaca-kaca.

“Sudah, Ken …,” ucap Ibu sambil mendorong bahu Ken. “Kalian … kenapa ke sini?”

“Aku merindukan Ibu,” jawab Ken dengan mata menatap iba pada Ibu.

Ibu menunduk, menatap lantai kayu rumah.

“Ibu … kenapa tinggal di sini? Ayo pulang. Sekarang Ken sudah kelas dua, Bu. Ken tidak perlu ditunggui lagi seperti dulu. Ken sudah pintar, Bu. Ken berani sekolah sendiri.”

Setetes, dua tetes, tiga tetes. Papan kayu di bawah ibu basah. Ibu mendongak lalu mengusap air matanya. Pipi kanannya lebam. Matanya juga menghitam.

“Tidak bisa, Ken. Kalian pulanglah. Pram, ajak adikmu pulang,” ucap Ibu sambil berbalik ke arah pintu. Ken menarik lengan Ibu, membuat langkahnya terhenti.

“Siapa itu, Ella? Tamu?” seorang lelaki bertubuh besar muncul di pintu.

“Salah alamat,” jawab Ibu sambil menyelinap masuk lewat samping lelaki itu.

“Nyari siapa kalian?” Pria dengan kumis lebat tak beraturan itu menatap tajam ke arahku.

Ken mundur, menggenggam tanganku erat, lalu berbalik menyembunyikan wajahnya di belakangku.

“Kami salah orang. Kami pamit,” ucapku sambil menunduk lalu pergi menuruni tangga rumah dengan tergesa-gesa.

“Ibu sudah pergi, Ken. Ibu sudah mati,” ucapku sambil mengayuh sampan. Ken menangis. Ia duduk memeluk lututnya.

***

Klaten, 16 Desember ’21

Fitri Hana, seorang ibu yang memaksakan diri untuk menulis. Mengisahkan kegelisahannya. Menguraikan kepenatan pikirannya.

***

Editor : Rinanda Tesniana

Gambar : https://pin.it/HO8TLb8r

Grup FB KCLK

Halaman FB kami

Pengurus dan kontributor

Mengirim/menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply