Kencan yang Disiapkan Istriku

Kencan yang Disiapkan Istriku

Kencan yang Disiapkan Istriku

Oleh: Erien

Tidak usah ditanya bagaimana perasaanku saat ini. Di hadapanku, Daisi duduk di kasur dengan santai, seperti tidak peduli akan ucapannya yang membuatku terkesiap beberapa detik lalu. Ia membenamkan wajah ke bantal biru yang ada di dalam dekapannya. Seolah-olah, ia tidak ingin mengulangi ucapannya barusan, meski aku meminta.

“Kan Abang udah denger tadi.” Suaranya sedikit tidak jelas, teredam bantal.

“Abang salah denger, nggak, sih? Coba sini jangan ditutup mukanya. Liat abang!” Aku sedikit meninggikan nada bicara sambil mengusap kepalanya.

Daisi mengangkat wajahnya. Mata sendu itu menatapku sekilas, lalu berpaling ke arah lain.

“Aku bilang, Abang ngedate sama perempuan lain, sana!”

Nah, ini tadi yang membuatku kaget. Daisi kembali merepet tentang aku yang menurutnya, bersikap dingin. Ia mengira aku bosan dengannya. Daisi bilang, aku jarang sekali memeluknya seperti dulu. “Masa peluk cuma pas ‘setor’ doang. Abis itu kek kulkas lagi.” Gerutuan istriku itu, membuat mulut ini terdiam.

Dalam hati, sebenarnya aku kaget dan sedikit tersinggung. Maksud Daisi apa? Menyuruh suaminya ini nge-date sama wanita lain? Apa ia menantangku? Apa ia tidak takut aku direbut wanita itu? Aku pun heran apa maksudnya bahwa aku dingin? Bagiku semua biasa saja. Jika sikapku berbeda dari dulu waktu kami belum punya anak, ya, pastilah. Waktu kami berdua habis mengurusi dua bocah kesayangan kami. Ketika malam tiba, kulihat Daisi berwajah lelah. Terkadang ia ketiduran di sofa, ketika menunggui si bungsu yang tidak kunjung tidur. Padahal, terkadang aku juga ingin berbagi cerita. Namun, kenapa jadi aku yang salah? Aku berusaha tenang.

“Kamu bercanda, ‘kan?”

“Enggak. Udah aku pikirin mateng-mateng. Mungkin setelah nge-date, Abang jadi mesra lagi sama aku. Nggak cuek. Aku kesel, Bang. Timbang minta peluk aja susah banget.” Mata Daisi seperti mau menangis. Merah.

Kuembuskan napas dengan kasar. Apa segitu cueknya aku pada Daisi?

“Kenapa nggak minta peluk aja? Atau kamu peluk duluan jadi ntar aku bales.” Aku mengajukan solusi.

Daisi menggeleng. Ia menyusut air mata sembari berkata bahwa solusi itu sudah sangat sering dilakukan tetapi aku tetap abai. Ah, susahnya memahami wanita. Kenapa hal sekecil itu jadi masalah besar?

“Kencan buat Abang sudah aku atur. Dua minggu lagi. Aku akan menyiapkan ‘dia’.

Aku mendesis sembari menggeleng. “Kamu cari masalah, Dai. Aku merasa ditantang.”

“Aku yakin Abang tidak akan berbuat terlalu jauh. Kan, cuma makan sama jalan-jalan. Belikan dia gamis dan jilbab. Udah itu aja.” Daisi santai saja bicara seperti itu.

Aku mendengkus. Kudekati wanita yang sesungguhnya sangat aku cinta. Tidak ada yang berubah dari perasaanku padanya. Dai masih menunduk menekuri bantal. Kuraih dagunya perlahan, lalu mendongakkan wajahnya hingga mata indah itu terkunci dalam mataku.

“Aku cinta sama kamu, Dai. Nggak ada yang berubah,” ucapku, gemas. Ia tidak menolak ketika aku semakin mendekat. Wajahnya malah merona, seperti dulu ketika pertama kali kami tidur sekamar. Untung pintu sudah lebih dahulu aku kunci. 

***

Sejak tawaran itu, aku malah terlecut memberi perhatian lebih ke Daisi. Kupeluk ia setiap ada kesempatan meski sembunyi-sembunyi dari pandangan mata bocah kami. Malam-malam kami jadi berwarna merah, bukan lagi merah muda. Jujur saja, aku merasa seperti itu. Daisi tidak menolak. Jadi kuanggap tidak mengapa.

Namun, ia selalu menggeleng jika kuminta membatalkan kencan yang ia rencanakan untukku. Sudah tidak bisa, karena ia sudah membelikan wanita itu pakaian terbaik dan perawatan terbaik di salon. Ish! Daisi berlebihan.

Tidak terlalu banyak info yang Daisi berikan tentang wanita itu. Mungkin karena aku menolak mendengar infonya, Daisi berhenti bercerita. Namun, sempat kutangkap bahwa wanita itu seorang janda satu anak. Sungguh aneh mendengar informasi tentang teman kencanku dari istriku sendiri. Daisi bilang, anak wanita itu tidak tahu kalau ibunya hendak kencan. Sedangkan wanita itu malah senang. Sudah, hanya itu yang sempat kudengar. Aku menolak untuk tahu lebih lanjut, menghindari zina hati karena memikirkan wanita lain.

“Terserah kau saja.” Aku enggan melanjutkan semua ini. Namun, meski sudah berjanji lebih perhatian padanya, Daisi tetap memintaku berkencan.

Dua minggu berlalu dengan cepat. Hari Sabtu ini, teman kencanku itu akan datang sesudah magrib. Daisi sudah menyiapkan kaos biru berkerah, celana jins, juga jaket coklat. Tidak lupa, topi kesayanganku. Aku menatap gamang tingkah Daisi yang begitu bersemangat mendandaniku. Bahkan, bibirnya tak henti menyunggingkan senyum. Beberapa kali ia mendekat hanya sekedar menciumku dan kembali mengambil baju yang ia siapkan. Ya, Allah, kenapa istriku itu? Sempat terpikir inikah rasanya poligami direstui istri? Aku menggeleng-geleng cepat, membuyarkan khayalan yang sudah terlalu liar.

Tepat jam setengah tujuh, aku sudah rapi. Daisi tampak berbicara dengan seseorang di ponsel. Dua bocah kami tampak memperhatikan penampilanku yang rapi dan wangi. Keduanya curiga aku hendak pergi dan mulai merengek ingin ikut. Aku hanya bisa menolak.

Menunggu itu membosankan, itu kata orang. Untukku, menunggu itu mendebarkan. Keringat dingin tanda nervous mulai muncul. Detak jantung terasa lebih cepat. Mau tidak mau, otak mulai mengira-ngira, bagaimana rupa wanita itu? Kata Daisi, ia hanya membantu kami. Namun, bantuan ini sungguh tidak masuk akal. Perempuan mana yang dibayar oleh seorang istri untuk kencan dengan suaminya sendiri. Aku tahu Daisi bukanlah tipe perempuan yang cemburuan, tapi apa yang ia lakukan kurasa sudah keterlaluan. Aku hanya berdoa semoga wanita itu tidak datang.

Daisi selesai menelepon. Ia mendekatiku di sofa dan memindai dandananku. Daisi mengangguk dan mengacungkan jempol.

“Sip. Ganteng.”

Aku menghela napas panjang. Sudah jam tujuh kurang lima belas menit. Semoga tidak jadi. Aku kembali berdoa.

Tiba-tiba aku merasa Allah tidak mengabulkan doaku. Ketika tak berapa lama, bel berbunyi. Wanita itukah? Jantungku terasa berdetak lebih kencang, seperti genderang mau perang. Eh.

Daisi berlari ke depan dan membuka pintu. Wanita itu terhalang tubuh Daisi dan pintu yang hanya terbuka setengah. Wajah Daisi tampak maju. Kutebak, ia cipika-cipiki dulu dengan wanita itu.

Daisi melambai memanggilku. Jantungku serupa ketukan sepatu kuda di aspal dengan kecepatan tinggi. Sedikit ragu, aku mendekati pintu. Lalu, Daisi menyingkir memberiku ruang. Dan senyum wanita itu berhasil membuatku mematung.

“Ibu?” (*)

Kotabaru,  28052021

Erien. Mencoba menghabiskan jatah gagal secepatnya, agar bisa menikmati jatah sukses secepatnya juga. Kenali lebih dekat di Facebook: Maurien Razsya.

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply