Kepala Paling Berisik
Oleh: Erien
Risih sekali aku tiap bertemu dengan Sahuri meski rumah kami berseberangan. Kepalanya adalah kepala paling berisik yang pernah aku temui. Saking berisiknya kadang aku bisa mendengar dari teras rumahku. Sering pula aku menghindar jika berpapasan di depan warung ibunya. Atau, jika sudah tidak bisa menghindar, aku menutup telinga sambil berjalan cepat melewatinya. Itu membuat Sahuri menatapku dengan aneh hingga kepalanya yang makin berisik memutar mengikutiku. Padahal, dia pendiam karena tidak semua orang paham apa yang Sahuri katakan. Lidah pendek dan bibir sumbingnya membuat banyak kosakata terdengar tidak jelas dan seringkali jauh berbeda dari artinya. Kematian ibunya sehari setelah ulang tahunnya ke dua puluh tiga jadi sebab kepala Sahuri adalah kepala paling berisik bagiku. Itu sudah setahun lalu.
Dulu, kepalanya tidak seberisik ini. Pikiran-pikiran di dalam otak Sahuri hanya berputar sekitar: harus memberi makan ayam, menyapu halaman warung sebelum pukul delapan pagi, membantu ibunya membuka dan menutup warung, mengepel rumah sebelum bapaknya pulang ngojek. Sudah, itu saja.
Sejak ibunya tiada, tidak ada yang tertata dalam pikiran Sahuri. Aku mendengar lebih banyak teriakan dan pertanyaan. Pikiran yang dahulu keluar dengan tenang beraturan dari kepalanya sekarang seperti suara emak-emak berkelahi memperebutkan sebungkus bawang merah yang harganya naik dengan stok menipis. Semua ingin diperhatikan, dimenangkan. Bisa kulihat Sahuri terkadang memukul kepalanya agar tidak terlalu berisik. Seringkali berhasil. Pikiran-pikirannya diam meski hanya sampai pusing di kepalanya hilang.
Sore kemarin, aku melihat Sahuri duduk diam di depan warungnya. Warung itu semakin sepi sejak dikelola sendiri oleh Sahuri. Bukan hanya sepi pembeli, barang dagangannya pun ikut sepi, tidak bertambah lagi. Tetangga jarang yang datang ke sana. Bagaimana tidak, banyak barang yang sudah tidak layak jual. Terigu berkutu, mi instan kadaluarsa, penyedap rasa menggumpal, telur busuk, saus yang berubah warna, itu yang pernah aku beli, membuatku dimarahi ibu dan harus pergi lagi ke warung lain.
“Kenapa?!”
“Apa sal–?”
“Nanti gimana ak–.”
“Aaargh!”
“Haah!”
Kepala Sahuri mulai berisik lagi. Kemarin kudengar bapak Sahuri membawa istri mudanya dan menyuruh Sahuri pergi. Rumahnya akan dijual. Bahkan, bapak Sahuri sudah memasang spanduk dan mencantumkan kata “jual cepat”. Itu bisa berarti bapaknya sangat butuh uang.
Entah kenapa aku merasa harus mendekatinya. Sahuri dulu temanku, dulu sekali waktu aku masih tujuh tahun dan dia delapan tahun. Kami menjauh setelah banyak temanku tidak suka bermain dengan Sahuri karena bibirnya. Alih-alih mengikuti kata hati, aku memilih menuruti teman-temanku. Melihatnya sendiri seperti sekarang ini, membuatku sedikit merasa bersalah. Sedikit saja, karena aku masih merasa aku berhak memilih siapa yang jadi temanku.
“Ri.”
Sahuri yang menunduk mengangkat wajahnya. Bibirnya masih sumbing. Kepalanya masih berisik dan telingaku jadi agak sakit mendengar teriakan dan pertanyaan yang tidak berhenti. Kaus putihnya lusuh dan celananya kusut. Rambut Sahuri sedikit gondrong. Dia agak kurus. Dan .. bau.
“Oi.” Sahuri tersenyum.
“Lu nggak apa-apa?”
Sahuri masih tersenyum. Namun, suara-suara di kepalanya mulai lirih. Kemudian, kepalanya menggeleng-geleng dan kembali tertunduk.
Aku bingung. Kulirik lemari pendingin. Ada beberapa minuman kaleng tersisa. Mungkin itu belum kadaluarsa. Aku mengambil dua dan memeriksa. Aman.
“Ntar gue bayar.” Kusodorkan kaleng yang sudah terbuka kepada Sahuri.
Dia melirik lalu menerima kaleng minuman dan segera meneguknya. Setelah itu, Sahuri bergumam dengan mata kosong menatap jalan. Sungguh, aku tidak mengerti apa yang dia katakan. Namun, tidak mungkin juga aku bertanya atau menyuruh Sahuri mengulangi perkataannya. Sialnya, Sahuri tidak mengenal baca tulis. Jadi aku tidak bisa pula menyuruhnya menulis apa yang dia katakan. Yang kulakukan sekarang hanya duduk di sampingnya, sedikit berjarak karena aku tidak tahan bau badannya, sambil sesekali meneguk minuman bersoda yang sebenarnya aku tidak suka.
Sahuri tiba-tiba berhenti menggumam. Dia menoleh ke arahku. Aku kaget dan berusaha cuek. Kuanggukkan kepala, seolah-olah paham apa yang dia katakan sedari tadi. Kuteguk kembali minumanku untuk menyamarkan rasa kaget.
Sambil menatapku, Sahuri kembali mengeluarkan suara. Kali ini terdengar lebih cepat. Tangannya bergerak-gerak. Suara Sahuri bertumpang tindih dengan berisik kepalanya. Aku tidak bisa menangkap apa yang Sahuri dan kepalanya katakan.
Telingaku sakit.
Tiba-tiba, Sahuri berteriak tepat di depan wajahku. “Aarrgh!!”
Sekali.
Dua kali.
Tiga kali.
“Diem!!! Berisik banget mulut lu, Ri! Sama kayak kepala lu!”
Sahuri diam.
Aku berdiri, merogoh saku mengeluarkan selembar uang berwarna biru dengan cepat lalu menyerahkannya ke Sahuri. Kemudian, tanpa menunggu kembalian karena aku tidak tahan dengan berisiknya Sahuri dan baunya, aku menyeberang jalan, pulang ke rumah.
Subuh ini, kulihat lampu di depan warung Sahuri masih menyala. Pintu geser warung pun masih terbuka. Sahuri masih duduk di depan warung. Dia masih memegang kaleng minuman. Kaus dan celananya masih sama. Kepalanya masih menunduk dan beri–.
Eh. Kepalanya diam. Kosong. Hening.
Tamat.
Kotabaru, 26 November 2024
Erien. Saya.