Kepergian Ayah
Oleh : Ning Kurniati
Sudah dua minggu Ayah pergi dan ia belum kembali-kembali juga. Berkali-kali saya tanyakan pada Ibu kapan Ayah pulang, tapi ia bilang, “Yang sabar ya, Nak. Sebentar lagi Ayah akan pulang membawa kue manis kesukaanmu. Donat kali, ya.” Sebenarnya saya tidak bisa terima, kok, disuruh bersabar terus sih, kan capek. Karena tetap saja Ayah tak datang-datang dan tak pernah menelepon juga.
Di rumah hanya ada saya dan Ibu. Setiap pagi Ibu akan membangunkan saya dan menyuruh untuk mandi dan sarapan. Kadang-kadang ia masih menggunakan mukena kadang juga dalam pakaian lengkap siap untuk bepergian. Namun dalam pakaian apa pun Ibu, ia selalu muncul di hadapan saya dengan senyum dan pelukannya yang hangat.
“Aku sayang Ibu.”
“Ibu sayang juga sama Alia.”
Saya masih belum sekolah. Kata Ibu, tahun depan, ya. Ya, Ibu selalu berjanji dengan tutupan itu. Seperti pagi ini, jangan nakal, ya. Nanti Ibu pulang bawakan Alia makanan. Ia mengecup pipi anaknya lalu menutup rumah dengan saya sebagai penjaga rumah. Saya sendiri. Lagi.
Sebenarnya Ayah memang jarang pulang. Tapi biasanya bepergiannya hanya sebentar dan pulang dengan makanan yang banyak. Ada donat, roti, wafer, cokelat, pokoknya banyak. Kadang-kadang juga Ibu membuat makanan tandingan seperti kue bolu. Lalu, mereka berdua akan bertanya makanan siapa yang paling enak, Ayah atau Ibu? Dan saya akan menjawab bahwa semua makanan bila itu datangnya dari Ibu atau Ayah pastilah enak karena semuanya manis. Saya suka makanan manis.
Ayah memiliki badan yang tinggi dan putih. Ia seperti pemain film India yang sering kami tonton di sore hari setiap hari Ahad. Dan Ayah punya banyak bulu-bulu di dagu yang memanjang sampai ke telinga dan juga hidung yang mancung. Kata Ibu, hidung yang saya miliki pesek sepertinya. Padahal saya ingin sekali mirip Ayah agar saya bisa menjadi artis India. Tapi Ibu bilang bahwa saya tidak bisa menjadi artis India karena tinggal di Indonesia. Kalau mau jadi artis, ya harus artis Indonesia.
***
Di rumah bila sendirian saya senang sekali membayangkan sesuatu. Seperti saya punya teman anak laki-laki. Namanya Gela. Ia selalu mengusulkan banyak permainan seperti lomba lari dalam rumah, menyusun buku-buku jadi rumah para peri, dan jadi artis dengan peran yang macam-macam.
Seperti hari ini saya akan berperan menjadi peri yang mati karena dibunuh oleh monster. Gela yang menjadi monsternya. Ia berpakaian buruk sekali. Kotoran ada di sekujur tubuhnya. Bajunya banyak yang robek-robek dan pada tangannya ada pengait. Gela berubah tidak seperti yang saya kenal. Tubuhnya tiba-tiba menjadi seperti orang dewasa. Badannya menjadi bau seperti bau makanan yang tertinggal pada piring yang tidak dicuci selama berhari-hari. Tidak, lebih dari itu. Pokoknya ia bau sekali.
Saya bertanya sejak kapan kamu menjadi berbau begini. Sebelumnya meski menjadi apa pun, ia tidak pernah berbau. Gela tidak menjawab dan ia menatap saya lebih lama dari biasanya. Saya ingin berteriak jangan-jangan Gela mau membunuh saya. Benar-benar membunuh, tidak bohongan. Tetapi ia membawa jari telunjuknya ke mulut. Oh, itu pertanda diam. Jadi saya diam.
“Apa bermain peri dan monster kita tidak boleh berbicara?”
“Ushhh.” Kembali Gela meminta diam.
Gela, teman saya yang berubah itu bergerak ke kamar Ibu. Ia masuk ke sana dan keluar setelah beberapa lama saya menunggu. Loh, ia tidak seperti monster lagi. Ia keluar dengan sesuatu dalam karung yang dibawanya tadi dan ia tidak berbau busuk justru harum.
Ia tersenyum. Dan aku juga tersenyum.
“Kenapa kau tiba-tiba menjadi besar begini, Gela?”
“Saya sudah lama besar seperti ini.”
“Oh, ya? Tetapi kemarin ketika kita bermain kau masih sebesar saya. Bukankah kita teman dan teman itu bukankah selalu sama besar?”
“Yah, kadang-kadang seperti itu. Tetapi boleh juga orang besar dan orang kecil berteman dan bermain bersama.”
“Ooh. Kalau begitu ayo kita lanjutkan main peri dan monster.”
“Ooh, saya tidak bisa. Saya harus pergi.”
“Kenapa pergi?”
“Karena memang sudah seharusnya saya pergi. Terima kasih.”
“Sama-sama, eh ….”
Gela kembali melompat sama seperti ketika ia datang tadi. Ooh, saya tahu. Untuk mengubah Gela menjadi seperti dulu, saya tinggal menutup mata. Memang seperti itu kan selama ini. Ketika saya menutup mata, maka saya bisa mengubahnya sama seperti tadi juga. Ia berubah menjadi orang dewasa. Dan yah, Gela datang kembali dan seperti dulu lagi. Sama besar seperti saya. Saya tersenyum dan ia tersenyum juga. Tapi karena capek jadi saya tidur saja dulu. Main dengan Gela kapan-kapan saja, yang penting ia sudah kecil lagi. Saya tidak suka bermain dengan orang besar. Orang besar adalah Ibu dan Ayah. Kata Ibu, orang besar di luar sana banyak yang jahat. Saya tidak mau Gela menjadi seperti itu.
***
Ibu marah besar. Matanya melotot dan ia berbicara sangat cepat. Satu hal yang saya bisa mengerti, saya bersalah.
“Siapa yang masuk ke rumah?”
Saya tidak tahu harus menjawab apa. Tidak mungkin saya bilang Gela. Gela tidak kenal Ibu. Sebaliknya Ibu tidak kenal Gela.
“Siapa yang masuk?”
“Tidak tahu.”
“Mungkin Ayah yang datang ketika saya tidur, Bu.”
“Tidak mungkin. Ayahmu sudah mati.”
“Ma-ti … Ayah mati seperti orang dalam televisi itu. Ia tidak bisa bergerak dan dimasukkan ke dalam tanah.”
Ibu memeluk saya. Lama, lama sekali. Dan saya tidak tahu harus berbuat apa. Ibu menangis dan saya ikut menangis.
“Jadi Alia benar-benar tidak tahu yang datang melewati jendela itu. Pasti lewat situ, malingnya. Ibu yang salah, lupa mengunci ketika pergi.”
“Maling. Apa itu Maling, Bu? Apa dia yang membawa Ayah pergi? Jadi, Ayah tidak bisa datang lagi?”
“Maling, maling itu seorang pencuri. Dia mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Bukan maling yang membawa Ayah. Tapi, wanita itu. Bukan. Maksud Ibu adalah … sudah waktunya Ayah pergi.”
Jadi, Ayah sudah pergi?(*)
Ning Kurniati, manusia yang lebih banyak memiliki kebingungan ketimbang pemahaman akan suatu hal. Memiliki mimpi yang terus bertambah-tambah. Mimpi itu akan berhenti ketika oksigen sudah enggan memasuki indra pernapasannya.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata