Kenapa Tak Boleh Jatuh Cinta?
Oleh : Erien
Aku tidak mengerti kenapa teman-teman melarangku jatuh cinta. Padahal aku sama seperti gadis remaja lain. Aku ingin dibelikan coklat. Tak mengapa jika hanya coklat cap ayam jago seharga seribuan, karena jujur, aku tak bisa membedakan yang mahal atau murah. Atau, diberi bunga mawar seperti di film-film, meski menurutku itu tak berguna. Diajak makan malam dengan satu lilin di meja juga sepertinya menyenangkan, asal bukan aku yang membayar. Ingin pula kunikmati pipi dicubit mesra, genggam tangan lembut, atau tajam mata lelaki pujaan yang membuat salah tingkah. Kenapa aku tak boleh?
Aku normal. Aku jatuh cinta pada seorang lelaki dewasa. Bukan pada sesama wanita atau pada anak kecil. Lelaki itu masih sendiri. Jadi, aku bukan pelakor dan cinta ini tak menyakiti siapa pun. Kenapa mereka melarang?
“Ayo, ke rumah. Akan kukenalkan dengan ibuku.” Tangan kekar itu terulur padaku. Sinar matanya lembut, berbeda dengan ketiga lelaki yang sepuluh menit lalu meremas dadaku yang baru tumbuh, dengan kasar. Sakit. Jemari mereka berjalan di beberapa bagian tubuhku. Jeritan marahku tak dipedulikan, sampai suara itu menghentikan semua. Dalam beberapa gerakan, ketiga pengecut itu lari tunggang langgang. Itulah pertama kali aku yang belia, bertemu dengannya, cinta pertamaku.
Hidup di jalanan memang tak bisa merawat badan. Apalagi, aku yatim piatu, hanya tahu mandi tanpa sabun, jauh dari kata wangi. Namun, wanita tua yang dipanggil ibu oleh lelaki itu, memelukku erat. Tatapannya hangat dan lembut, sama seperti putranya. Entah bagaimana perasaanku. Namun, senyum tidak mau pergi seharian itu, seperti parfum yang disemprotkan oleh wanita tua itu di badanku sesudah mandi di rumah mereka tadi.
Kupanggil lelaki itu dengan sebutan Pak. Usia kami memang jauh berbeda. Dua puluh tahun, terhitung jauhkah? Entah. Perawakan yang tinggi besar, dengan perut seperti gelombang kasur Palembang–terlihat saat kausnya terangkat ditarik salah satu dari tiga lelaki yang menjahatiku– ia tampak berusia 20-an.
Ia tersenyum geli ketika aku berkata bahwa aku suka ada di dekatnya. Telapak tangan yang besar mengusap-usap rambutku. Sesekali ia mencubit hidung. Aku tertawa geli.
Kami menjadi sering bertemu dan aku mengubah panggilan sesuai permintaannya.
Tahun berganti. Aku masih ingat ketika berjongkok di trotoar dekat rumahnya. Perutku sakit luar biasa. Lelaki itu menghampiri dan bertanya dengan nada cemas. Aku hanya bisa meringis dan menggeleng. Ia menyuruhku berdiri, lalu mengamati. Tak lama, ia membuka jaket yang dikenakan, lalu melingkarkan tangan di pinggangku dan mengikatkan jaketnya. “Kamu haid,” katanya singkat. Sejak saat itu, ia tak pernah lagi mengusap rambut ataupun mencubit hidungku. Aku rindu. Ah, kenapa harus ada haid?
Kami menjauh, apalagi setelah ibunya meninggal dunia. Lucunya, hatiku malah mengikatkan diri pada sosok lelaki itu. Padahal, aku harus berhadapan dengan anak angkatnya. Yah, ia single parent. Aku tahu istilah itu setelah kami menjadi dekat dan aku tak mau jauh darinya.
Tiap hari setelah baligh, hanya lelaki itu yang ada dalam pikiranku. Hari ini, aku berusia 22 tahun. Kuputuskan untuk melamarnya. Meski teman-teman melarang dan menganggap gila, aku tak peduli. Aku sudah dewasa dan berhak atas perasaanku sendiri.
Sebelum menemui lelaki itu, aku harus bisa meyakinkan anak angkatnya, agar menerima gadis muda yang mencintai ayahnya ini. Tak mungkin kuabaikan anak perempuan yang selama ini menemaninya.
Kini, gadis itu ada di hadapanku. Kami sama tinggi.
“Aku mencintai ayahmu.” Tanpa banyak basa-basi, langsung kukatakan perasaan ini. “Aku ingin melamarnya.”
“Kau bodoh! Tak tahu terima kasih. Kau hanya gadis jalanan yang ditemukan Ayah. Kau tak pantas untuknya! Dia milikku.” Tajam matanya membuatku mengalihkan pandangan dan menghela napas. Gadis berjilbab biru itu memang keras kepala.
“Tapi aku mencintainya, dan hal itu yang tak bisa kau lakukan.” Aku berusaha menyadarkannya bahwa cintaku tak salah. Dulu aku memang gadis jalanan, tapi sekarang aku gadis terpelajar. Semua karena lelaki itu. Aku memantaskan diri agar bisa bersanding dengannya.
Gadis itu menatapku, mencari kebenaran atas perasaanku pada ayahnya. Terlihat ia menarik napas dan mengembuskan pelan. “Oke. Semoga Ayah mengambil keputusan yang tepat untukmu yang mencintainya, untukku yang menyayanginya, dan untuk dirinya sendiri.”
Aku mengaminkan dan tersenyum padanya. Kami mengangguk bersamaan. Penuh bahagia, aku pergi meninggalkan gadis itu, menuju teras tempat lelaki itu biasa menghabiskan senja. Jilbab biruku berkibar indah, serupa hati yang penuh suka.
Aku berdiri tepat di depan cinta pertamaku. Ia mendongak, lalu tersenyum. “Kamu … duduklah,” katanya sambil menunjuk kursi di sebelahku berdiri. Aku menurut.
“Aku sudah dewasa, dan tak ingin berpisah denganmu. Maukah kau menikah denganku?” Pertanyaanku yang mendadak itu membuatnya tampak kaget. Alisnya naik, satu tangan menutup mulutnya.
“Ta–tapi ….”
“Hanya ada satu lelaki yang menghormatiku selayaknya seorang wanita. Meski tahu bahwa aku tak bisa jauh, lelaki itu tak pernah memanfaatkanku untuk terus bersamanya. Bahkan ia tak menyentuhku setelah baligh. Statusku, membuat banyak orang melarangku jatuh cinta. Padahal hukum agama tak melarang.
Jadi, maukah menikah denganku? Agar aku bisa menikmati lagi usapan tanganmu di rambutku, agar hidungku bisa kau cubit lagi, agar bisa memelukmu, agar bisa merawatmu jika datang demammu.”
Lelaki itu mengusap wajahnya yang bercambang tipis. Tampak sekali raut mukanya kaget. Aku sudah menduga sebelumnya.
“Maaf, jika aku terdengar tidak sopan, memanggil dengan sebutan kamu. Tapi aku ingin dilihat sebagai seorang wanita dewasa yang bisa bertanggung jawab dengan dirinya sendiri. Bukan sebagai bocah perempuan yang kau selamatkan dari tiga lelaki jahat di hari pertama kita bertemu.”
Kuputuskan untuk diam, menunggu ia mengatakan sesuatu.
“Kamu tahu posisi kita, kan?” Ah, dia berkata tanpa melihatku.
Aku mengangguk.
“Sudah dipikirkan baik-baik?”
Kembali aku mengangguk.
Kemudian, kami membisu. Aku menunggu, sementara ia menunduk menekuri lantai. Sesekali ia memandang senja yang hampir habis sinarnya.
“Baiklah. Karena sesungguhnya aku punya perasaan yang sama sejak kau dapat haid pertama. Aku rindu mencubit hidungmu.”
Ucapannya hampir saja membuatku melompat, berteriak, dan lupa pada gamis yang kukenakan. Untung saja otakku masih bekerja. Hanya hati yang melompat-lompat tak terkendali.
Bayangan anak angkatnya di kaca jendela perlahan mengabur.
“Untuk terakhir kali, aku akan memanggil dengan sebutan yang biasa kau dengar, sesudah ini, semua akan berubah. Terima kasih sudah menerima lamaranku, Ayah.”
Lelaki itu tersenyum, seiring senja yang menghilang.
Tamat.
Kotabaru, 1 Desember 2020
Erien, hanya seorang ibu yang berusaha menjadi versi terbaik dari dirinya.
Editor: Erlyna