Kenapa Aku Tak Boleh Bersekolah
Oleh: Rainy Venesia
Kata Ibu, aku tidak boleh sekolah. Awalnya aku protes. Aku merengek, menangis, mengamuk, sampai melemparkan semua benda yang ada di dekatku agar diizinkan sekolah. Namun, Ibu tak memberiku jawaban dan tetap kukuh pada keputusannya. Lalu, aku berlari ke luar, bertanya pada siapa pun yang kutemui, kenapa aku tak boleh sekolah. Tak ada jawaban. Orang-orang hanya menoleh sekilas atau menatapku beberapa detik saja, setelah itu mereka kembali sibuk dengan dirinya sendiri.
Sampai menjelang malam langkahku berhenti di ujung desa dekat kuburan Cina yang temboknya sangat tinggi dan dilapisi kawat berduri. Aku menatap gerbangnya yang pongah diapit patung naga. Sedikit rasa takut membuat hatiku ciut. Aku berbalik dan langsung berlari pulang. Aku lari secepat mungkin, lupa pada kakiku yang tadi terasa perih karena luka-luka bekas gigitan kerikil. Lupa pada tujuanku hendak menemui seorang guru yang tinggal di belakang kuburan tersebut. Kata Lia–teman bermainku–bu guru itu sangat cantik dan baik, pasti bisa menolongku agar bisa sekolah.
Saat sampai di rumah, Ibu hanya menatapku. Aku menunduk setelah tak menemukan rasa bersalah atau sedikit sesal di matanya. Laju langkahku ke kamar dan menjatuhkan diri di kasur sambil membenamkan kepala di bawah bantal. Musnah harapanku seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Tiap pagi aku tetap hanya akan bisa duduk melihat Lia dan anak-anak lain bergerombol berangkat sekolah. Menatap iri pada wajah-wajah yang bergembira disertai celoteh riang yang berebutan ingin lebih dulu bercerita.
Aku tak menghiraukan Ibu yang duduk di tepi tempat tidur. Kurasakan tangannya membelai kepalaku. Aku juga tak menghiraukannya saat dia menyuruhku makan. Aku mulai kesal saat dia kembali mengulang sebuah kisah. Kisah seorang anak yang tidak bersekolah tapi sangat pintar. Lebih pintar dari teman-temannya yang bersekolah hingga perguruan tinggi. Aku tak bisa mengendalikan diri lagi ketika Ibu berkata hal yang sama. Bahwa sekolah bukan tempat yang tepat untukku saat ini.
“Lalu kapan?” tanyaku berteriak.
Ibu menggeleng. “Saat Nabi Isa turun ke bumi,” jawabnya sambil meninggalkanku.
Aku memandang punggung Ibu hingga tak terlihat lagi. Mungkin, saat ini dia langsung pergi ke kamarnya dan menangis seperti kemarin dan kemarinnya lagi. Sama seperti sebelum-sebelumnya setiap kali aku memaksa ingin bersekolah. Aku tahu itu karena tiga kali aku pernah memergokinya. Namun, saat aku minta maaf karena telah membuatnya menangis, dia selalu menolak dan berkata bahwa dia menangis bukan karena aku. Lantas, dia memelukku erat. Erat sekali seolah-olah takut aku akan lepas dan hilang.
Aku termangu memandang pintu kamarku yang terbuka. Tak ada niat untuk beranjak dan menghampiri Ibu. Aku bosan bila harus mendengarkan ceramah yang panjangnya seperti rel kereta api. Tak berujung. Tentang kisah-kisah dulu yang sudah lekat di kepalaku. Tentang kekhawatiran seorang ibu, tentang zaman yang tak berpihak pada kebenaran, dan terakhir selalu tentang pesan Ayah sebelum meninggal.
“Ayah bahkan meminta agar semua anak-anak diajari di rumah saja. Kau tahu, Nak, karena itulah Ayah meninggal.”
“Kenapa Ayah sampai meninggal?”
“Karena dia menolak jika anak-anak dijadikan robot perusak dan penghancur.”
Saat Ibu mengatakan hal itu, aku hanya diam. Ketika dia bertanya apakah aku paham, cepat-cepat aku mengangguk agar Ibu segera menyuruhku tidur.
Sebenarnya aku tak paham. Sama sekali tidak mengerti. Yang kutahu sekolah akan membuat anak-anak pintar. Seperti Lia yang mahir mengoperasikan komputer dan karena kepintarannya itu ayah-ibunya tak berani membantah perkataan Lia. Seperti Al yang sangat pandai berhitung dan karena kejeniusannya itu dia selalu dihormati keluarganya. Bahkan ayah-ibunya pun sangat patuh pada Al. Seperti Ria, Ayu, Ezar, dan teman-temanku yang lain. Hanya aku yang tak bersekolah dan harus menurut pada Ibu.
Aku mendekati jendela dan menatap langit yang bertabur bintang. Cantik sekali. Kata Ibu aku seperti bintang. Sangat cantik. Aku pun sering mendengar ibu-ibu yang berbelanja di warung ibuku memuji bahwa aku sangat cantik. Mereka juga kerap bicara pada Ibu bahwa Ibu sangat beruntung memiliki anak secantik aku. Lalu mereka mengeluh tentang anak-anak mereka.
Aku tersenyum mengingat obrolan ibu-ibu yang hampir tiap pagi kudengar.
Kulihat bulan mulai mulai pamer kecantikan meskipun cahayanya dia dapat dari matahari. Pernah aku katakan pada Ibu bahwa bulan tak tahu malu. Dia berlenggak-lenggok merasa paling cantik, anggun, dan memesona padahal cahayanya bukan milik sendiri. Ibu tertawa lalu berkata untuk apa menjadi bulan jika kau adalah bintang. Aku rasa Ibu memang benar. (*)
Bandung, 5 Januari 2021
Rainy, saat ini sedang menyukai bacaan yang membuat tertawa.