Kenangan
Oleh: Al-Rizky Pratama
Cinta… terkadang ia membawa suka ataupun luka yang sering kali terasa mencabik jiwa, dan berujung menjadi sebuah kenangan yang sulit untuk dilupakan.
Sama sepertiku yang tak pernah bisa menghapus kenangan tentangnya.
Namaku Ridho, mahasiswa semester akhir fakultas ekonomi di salah satu universitas kota kelahiranku, Malang. Banyak yang mengatakan kalau aku termasuk orang yang cuek, namun meski begitu aku adalah mahasiswa yang berprestasi. Aku termasuk salah satu mahasiswa yang aktif dalam kegiatan di kampus. Selain kuliah, aku juga mempunyai rumah baca dan bank sampah di kampung guna membantu perekonomian warga sekitar.
Berbicara tentang bank sampah, itu adalah hal yang menyenangkan. Kau bisa membuat hal-hal yang sudah tak terpakai menjadi sesuatu yang berharga. Tapi… berbeda dengan kenangan. Sepertinya aku tak bisa mengubah hal itu menjadi apa pun. Ia akan tetap menjadi kenangan sekeras apa pun aku mencoba mengubahnya.
Ialah Rani, mahasiswi semester akhir dari fakultas perikanan yang memiliki hobi menulis sepertiku. Ia adalah pacarku sejak 3 tahun lalu.
“Menulislah dari hati, maka karyamu akan sampai dan membekas di hati pembaca,” ujarnya kala itu.
Aku tersenyum mendengar jawaban darinya. Jujur saja, dibanding menulis aku lebih suka memandanginya yang sedang sibuk dengan karya tulisnya. Wanita berbulu mata lentik itu terlihat sangat cantik jika memasang ekspresi serius, seperti halnya saat ia sedang asyik menulis..
Aku sering mengajak Rani berkunjung ke rumah baca setiap Sabtu. Kekasihku itu sangat senang melihat semangat anak-anak dalam menuntut ilmu. Mulai dari anak yang masih duduk di bangku TK hingga para siswa yang tengah menempuh jenjang pendidikan SMA.
“Aku senang melihat mereka begitu bersemangat. Itu membuatku rindu masa kecilku dulu,” celetuk Rani saat berdiri di dekat pintu, memperhatikan anak-anak TK serempak mengangkat kedua tangannya, membaca doa sebelum makan dengan suara yang lantang.
Bagiku, Rani sangat mengagumkan. Selepas melihat-lihat taman baca yang kudirikan ia mengunjungi bank sampah, ikut bergabung bersama ibu-ibu membuat kerajinan tangan.
“Kamu memang hebat. Membangun bank sampah ini agar ekonomi warga menjadi lebih baik,” pujinya.
Aku sedikit terenyuh mendengar pujiannya. Tanpa sadar sebaris senyum mengembang begitu saja, membuatku terpaksa membelakanginya, agar ia tidak tahu kalau sekarang mungkin pipiku memerah.
***
Hari ini aku mendatangi suatu tempat. Memperhatikan pohon besar di samping bangku. Menatap tiap helai daun kecokelatan yang jatuh dari tangkainya.
Dulu Rani sering mengajakku ke tempat ini. Coban Rais namanya. Dan katanya di tempat inilah ia sering menemukan ide-ide untuk membuat novel keduanya.
“Apa kamu tahu?” tanyanya pelan.
Aku menengok, menatapnya penuh tanya. Tahu apa? Setidaknya begitulah arti tatapanku.
“Tebaklah!”
“Bagaimana aku bisa menebaknya jika aku tidak tahu apa-apa?” tanyaku sambil memicingkan mata.
Rani mendekatkan wajahnya padaku, tangan kanannya terangat, menutupi mulutnya. “Aku suka tempat ini sama seperti aku menyukaimu,” bisiknya.
Lagi, wanita itu selalu berhasil membuat jantungku berdebar tak keruan. Kata-katanya yang begitu sederhana selalu saja membuat hatiku berbunga-bunga. Namun lain lagi, ia akan berubah menjadi wanita yang galak bila kurayu.
“Romantis itu bukan dari bualan semata, melainkan perilakumu kepada pasanganmu, yaitu aku,” itulah kata yang akan terucap dari bibir tipisnya.
Tapi itu dulu sebelum sosok cantik itu tertidur dalam pelukanku, dan pergi untuk selamanya. Rani… tidak akan bisa kembali lagi. Ia benar-benar pergi setelah hari itu. Hari ketika ia mengalami kecelakaan saat hendak sampai ke kampus.
Bus pariwisata berwarna merah yang ditumpangi siswa-siswi sekolah dasar melaju cepat, kehilangan kendali dan menabrak Rani juga tiga pengendara motor lainnya. Lantas menghantam sebuah pohon yang ada di seberang kampus. Siswa yang berada di dalam bus panik. Beberapa di antaranya mengalami luka yang tidak terlalu serius. Sementara para pengendara motor dilarikan ke rumah sakit.
Aku ikut naik ambulance untuk menemani Rani. Menatap lamat-lamat darah yang merembes dari kepalanya sambil menggenggam erat tangannya. Hatiku terasa tak keruan. Takut, sedih, marah, dan semua perasaan bercampur aduk menjadi satu.
“Terima kasih karena kamu selalu berada di sisiku,” ucapnya saat siuman sejenak. Lantas kembali pingsan. Dan tepat sebelum masuk ke ruang UGD, wanita yang sangat aku cintai itu sudah tidak bernapas lagi. Ia telah mengembuskan napas terakhirnya.
Seketika kakiku langsung lemas. Kini seseorang yang selalu menjadi penyemangatku telah pergi, menyisakan kenangan yang telah kami ukir bersama. Begitu banyak dan sangat banyak hingga aku masih belum bisa melepaskannya hingga saat ini.
Aku berdiri sambil tersenyum memandangi pohon besar yang ada di sampingku.
“Besok aku akan kembali,” ucapku pelan.(*)
Al-Rizky Pratama, remaja delapan belas tahun. Asal kota apel, Malang. Memiliki hobi menulis sejak tahun 2016, pernah menjadi juara tiga di salah satu event menulis puisi dan rentetan piagam penghargaan sudah dia kantongi. Dia pecandu teh dan penikmat hujan, temukan dia di facebook Al-Rizky Pratama atau email alrizkypratama857@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita