Kemukus
Oleh : Devin Elysia Dhywinanda
Sebelum kemukus jatuh di mata orang-orang desa seumpama hujan yang intensitasnya naik dari waktu ke waktu, aku ingat, seraya memandang undakan sawah berselimut halimun di kejauhan, bapak pernah bercerita, “Lintang kemukus itu punya arti yang kurang bagus. Malapetaka. Tanda kalau peristiwa buruk bakal terjadi. Nglamat ana Ratu sungkawa. Nglamat ana Ratu seda. Nglamat ana Ratu pasulayan. Nglamat ana Ratu kang ruwet penggalihe[1].” Bapak mengembuskan asap rokok sejenak. “Tapi, kalau terbitnya dari arah barat, ngalamat ana jumenenge Ratu[2]. Berkah Gusti Pangeran[3] akan turun dan semua orang bakal bersuka cita bersamanya. Ini punya arti banyak, tergantung sudut pandangnya: bisa jadi kemukus adalah tanda berakhirnya kesengsaraan—tandhane putra Bethara Indra wus katon tumeka ing arcapada ambebantu wong Jawa[4]—dari suatu tempat.”
Itu adalah sore yang murung—langit mendung, tapi urung hujan—sekaligus kali pertamaku melihat dan menanyakan perihal kemukus yang jatuh di mata salah seorang warga desa pada bapak. Aku ingat betul, dingin yang memerangkap memaksaku merenung, mengurut masa depan, hingga akhirnya sampai pada janji seorang bocah untuk menghilangkan kemukus dari desa kami.
Aku ingat, jauh sebelum hari itu, saat fajar, para ibu akan mengerubungi penjual sayur keliling—yang saat itu menjajakan dagangannya dengan sepeda pancal—lantas bercakap-cakap soal lauk apa yang bakal mereka sajikan untuk keluarga masing-masing. Menjelang siang, baik musim nandur[5] ataupun panen, para pria dewasa akan duduk di sisi pematang sawah, mengisap tembakau, seraya mendiskusikan keadaan waktu itu—apakah sawah mereka terbebas dari hama wereng; apakah cuaca cukup bersahabat dengan tanaman masing-masing; berapa perkiraan harga yang dipatok oleh para pengepul padi. Di cakruk, di lapangan yang ilalangnya tumbuh tidak teratur, anak-anak akan bermain tidak habis-habis: nekeran[6], gobag sodhor[7], petak umpet, dan permainan tradisional lain.
Di acara kenduren[8], genggaman tangan orang-orang akan terasa hangat—mereka tidak perlu meributkan mana yang merupakan garis keturunan asli, suku asli, dari desa kami, sebab semua orang bersaudara.
“Bahkan orang-orang yang bernyanyi saat Minggu pagi?” tanyaku pada bapak suatu waktu.
Bapak tersenyum sembari merapikan rambanan[9] di samping kandang kambing kami. “Bahkan orang-orang yang bernyanyi saat Minggu pagi.”
Hal yang familier dari masa itu adalah tawa. Juga kehangatan. Mata orang-orang bercahaya kendati halimun kerap turun, menyelimuti tanah kami. Bahkan, mata mereka masih juga berpendar meski kadang kala Orang Luar masuk, mengatakan hal yang tidak-tidak tentang desa kami.
Akan tetapi, itu dulu. Sebelum waktu berubah. Sebelum sebuah kemajuan justru memundurkan sekian panorama indah desa kami.
*
Aku ingat, dulu, tiap hari raya, rumah peribadatan akan dibuka, dan orang-orang bakal berbondong-bondong datang, bermaaf-maafan, tidak peduli dari “mana” mereka berasal. Waktu itu, setiap anak secara otomatis akan mengetahui seluk beluk masjid serta gereja. Bahkan, bukan hal aneh bila mengetahui semua orang berkontribusi dalam merangkai pohon natal, membuat makanan, dan sebagainya. Itu adalah masa di mana orang-orang tidak akan ragu bertanya perihal apa atau mengapa sesuatu terjadi di masing-masing kepercayaan.
Pernah, ketika bapak memberi makan anjing yang biasa berkeliaran di sekitar gereja, aku menanyakan hal bodoh, “Bapak, itu anjing, ‘kan?”
“Iya.”
Aku diam sebentar, memperhatikan bapak yang mengelus-elus anjing itu tanpa merasa jijik. Kuingat pelajaran perihal binatang-binatang haram di sekolah dan masjid, kemudian kembali bertanya pada bapak, “Anjing itu haram, ‘kan?”
“Iya,” Bapak tersenyum, “tapi dia dan kita pada dasarnya sama-sama makhluk yang diciptakan Gusti Pangeran, ‘kan?”
Aku tidak serta-merta datang dan ikut mengelus anjing tersebut. Akan tetapi, setiap melihat anjing berkeliaran di depan rumah—dan bertepatan dengan stok daging yang memadai—aku bakal memberi mereka makan tanpa segan. Akan tetapi, setiap mengingat hal tersebut, aku seketika merenung, paham bahwa, selayaknya keluarga, kita dapat mengetahui kebiasaan anggota lain sampai batas tertentu, tetapi tidak mesti mengiyakan atau mengikuti. Cukup mengetahui.
Kupikir, pemikiran itu pula yang berhasil melukiskan panorama indah di desaku. Kupikir, lukisan itu bakal bertahan selamanya … sampai orang luar datang, merusak segala kemonotonan yang berjalan harmonis selama ini.
Mereka awalnya hanya sebuah keluarga yang mengatakan ini-itu dengan intonasi provokatif pun gestur meyakinkan. Masyarakat sekadar memandang mereka aneh, lantas berlalu. Tidak peduli.
Kemudian, beberapa orang lain datang. Mengulang hal serupa. Lantas, diabaikan.
Setelah itu, orang-orang luar terus berdatangan. Membawa kabar anyar. Mengaitkan segala fakta dengan perkataan mereka. Merupa “dogma” versi mereka menjadi konsensus yang mesti dilakukan.
Sekali lagi, aku tidak berpikir kemukus bakal jatuh di mata orang-orang. Aku tidak berpikir sebuah “dongeng”, anggaplah begitu, kelak bakal dipercaya sebagai “hukum” oleh masyarakat. Namun, ini hanya masalah waktu dan intensitas berbicara: jika kau menceritakan hal yang sama berulang-ulang, lambat laun hal tersebut akan diterima oleh orang lain. Lambat laun, hal itu akan dipercayai oleh orang lain.
Suatu waktu, dalam pagelaran jaran thek[10]—yang memang biasa dilakukan tiap acara desa—aku melihat kemukus jatuh di mata orang-orang desa.
*
Kali pertama adalah kemukus. Sedikit kegelapan. Sebersit rasa dingin. Lantas, retakan. Kerenggangan.
Cahaya jingga serupa candik ala[11]. Halimun merupa penjara keterasingan. Diskusi para ibu serta bapak dapat dengan mudah meruncing, mempermasalahkan hal-hal yang dahulu tidak terpikirkan. Sementara itu, seiring berjalannya waktu, anak-anak tidak lagi bermain permainan tradisional atau berkunjung menjelang hari raya—melainkan kegiatan lain di dunia maya.
Peribahasa kricikan dadi grojogan[12] ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, musyawarah desa masih menjadi alternatif solusi meski lama-lama menjadi tidak efektif. Tatanan lampau berubah—atau memang karena mesti berubah, entah—termasuk masyarakat di dalamnya.
Termasuk aku dan mereka.
Kemudian, pada sore murung yang familier, aku ganti menerawang undakan sawah. Mengeja janjiku beberapa tahun silam untuk menghilangkan kemukus dari desa kami.
*
Dulu, di sekolah, ustaz dan ustazah pernah bercerita perihal perang, atau segala perlawanan, yang dilakukan untuk menegakkan agama Islam. Mereka selalu berkisah dengan penuh kasih tentang orang-orang Islam yang berjuang dengan gagah, tanpa takut kalah, kendati tahu telah kalah jumlah; tentang kaum Nabi Nuh, Nabi Luth, Nabi Musa; Perang Uhud, Perang Badar, Perang Tabuk. Di sisi lain, ketika aku bermain dengan seorang teman, ia ceritakan pula tentang perjuangan dalam agamanya; tentang Perang Salib, Tanah Suci, dan sebagainya.
Aku ingat, setiap orang bercerita dengan mata bercahaya. Setiap orang bercerita dengan penuh kekaguman … sedangkan aku tafakur mengagumi cahaya di mata mereka.
Sekali waktu, aku pernah bertanya pada bapak—yang waktu itu habis menyelesaikan sengketa hak waris salah seorang warga desa, “Kenapa perang semacam itu kini tidak lagi terdengar, apalagi terjadi?”
Wajah bapak kentara lelah. Akan tetapi, ia tersenyum, kemudian menjawab, “Entahlah,” Ia memandang pohon beringin yang telah berpuluh-puluh tahun ada di depan rumah kami, “barangkali karena orang-orang akhirnya tahu cara untuk mencapai perdamaian. Atau, barangkali, karena orang-orang telah menemukan kedamaian mereka sendiri.”
Aku mendengar suara tawa dari lapangan kecil di dekat rumahku. Kemudian, aku ikut tertawa, entah karena jawaban bapak atau keceriaan pada masa itu.
Kini, setelah beberapa orang tidak dikenal datang, memprovokasi perihal aturan yang mestinya dipegang teguh dan sebagainya—usai mereka menentukan batas-batas versi “mereka” yang tidak boleh dilanggar oleh kami, “pemilik” tanah ini—orang-orang mulai berperang dalam diam; dalam penolakan; dalam pandangan sinis dan penuh curiga atas mereka yang berbeda rumah peribadatan. Memang, masih ada kehangatan tersisa ketika halimun merayap, melingkupi desa kami, tetapi semua tidak sefamilier dulu: ada kecanggungan merebak dalam pagelaran jaran thek atau acara kenduren tiap petang hari. Ada kehilangan yang nyata terjadi ketika orang-orang memilih “menutup” rumah mereka tiap hari raya.
Ada kemukus yang akhirnya jatuh, menjelma hujan. Lambat, tapi pasti.
Suatu hari, ketika beberapa orang mulai ribut perihal mestikah kita menerima tamu dari mereka yang berbeda agama, aku berkelakar, “Apakah Tuhan melarang kita untuk pergi ke rumah saudara dan bermaaf-maafan dengan mereka?”
Lawan bicaraku memandangku aneh, tetapi akhirnya aku berpikir dan berpikir: barangkali, perang masih saja terjadi … pada waktu dan jalan berbeda. Seperti saat ini.
*
Sampai ketika kemukus perlahan jatuh seumpama hujan di desa kami—ketika orang-orang saling pandang curiga, melenyapkan berkas kehangatan yang dahulu melingkupi kami dari halimun serta udara dingin yang acap bertandang—masih ada aku yang terperangkap masa lalu. Masih ada aku yang menyayangkan panorama silam. Masih ada aku yang mengutuk, merutuk segala hal—yang tidak kutahu mesti disyukuri atau mesti dibenci.
Masih ada aku yang termenung di sini. Menulis. Bernostalgia. Berharap.
Lantas, ketika semua kisah kenangan mencapai purna, aku menghela napas. Menatap langit. Mengingat harapanku dahulu: kalau sudah dewasa, aku ingin menghilangkan kemukus dari mata orang-orang desa.
Sekarang, harapan itu barangkali pupus. Atau masih mengerak. Aku tidak tahu.
Aku tidak tahu. (*)
[1] Tanda ada Raja yang sedang berbela sungkawa. Tanda ada Raja yang meninggal. Tanda ada Raja yang berselisih, memperebutkan kekuasaan. Tanda ada Raja yang kacau pikirannya (Peristiwa yang terjadi berdasarkan arah terbitnya lintang kemukus, berdasarkan Sejarah Kutha Sala: Kraton Sala, Bengawan Sala, Gunung Lawu yang ditulis R.M. Ng. Tiknopranoto dan R. Mardisuwignya).
[2] Tanda ada penobatan Raja.
[3] (bahasa Jawa) Tuhan
[4] Tanda putra Batara Indra sudah tampak datang di bumi untuk membantu orang Jawa. (Ramalan Jayabaya tentang lintang kemukus sebagai tanda berakhirnya kesengsaraan).
[5] (bahasa Jawa) musim menanam padi
[6] Istilah salah satu permainan khas Jawa.
[7] Istilah salah satu permainan khas Jawa.
[8] Disebut juga kenduri, yaitu perjamuan makan yang dilakukan untuk memperingati suatu peristiwa.
[9] Daun-daunan untuk makanan kambing atau lembu.
[10] pertunjukan tari khas Desa Klepu, Kabupaten Ponorogo, yang menyerupai Reyog Ponorogo dalam bentuk lebih sederhana.
[11] langit sore dengan dominasi warna gelap yang diinterpretasikan sebagai simbol nasib buruk.
[12] peribahasa Jawa yang artinya permasalahan kecil menjadi permasalahan yang besar
Devin Elysia Dhywinanda merupakan gadis hasil hibridisasi dunia Wibu dan Koriya yang lahir di Ponorogo, 10 Agustus 2001.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata