Kenangan-Kenangan di Kepalaku

Kenangan-Kenangan di Kepalaku

Kenangan-Kenangan di Kepalaku

Oleh : Tri Wahyu Utami

 

Aku harus bergegas menyingkirkan kenangan itu. Jadi, setiap kali aku membersihkan rumah, menata ulang perabotan dan melenyapkan debu-debu yang menutupinya, aku selalu mengosongkan beberapa tempat untuk diisi dengan barang baru. Ada laci, lemari, kolong tempat tidur, dan gudang sempit di salah satu sisi rumah yang bisa kugunakan untuk menyimpannya. Aku tinggal meletakkan kenangan itu di sana, membiarkannya lapuk digerogoti rayap, atau habis dimakan racun yang keluar dari kenangan itu sendiri.

Kenangan-kenangan di kepalaku ini memang memiliki racun yang mengerikan. Ia tidak hanya membuatku sulit tidur, melainkan juga merasakan sesak yang bertubi-tubi. Karena itulah aku harus segera melenyapkannya. Tetapi kenyataan bahwa kenangan itu bukanlah sebuah benda yang terlihat jelas bentuknya, membuatku harus memikirkan cara lain. Tidak bisa hanya dengan membuang, mengubur, atau membakarnya seperti barang bekas yang sudah lama tak terpakai.

“Aku mencintai gadis lain dan sebentar lagi kami akan menikah.”

Dari sekian banyak yang berjubel di kepala, kenangan itulah yang paling sering mencuat. Ia, bersama racun mematikan yang tak kasatmata, terus merongrongi pikiranku siang dan malam. Lalu setelahnya, hatiku tak lagi merasakan apa-apa selain sakit yang teramat dalam. Sebenarnya, sekali saja dalam hidupmu, apa pernah kamu mencintaiku?

***

Semakin hari, kenangan-kenangan itu semakin berdesakan di kepala. Satu per satu dari mereka berebut tempat untuk tinggal lebih lama di sana. Memaksa “apa yang telah usai” di antara kami menemukan jalannya untuk bersemi kembali. Susah payah aku mengabaikannya. Namun, semakin ingin dilupakan semakin kuat ingatan yang terbayang.

Sejak pertama kali berkenalan, aku memang sudah menyukainya. Ia seorang lelaki yang pendiam, tak pandai membuat orang lain tertawa, dan sedikit pemurung. Terkadang aku mendapatinya sedang duduk sendirian sambil menatap kosong sesuatu. Saat itu, sekali-dua kali aku mengira kalau ia sedang serius membaca. Mungkin buku yang ia pegang adalah buku yang rumit. Bahasanya berbelit-belit sehingga membuatnya sulit mengerti. Kemudian, demi menuntaskan cerita yang sedang ia baca, ia pun hanya memfokuskan pandangannya ke buku itu. Mungkin itu juga yang menyebabkan ia enggan menatapku lama-lama ketika kami berbicara.

Sebenarnya sikapnya yang seperti itu lumayan mengganggu. Terlebih ia melakukannya setelah kami pergi jalan-jalan. Aku yakin, dari perlakuannya saat berada di taman hiburan bersamaku, di Sabtu sore, ia merasa senang. Kami mencoba banyak permainan, membeli jajanan pedas yang enak dan mengenyangkan, lalu berfoto.

“Bagaimana bisa membacanya kalau terbalik begitu?” tanyaku di perjumpaan kami yang sebentar dan seketika membuyarkan lamunannya.

“Eh? Terbalik bagaimana?”

Ia langsung salah tingkah, sedangkan aku tersenyum kecut melihatnya. Dan sejak itulah aku mengerti kalau ia tidak sedang membaca. Ia hanya menatap kosong buku itu. Buku yang dijadikannya alasan sebagai teman duduk sembari menanti kedatanganku.

“Iya, terbalik. Bukan kamu yang membaca buku itu, tapi sebaliknya,” sindirku yang dibalasnya dengan senyuman. “Memangnya seseru apa, sih, cerita yang kamu baca itu?”

“Seseru mengobrol dengan Sita.”

“Apa kalian ….”

Ia menoleh sebentar, lalu berkata, “Sita gadis yang baik.”

“Apa kamu menyukainya?”

“Hm.”

Ia tampak ragu-ragu saat mengucapkan kata itu. Pun gelagat yang ia tunjukkan bukan seperti orang yang sedang bersenang hati. Namun, ia tutupi semua itu dengan senyumannya yang manis. Senyum yang sangat aku sukai, yang tidak pernah lagi kulihat. Setelah kami berpisah sebab aku yang pergi meninggalkannya, tak sekali pun juga kudapati jawaban yang pasti. Oh, tentu saja kebohongan tentang hubungan mereka—ia dan Sita yang diakuinya sebagai pacar—tak begitu saja kupercaya. Aku bisa merasakannya dan aku melihatnya. Ia tak pernah menatap mataku saat mengucapkan kebohongan itu.

***

Aku telah selesai membersihkan rumah. Semua barang yang sudah rusak dan tidak berguna sudah kumasukkan ke kantong plastik. Ada dua kantong. Satu per satu aku bawa keluar untuk dimasukkan ke tong sampah. Sebentar lagi, truk pengangkut sampah langgananku datang. Jadi aku bergegas keluar pagar.

“Sedang sibuk?” sapa seseorang. Aku menoleh dan sedikit terkejut saat mengetahui siapa yang datang.

“Tidak. Hanya membuang sampah saja,” jawabku dengan sebelah tangan memegang pagar. Ia mengangguk pelan, lalu mengulurkan sebuah buku kepadaku. Buku yang selama ini ia jadikan teman menunggu.

Aku mengerutkan dahi. Bingung dengan sikapnya yang mendadak menemuiku tanpa memberi tahu terlebih dahulu. Setelah memutuskan hubungan, kupikir tidak ada lagi yang perlu kami bicarakan. Apalagi setelah tempo hari ia menolakku dengan kata-kata yang masih kuingat hingga sekarang.

Aku mencintai gadis lain dan sebentar lagi kami akan menikah.

Kalau saja ia mengatakan “aku mencintai Sita”, mungkin akan lebih mudah bagiku untuk memercayainya. Menyakitkannya lagi, meskipun benar bahwa kami saling menyukai, ia takkan pernah membiarkan orang lain tersakiti. Lalu aku? Tentu saja aku bukan orang lain baginya. Jadi tak masalah jika akhirnya akulah yang menanggung derita sebab menyimpan banyak kenangan di kepala.

“Ini bukumu, lalu untuk apa kamu berikan padaku?” tanyaku begitu truk pengangkut sampah pergi usai membawa kantong-kantong plastik yang aku buang.

“Kamu masih ingat ketika kita jalan-jalan dulu? Kamu berfoto sendirian dan aku mencetak foto itu.”

Foto? Aku membuka buku itu, dan benar saja, di tengah-tengahnya ada selembar foto yang seketika membuat mataku berkaca-kaca.

“Aku rasa lebih baik jika aku memberikannya padamu,” ucapnya lagi.

“Kenapa?”

“Karena bisa berbahaya jika aku yang menyimpannya.”

Aku tergelak. Tetapi hatiku luar biasa sesak mendengarnya. “Apa sekali saja kamu tidak ingin memperjuangkannya? Memang apa salahnya kalau kita—”

“Tidak. Itu akan menyakiti Reno. Kamu tahu kalau aku sudah menganggapnya seperti adik sendiri. Lagi pula, kamu akan bahagia jika menikah dengannya.”

“Itu pilihan Ayah dan Ibu, bukan aku.”

“Aku tahu.”

Ia menghela napas. Memandangku sebentar, kemudian berbalik badan, hendak melangkah pergi tetapi aku mencegahnya.

“Lalu untuk apa ke sini?” tanyaku dengan suara keras. “Untuk apa repot-repot memberikan foto ini kalau kamu bisa membuangnya?”

Tanpa diduga, ia menoleh. Kemudian mendekatiku yang masih berdiri sambil meneteskan air mata. Dari jarak kami yang dekat, bisa kulihat pula kesedihan itu di matanya. Kesedihan yang sama perihnya dengan yang kurasakan sekarang.

“Aku hanya mencintai gadis di foto itu, dan … maaf sudah terlambat mengatakannya.”

Seiring langkahnya keluar halaman, kenangan-kenangan itu kembali berdesakan. Memenuhi kepalaku yang kelak membutuhkan ruang kosong untuk menyimpan kenangan baru.(*)

 

Tri Wahyu Utami, penyuka mi goreng dengan irisan tomat. Saat lapar tapi enggan makan nasi, makanan itulah yang sering dibuatnya.

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply