Kepada Na, Jam Dinding di Toko Kenangan Masihlah Berdenting
Oleh: Vianda Alshafaq
Kepada Na, kekasihku tersayang yang telah lelap di bawah pepohonan yang lindap.
Dengan surat ini kukirimkan padamu salam rindu, serta sebuah kenangan usang yang kembali kubeli dari Toko Kenangan di St. Memoar No. 12. Tentu saja, kenangan itu akan kubagikan padamu sebagai hadiah terakhir, andai saja kau benar-benar lupa.
Na, Toko Kenangan di St. Memoar No. 12 itu masihlah ada. Bapak tua dengan kacamata berantai di batang hidungnya masih juga menerima pesanan-pesanan kenangan, seperti yang sering kita lakukan dulu saat kau masih menghadiahiku kecupan pagi selepas bangun tidur. Toko Kenangan itu masihlah sama, jamnya masih berdenting setiap kali pesanan masuk, bayarannya masihlah hal-hal paling berharga yang pelanggan miliki. Buku-buku usang yang aromanya menyeruak ke seluruh ruangan masihlah tersusun di rak-rak sudut ruangan. Lampu-lampu yang hangat dan temaram masih berpendar, dan selalu mengingatkanku padamu, Na, serta kenangan-kenangan yang mulai habis dimakan waktu—dan oleh sel-sel kanker yang makin hari makin ganas—di kepalaku.
Label “Toko Kenangan” di papan nama yang tergantung di depan pintu Toko Kenangan sudah makin pudar, barangkali akan lenyap dibawa sapuan hujan dan badai yang kerap datang—dan, kau juga tahu bahwa pintu Toko Kenangan tak berkanopi barang sedikit. Tulisan “Hilangkan Kesedihanmu dengan Membeli Kenangan” yang tertulis di bawah label toko juga sudah makin pudar.
Na, beberapa kali sebulan aku masih mendatangi tempat itu, meski jarang sekali memesan kenangan. Kadang aku hanya datang untuk mendengar dentingan jarum jam yang terdengar seperti suaramu di telingaku—sebab dulu kau selalu menirukan dentingnya saat kita berada di Toko Kenangan.
Na, sebetulnya sejak dua tahun lalu dokter mengatakan bahwa hidupku akan berakhir cepat. Aku hanya punya tiga tahun lagi. Waktu itu, aku sering merasa pusing dan nyeri yang teramat di kepalaku. Sialnya lagi, aku makin sering melupakan banyak hal. Lambat laun, keadaanku makin memburuk. Aku mulai kesusahan bicara, seolah-olah aku memang tak bisa bicara sejak awal. Saat kuberanikan diri untuk mendatangi dokter, saat itu pulalah aku diberitahu bahwa sel-sel kanker telah beranak-pinak di kepalaku.
Na, kini aku hanya punya satu tahun kehidupan yang tersisa, dan sedikit sekali kenangan tentang dirimu. Yang tertinggal di kepalaku tentangmu hanyalah ingatan tentang bagaimana kau mati, bagaimana kau melompat dari gedung apartemen setelah buah hati kita pergi. Tahun itu adalah tahun terburuk, dan juga ingatan paling buruk. Oleh sebab itulah, Na, tahun terakhir ini tak ingin kuhabiskan dengan hal-hal buruk itu. Karena itu aku memutuskan memesan kenangan terindah kita bertiga di Toko Kenangan, dan membayarnya dengan satu tahun kehidupanku yang tersisa.
Kau penasaran kenangan apa yang aku beli kemarin? Kemarin, aku mendatangi Toko Kenangan. Membunyikan lonceng yang kemudian terdengar sebagai dentingan jam. Kemudian menuliskan kenangan yang ingin kubeli di sebuah kertas yang disediakan di meja depan.
Aku memesan kenangan saat putri kita pertama kali mengucapkan ayah dan ibu.
Tak lama, tak sampai satu jam—seperti biasanya, denting jam berbunyi tiga kali menandakan pesanan telah selesai dan ingatan berharga kita itu kemudian mengaliri kepalaku, serupa aliran sungai yang deras. Kenangan hari itu terputar dengan jelas, seperti reka adegan yang lengkap. Hari itu, tuan putri kita pertama kali mengucapkan Ayah dan Ibu. Kita benar-benar senang mendengar itu. Kau menghujaninya dengan ribuan ciuman saking senangnya. Begitu juga aku. Aku tidak mengerti bagaimana menuliskannya, Na, tapi kita benar-benar bahagia saat itu seakan-akan seluruh kebahagiaan di dunia ini telah berpindah ke hati kita berdua. Karena itu pula, Na, aku tak ingin ingatan ini lenyap dari kepalaku, juga kepalamu. Karena itulah aku memutuskan membeli kenangan ini, agar kau kembali merasa bahagia dan melupakan kesedihan-kesedihan panjang yang kau derita sebelum mati.
Ketika aku mengunjungi Toko Kenangan, aku bertanya kepada Bapak tua itu, “Apakah kenangan kali ini benar-benar bisa menghapus kesedihanku?” Sejujurnya aku tak mengerti mengapa aku bertanya begini, padahal dulu kita sudah sering memesan kenangan dan belum ada yang gagal menghapus kesedihan.
Bapak tua itu menatapku dengan tatapan yang penuh makna. “Kenangan bukanlah obat ajaib,” katanya pelan, “tapi ia bisa membantu kita merasa lebih dekat dengan kehilangan yang kita punya.”
Na, seharusnya aku membeli kenangan ini sebelum kau melompat dari atap. Seharusnya aku menghadiahimu kenangan ini saat kau masih belum terlelap di bawah pohon-pohon kemboja yang lindap. Seandainya saat itu aku melakukannya, kurasa kau tak akan melompat dan meninggalkanku dengan kesedihan-kesedihan panjang. Seandainya … ah.
Saat terakhir kita bertemu di rumah sakit, kau menatapku dengan mata yang penuh kesedihan. “Aku berharap kita bisa memulai kembali dari awal,” katamu dengan suara bergetar. “Tapi aku tahu itu tidak mungkin.”
Na, sayangku, maaf karena aku terlalu lamban. Maaf karena aku baru memberikan hadiah yang mungkin bisa mencegah kematianmu setelah kau mati. Maafkan aku, sayang.
Dengan cinta,
Kekasihmu
Agam, 25 Juli 2024
Vianda Alshafaq, calon pengarang yang sedang belajar mengarang.
Editor: Imas Hanifah N