Kepala Berpohon Jeruk
Oleh: Triandira
Terbaik Ke-4 Event Bulan Juli Loker Kata
Aku suka sekali roti panggang selai stroberi. Tapi tadi ketika sarapan, aku makan dua suap saja roti itu, lalu memasukkan sisanya ke kotak makanan. Aku juga menuangkan segelas susu cokelat ke dalam botol yang kosong. Aku lakukan dengan sembunyi-sembunyi. Setelah itu, aku langsung bergegas menghampiri Ibu. Ia ada di ruang tamu, sedang berbicara dengan Ayah di telepon. Eh, Ayah? Ya ampun, gawaaattt! Kalau aku tidak berangkat sekarang, Ayah pasti akan meminta Ibu untuk memberikan teleponnya kepadaku lalu bertanya yang macam-macam. Iya, macam-macam itu berarti lebih dari satu macam. Berarti banyak. Kalau Ayah banyak tanya, nanti aku capai jawabnya. Kalau aku capai, aku jadi haus. Terus minum. Terus ….
Hiii … takut. Sebaiknya cepat pergi saja.
“Nana! Ayo, berangkat!” ajak Kiki. Anak perempuan bersuara cempreng, sekaligus teman sebangkuku yang suka memakai jepit rambut berwarna merah. Setiap hari, Kiki selalu datang menjemput.
Aku lalu menoleh ke luar. Kiki tampak tidak sabar menunggu. Sepertinya ia takut terlambat. Aku pun bergegas menyalami Ibu. “Ibu, aku berangkat, ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam. Bekalnya tidak lupa dibawa, Na?”
“Sudah, Bu.”
Kiki menggandeng tanganku. Kami berjalan ke sekolah bersama.
Di sekolah, selama jam istirahat aku hanya duduk di teras depan kelas. Bekal yang aku bawa masih di dalam tas. Aku juga tidak minum susu sama sekali. Sekarang badanku lemas. Aku lapar. Tapi tidak berani makan.
Huh! Sial. Aku menendang kerikil dengan kesal. Jantungku berdebar lagi seperti kemarin. Dag, dig, dug! Rasanya kencang sekali. Aku menghela napas. Aku tidak boleh takut. Sepertinya Dio cuma bercanda kemarin. Dia kan anak yang usil. Tapi kalau sampai ucapannya benar bagaimana, ya?
Tiba-tiba aku teringat dengan mimpiku semalam. Di dalam mimpi, aku melihat serimbunan daun hijau yang bergelombang. Tertanam di dekat parit. Aku ingin mengambilnya. Jadi, aku pegang kuat-kuat daun itu untuk mencabutnya, dan … “Huaa!!!”
Aku menjerit ketakutan. Lalu melempar keras-keras daun itu ke tanah. Daun bergelombang yang berakar rambut manusia.
Aku bergidik ngeri. Belum pernah aku lihat tanaman berakar aneh seperti itu. Namun yang paling membuat kaget saat ini bukanlah mimpi itu, melainkan bayangan di kaca jendela. Saat berdiri, aku lihat ada daun kecil di kepalaku. Daun itu bergoyang-goyang tertiup angin. Setiap kali bergoyang, muncul suara “Hai, Nana” yang membuat merinding. Aku pun menjerit sambil memejamkan mata.
***
Ibu membuka kotak bekal makananku. “Susunya tidak diminum, rotinya juga tidak dimakan. Kenapa, Na?”
Aku diam. Lalu Ibu duduk di sampingku.
“Memangnya kamu tidak lapar? Bagaimana kalau tadi di sekolah, kamu pingsan?”
“Aku makan kok rotinya, Bu. Tapi sedikit, pas sarapan,” jawabku masih dengan menundukkan kepala.
“Kenapa tidak dihabiskan? Kamu bosan sama selai stroberinya?”
“Tidak. Aku cuma … Ibu janji, ya, jangan tertawa. Jangan meledek,” ucapku sangat serius.
Ibu mengangguk. Lalu aku ceritakan kalau kemarin aku bermain bersama Dio dan Kiki. Kami main petak umpet. Kiki bagian mencari, aku dan Dio yang sembunyi. Sewaktu sembunyi, perutku keroncongan. Jadi, aku keluarkan jeruk dari dalam saku lalu memakannya. Saat mau mengeluarkan biji di dalam mulut, Dio menepuk bahuku. Aku kaget, dan tanpa sengaja biji jeruk yang di dalam mulut tertelan.
Lalu aku cegukan. Tapi Dio malah tertawa dan bilang, “Awas, Na. Nanti di kepalamu tumbuh pohon jeruk. Terus kalau kamu banyak minum, bijinya akan tumbuh semakin cepat.”
“Ibu, memang benar ya kalau menelan biji buah-buahan nanti tumbuh pohon di kepala?”
Aku melihat Ibu seperti sedang menahan tawa. Namun, wajah Ibu berubah serius setelah melihatku mengusap mata. “Ibu, aku tidak mau punya kepala pohon.”
Ibu berdeham. Kemudian memberiku cermin kecil. “Sekarang coba lihat, apa di kepala kamu tumbuh pohon jeruk?”
Aku menggeleng. “Tapi Dio bilang, aku tidak bisa melihat kalau pohonnya sudah tumbuh, soalnya aku yang menelan bijinya. Jadi, yang bisa melihatnya cuma orang lain. Ibu, jangan bohong, ya. Apa Ibu lihat ada pohon di kepalaku? Coba periksa betul-betul, Bu.”
“Nak … Dio cuma bercanda. Tidak usah takut. Kalau kamu tidak sengaja menelan biji jeruk, kepalamu akan baik-baik saja. Tidak akan ada pohon yang tumbuh di sana,” bujuk Ibu agar aku tidak takut.
Namun, mataku bertambah panas, rasanya air mataku mau jatuh lagi. Aku tahu, tidak masuk akal rasanya pohon tumbuh di kepala. Tapi Ibu mana mengerti kalau tidak pernah mengalami menelan biji jeruk juga. Pokoknya aku harus sering memeriksa kepalaku. Terus kalau aku mimpi pohon berakar rambut lagi, aku akan minta Ayah mencabut semua pohon di kebun.(*)
Malang, 23 Juli 2023
Triandira, penyuka cerita-cerita anak yang sedang belajar menulis.