Kepala dan Pecahan Kaca di Dalamnya
Oleh: Jeevita
Editor: Inu Yana
Lidi yang patah, kunyahan es batu, es krim beku di dalam kepala, nyanyian putri duyung yang membawa kesengsaraan ….
Aku kembali terjaga dengan rasa sakit di kepala yang membuat telinga terasa berdenging. Kulirik jam kecil merah muda di pergelangan. Masih pukul dua. Sambil berdecak kesal, aku menyibak selimut dan cepat-cepat bangun, mendekat ke jendela kamar.
Jendela ini memang sengaja tak diberi tirai supaya pemandangan pepohonan pinus di luar sana bisa terlihat jelas. Aku suka melihat pepohonan ketika pagi, bahkan juga saat matahari belum terbit seperti sekarang. Semuanya gelap. Pepohonan itu seperti ditelan monster.
Perlahan, aku membuka kaca jendela lantas sedikit memajukan kepala ke luar jendela supaya bisa merasakan embusan angin yang terasa begitu menyejukkan.
Aku memejamkan mata, beberapa detik kemudian kepalaku dihantam benda tumpul dari atas—entah benda apa itu, hingga akhirnya kepalaku terlepas dari lehernya, dan jatuh ke luar, tepat di antara tanaman bunga cepiring putih. Darah berwarna hitam berceceran ke mana-mana. Bau amisnya benar-benar membuat perut terasa mual.
Ah, entah sudah yang keberapa kali dalam satu bulan ini aku mengalami hal serupa. Sampai akhirnya aku benar-benar kesal. Bukan kesal karena harus mengembalikan kepala ke posisi semula, tetapi karena harus membersihkan darah hitam berbau menyengat itu. Jika tidak kubersihkan sesegera mungkin … aku khawatir orang-orang akan tahu tentang kepalaku yang terlepas. Dan mereka pasti akan membuangku ke lautan nantinya.
Sama seperti tetangga kamar indekosku, Alina, yang juga dibuang ke laut pada tahun lalu karena kasus serupa. Sungguh, aku kasihan kepadanya. Bukan salah Alina jika kepalanya bisa terlepas, ‘kan? Dan siapa sangka, sekarang aku juga mengalami hal yang ia rasakan. Semoga nasib kami tak berakhir sama.
Masa bodohlah.
Aku cepat-cepat menjulurkan tangan ke luar jendela, meraih kepala yang masih tergeletak di antara tanaman bunga cepiring. Aku sudah mulai terbiasa melakukan ini. Jadi rasanya tak sulit sama sekali meski meraih sesuatu tanpa melihatnya.
Baiklah, kepalaku kini kembali ke tempat semula. Tapi … aku merasa ada hal yang salah. Kenapa terdengar suara pecahan kaca dari dalam kepala? Sepertinya posisi kepalanya kurang pas.
Aku melenggang menuju meja rias di sebelah tempat tidur lalu mematut diri di depan cermin. Cukup lama aku memperhatikan bayanganku di cermin. Kepalaku terlihat baik-baik saja, tetapi kenapa suara pecahannya belum juga menghilang? Aku mendesah sambil mengetuk-ketukan jari ke meja, memikirkan penyebab munculnya suara-suara itu.
Tak lama, terdengar seseorang berteriak di luar kamar. Dasar mengganggu saja!
“Ya … sebentar!” teriakku sambil berjalan menuju pintu. Aku yakin, itu pasti Risa, temanku yang tinggal di kamar sebelah. Suara cemprengnya terkadang memang mengganggu. Lagi pula, untuk apa ia menggangguku saat dini hari begini?
Hey, tapi tunggu dulu. Jika aku membukanya, nanti Risa bisa mendengar suara dari dalam kepalaku. Aku tak memiliki alasan untuk mengelak nanti. Ah, sebaiknya aku tak keluar menemuinya.
Risa kembali berteriak memanggil namaku. Suaranya terdengar semakin melengking. Aku cepat-cepat menutup telinga, lantas mendekat ke pintu. “Lagi ganti baju. Kenapa, Ris, jam segini, kok, gangguin aja?” teriakku, berbohong.
Gadis itu terdengar mencibir. Alasan yang kubuat memang tak masuk akal, sih, jadi wajar jika Risa mungkin akan keheranan. Ia pun kembali berteriak, bertanya mengenai suara pecahan kaca yang didengarnya dari arah kamarku.
Aku menggigit jari, memikirkan pertanyaan Risa. Gawat, rupanya suara dari dalam kepalaku ini begitu nyaring sampai ia bisa mendengarnya. Aku harus menjawab apa sekarang?
““Ngg … itu, alarmku. Kayaknya aku salah nyetelnya, deh.” Semoga Risa percaya, semoga Risa percaya ….
Hening, tak ada jawaban dari gadis itu. Mungkin ia sudah pergi dan mempercayaiku. Namun … Risa, kan, bukan tipe orang yang mudah percaya.
Aku memanggil Risa dengan lirih. Ia pun menyahut, dan syukurlah ia percaya perkataanku, lalu berkata akan kembali ke kamarnya.
Tadi hampir saja. Jika sampai Risa tahu, aku benar-benar dalam masalah besar. Ah, kepalaku jadi makin pening. Dengan gontai, aku berjalan menuju ranjang dan bergegas merebahkan badan.
Rasanya baru sebentar mataku terpejam, tetapi suara keributan yang terdengar benar-benar mengganggu. Aku mengusap kedua mata, lantas membukanya perlahan.
Astaga. Ke–kenapa kamarku ramai sekali? Orang-orang mengelilingi tempat tidur, memasang muka garang.
“Sudah kuduga. Kepala Ina memang bisa terlepas. Pantas aku sering mencium bau darah hitam dari kamarnya!” celetuk salah satu dari mereka.
Napasku mendadak terasa tak beraturan. Gawat, aku ketahuan. Tapi bagaimana mungkin? Aduh, apa yang harus kulakukan sekarang?
Orang-orang itu lantas menarik lenganku. Rasanya sangat lemas, aku tak bisa melawan. Lidah juga terasa kelu ketika mereka mencecar, aku tak bisa berkata apa pun. Aku hanya pasrah.
Sebelum tubuhku dilempar ke lautan, Paman Arni mendekat, membisikkan bahwa riwayatku sudah tamat. Lagi pula, sebenarnya apa salahku? Bukan keinginanku kepala ini bisa terlepas seperti demikian. Mengapa mereka malah berbuat begitu, bukannya membantu? Bahkan, Risa … ia juga berada di antara kerumunan ini. Kupikir kami teman, tetapi … ah! Semuanya sudah tak ada gunanya.(*)
Jeevita. Si gadis piscess yang imut.