Kepada Mantan
Oleh: Dandelion Rindu
Hei, kamu! Seseorang yang telah menemukan akun facebook-ku, dengan nama baru. Kamu curang. Menggunakan nama lain saat add pertemanan, lalu muncul dengan dirimu yang sebenarnya setelah aku konfirmasi. Untuk apa menggunakan nama lain? Karena tak ingin kecewa mendapat penolakan dariku lagikah? Setelah dulu kamu berulang kali meminta pertemanan, sesering itu pula aku menolaknya. Sebenarnya apa yang masih kamu pikirkan tentang aku?
Dan, kamu! Aku bukan lagi gadis usia 18 tahunan seperti saat mengenalku dulu. Apa yang kamu harap lagi dariku setelah aku dan kamu, masing-masing sudah terikat dengan ikatan suci pernikahan? Apakah istrimu tahu tentang ini? Kuharap kamu tahu, ini tidaklah baik.
***
Tahun 2005 lalu, Nabila, seorang teman mayaku dari Jakarta, mengenalkanku pada seorang laki-laki bernama Aim. Aku dan Aim berkenalan lewat SMS. Tahun itu belum ada yang namanya sosial media facebook seperti sekarang ini.
Jadi, sebelum sempat bertemu, aku cuma bisa membayangkan wajahnya seperti apa lewat suaranya yang terdengar seksi. Berbulan-bulan aku mengenal Aim hanya lewat SMS dan telepon. Dia banyak menceritakan tentang kehidupannya di kampung, tapi tidak pernah menceritakan pekerjaannya apa sekalipun aku sering bertanya.
Semakin lama akhirnya kami semakin dekat dan memutuskan untuk bertemu.
Hari H tiba, kami berjanji untuk bertemu di sebuah tempat makan di daerah Cikupa, Tangerang. Aku memakai kaus berwarna hijau tua sepaha dipadankan dengan celana jeans sedikit lebar di bawahnya. Rambut sebahuku diikat ekor kuda. Poni sengaja kugunakan untuk menutupi jidat yang sedikit menonjol ini.
Sebenarnya aku ini tidaklah cantik. Saat itu, aku hanyalah seorang gadis bertubuh mini dengan warna kulit sawo busuk, eh matang maksudnya. Tinggi badan pun setara dengan anak SMP, cuma 146 sentimeter.
Aisshh….
Anehnya dengan wajah tidak cantik ini, aku berani berharap kalau Aim adalah seorang pria tampan dengan kulit seputih susu juga bertubuh tinggi. Boleh kan bermimpi di siang bolong? Kan lumayan untuk memperbaiki keturunan.
Aku berusaha untuk berpenampilan semenarik mungkin saat itu. Demi untuk bertemu pangeran seputih susu dan setampan Roger Danuarta.
Aku sudah sampai di tempat tujuan.
Mengecek handphone, barangkali ada SMS atau telepon masuk dari Aim. Nihil, layar tetap dengan wallpapernya yang berupa gambar kucing tak berbentuk. Tak ada tulisan “1 messege received” atau “1 misscalled“.
Hape tipe 3315 milikku ini, rasanya sudah cocok untuk membanting tikus got, yang tiba-tiba saja melintas tepat di kaki kiri. Membuatku semakin merasa jengkel sekaligus gelisah. Jangan-jangan pangeran setampan Roger Danuartaku tidak datang.
Ada apakah gerangan? Atau, apakah memang sudah datang lalu dia langsung pergi lagi, setelah melihat seorang gadis buruk rupa, dengan ciri-ciri yang sudah kuberitahukan sebelumnya padanya? Aku hampir menangis. Apa seburuk itu aku di mata laki-laki? Aku bahkan menerima tawaran Nabila karena memang ingin mempunyai seorang pacar.
Dan aku sudah resmi pacaran dengan Aim, sebelum kami sempat bertemu.
Aku celingukan lagi, menoleh ke kanan dan kiri. Tak ada pangeran setampan Roger Danuarta. Yang ada hanyalah sekumpulan tukang ojek, yang berebut penumpang saat angkot berhenti di depan mereka.
Berkali-kali aku mengecek handphone, tak ada tanda-tanda. Aku menumpang duduk di sebuah warung kecil. Membeli segelas teh dalam cup, lalu meminumnya lewat sedotan kecil. Lumayan untuk melepas dahaga di tengah teriknya Sang Surya.
“Hai, Tina ya?” tiba-tiba seorang pemuda bertubuh tinggi menyapa.
Aku syok melihat pemuda itu mengulurkan tangan. Jangan bilang kalau dia orangnya. Hatiku terus meracau. Aku senyum terpaksa, demi sopan santun.
“Iya, Bang. Kok tahu? Situ peramal yak?” Kubalas uluran tangannya sesaat, lalu menariknya lagi secepat kilat.
Dia tersenyum. Kupikir senyuman termanis yang ia punya. Oowh, tetap saja rasanya sepat.
Ya, laki-laki itu memanglah Aim. Pemuda bertubuh tinggi, dengan kulit lebih gelap dari sawo matang. Rambutnya kriwil-kriwil, hidungnya memang mancung tapi terlihat kebesaran dengan bentuk matanya yang kecil. Bibirnya juga, adududududuuhhh…, sepertinya dia perokok berat. Terlihat dari warnanya yang hitam memucat.
Imajinasiku bertambah kacau melihat penampilannya bak tukang ojek, atau apa memang dia tukang ojek, ya? Jaket hitam dengan kaus longgar di dalamnya, jeansnya juga sudah terlihat lusuh. Habislah sudah imajinasiku tentang pangeran setampan Roger Danuarta itu.
Hhuuffttt!
Aku menghela napas. Bukan tanpa alasan aku sedikit merasa kecewa dengan sosok yang ada di hadapanku. Pasalnya dari awal mengenalkan diri, dia selalu menyombong dengan fisiknya itu. Ditambah dengan suaranya yang aduhai, seksi tapi tetap berwibawa, membuatku semakin yakin untuk berani berhayal tentang keindahan. Siapa sangka kenyataannya berbanding terbalik seperti ini. Kecewa!
Karena sudah terlanjur pacaran, aku memang bersikap sewajarnya pada Aim. Takut dia sakit hati juga kalau tiba-tiba aku menghilang ditelan bumi. Setelah pertemuan itu pun aku berusaha tak menampakan rasa kecewa.
Yah, mau tidak mau aku berpikir, witting tresno jalaran soko kulino, kalau kata orang jawa bilang. Cinta datang karena terbiasa. Siapa tahu kan? Lagi pula, bukankah cinta itu tidak memandang fisik? Dan lagi, aku kan memang tidak cantik. Apa pantas mendapatkan pangeran setampan Roger Danuarta? Mimpi. Baiknya kukubur dalam-dalam angan itu.
Ternyata pertemuan itu bukanlah hanya untuk sekali seumur hidup. Masih ada pertemuan-pertemuan lainnya menyusul.
Nah kan, cinta itu memang bisa tumbuh karena terbiasa. Aku memang mulai menyukainya. Pangeran setampan Roger Danuartaku dalam imaji sudah kubunuh secara perlahan.
Dan dia yang dari awal memang sudah menyukaiku, sepertinya terlihat serius dengan hubungan ini.
Ah, tapi masih ada rasa yang mengganjal sebenarnya. Iyakah aku mencintainya? Kenapa aku malah tak suka saat ia membawa saudaranya untuk datang ke rumahku? Berniat serius? Oh, no! Aku belum siap untuk itu. Usiaku masih 18 tahun.
*
“Mas, tuh pacar kamu SMS.” Aku memberikan handphone Mas Radit yang dari tadi dimainkan.
“Kok gak dibuka, Dek? Baca aja lagi,” tanya Mas Radit dengan nada menggoda.
“Aishh…, bikin cemburu aja. Gaklah, itu privasi kamu, Mas. Siapalah aku ini yang cuma selingkuhan kamu.” Aku pura-pura cemberut.
“Apalah Mas ini juga yang cuma selingkuhanmu, Dek.” Aku dan Mas Radit tertawa bersama.
Aku duduk bersandar di samping Mas Radit. Ada kenyamanan kurasakan di sana yang tak pernah kudapatkan dari Aim.
Mas Radit memang sudah mempunyai pacar, aku pun sudah memiliki Aim. Rasa nyaman kamilah yang membuat kami bisa sedekat ini. Kami bekerja di perusahaan yang sama. Aku menyukainya lebih dari saat menyukai Aim. Bukan karena fisiknya yang memang jauh lebih tampan dari Aim. Bibirnya yang kemerahan, hidungnya yang bangir dan tatapan matanya yang bagaikan tatapan elang. Dia sedikit mirip dengan Roger Danuarta.
Namun bukan karena itu, tapi lebih kepada perhatian yang Mas Radit beri. Bagaimana cara dia menjagaku, bagaimana dia bisa memperlakukanku sebagai seorang perempuan. Mas Radit tidak egois seperti Aim. Dia jauh lebih dewasa pemikirannya. Sekalipun aku sering bertingkah seperti anak kecil, tapi Mas Radit selalu sabar menghadapiku.
Itulah yang membuatku tertarik padanya. Tak masalah juga saat kutahu dia sudah punya pacar. Aku membebaskan ia sekalipun bermesraan di telepon dengan Rina, pacarnya.
Bukan tanpa alasan perselingkuhan itu terjadi. Setelah Aim membawa saudaranya datang ke rumah, dia seperti ingin menguasai. Dia terlalu overprotectiv, seolah menganggap aku ini sudah menjadi istrinya. Jujur, tertekan batin ini. Dia tidak dewasa.
Hingga suatu hari, aku memutuskan untuk memberitahu Aim bahwa aku sudah mempunyai pacar baru. Betapa hancurnya hati Aim mendengar pengakuan itu. Namun kupikir, tak ada cara lain selain berterus terang. Rasanya sudah terlalu lelah dengan hubungan yang tak sehat itu.
Harus segera diputuskan.
Aku tidak mau menyakiti atau tersakiti lebih dalam lagi, seandainya masih terus bersama.
Setelah aku memutuskannya, seperti biasa Aim selalu bersikap tak dewasa. Siang malam Aim mengirim pesan mengancam kalau ia akan bunuh diri jika aku tidak menerimanya lagi sebagai pacar. Aku muak dengan tingkah Aim. Kenapa ada laki-laki seperti Aim di dunia ini?
Neng, Aa mohon kembalilah sama Aa. Aa gak peduli kalau Neng punya pacar baru. Aa siap Neng untuk di duakan.
SMS pertama kuabaikan.
Kenapa gak bales SMS Aa, Neng? Neng jahat! Teganya menghianati Aa. Kalau begini caranya Aa lebih baik mati agar Neng puas.
Apa Neng seperti ini karena Aa jelek? Apa karena Aa tidak punya kerjaan pasti? Apa karena Aa hanya sebagai tukang ojek?
Aku tersenyum kecut. Apa-apan dia ini. Kuberitahukan SMS itu pada Mas Radit. Ia tertawa membaca pesan singkat itu. Mas Radit menyarankanku untuk mengganti kartu saja. Tak ada gunanya kalau meladeni lelaki kekanakan seperti itu. Ia meyakinkanku untuk tidak khawatir.
Aku memang sedikit takut kalau ancamannya akan benar terjadi. Mas Radit meyakinkan kalau itu hanya gertakan saja. Akhirnya aku mengikuti saran Mas Radit untuk mengganti kartu dan tidak memberitahukan di mana aku tinggal. Aku menghilang darinya tanpa jejak.
*
“Sayang, boleh jujur gak? Tapi janji ya, gak akan marah sama Bunda.” Aku mengatur napas.
“Kenapa, Sayang? Gak papa atuh cerita aja,” ucap suamiku bijaksana.
“Gini loh Sayang, ada mantan Bunda yang ngeadd facebook. Bunda kok agar risih gitu ya. Mau blokir tapi Bunda takut, gak tau tapi takut apa. Ayah kan suami Bunda, jadi Ayah berhak untuk memblokir laki-laki yang Ayah gak suka di akun facebook Bunda,” jelasku pada suami.
Dia terlihat tidak suka mendengar kata “mantan”. Ya, suamiku memang pencemburu berat. Dia melarang untuk berkomunikasi lagi dengan semua laki-laki di masa laluku. Takut CLBK (cinta lama bersemi kembali) katanya, namanya setan bisa menggoda manusia dari arah mana saja.
Pada akhirnya, aku menikah bukanlah dengan Aim atau pun Mas Radit. Saat itu hubunganku berakhir dengan Mas Radit karena Mas Radit lebih memilih Rina. Dan akhirnya Mas Radit pun tidak menikah dengan Rina juga. Sejak awal, hubungan mereka memang tidak bagus. Rina berasal dari keluarga tarpandang, sedangkan Mas Radit dari keluarga menengah ke bawah. Karena itu juga Mas Radit berani selingkuh, karena dia tahu kalau tidak ada harapan untuk hubungan mereka. Ujungnya dia menikah dengan perempuan lain.
Aku bersyukur akhirnya menikah dengan seorang laki-laki yang sabarnya luar biasa, penyayang dan bertanggung jawab seperti Mas Ari. Walaupun kami hidup terkadang serba kekurangan tapi kami mensyukurinya.
***
Hei, kamu! Kepada mantan ke tigaku, bukan inginku untuk memutus tali silaturahmi. Aku melakukan ini karena aku sangat menyayangi keluarga kecilku.
Bersyukurlah dulu kita putus, kalau tidak, mungkin kamu tidak akan sesukses sekarang ini. Kamu sekarang sudah punya materi dan jabatan. Peluklah wanita di sampingmu itu, karena wanita itu yang tak lelah menyemangatimu saat kamu rapuh. Sedangkan aku ini hanyalah masalalumu. Pergilah!(*)
Facebook : DandelionRindu
Email : sukmawatietins@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita