Kembang Api Dalam Dada
Oleh: Firman Fadilah
Terbaik 12 Lomba Cerpen Autofiksi
Kembang api itu mendesis, meliuk-liuk tepat di hadapan ratusan pasang mata. Kembang api selalu menantang malam yang jalang dengan segenap kebuasannya. Mungkin karena Bumi pada malam hari memang tak menawarkan apa-apa selain ketakutan pada apa yang tak akan kembali. Kembang api menggelinjang seperti tubuh perawan di atas pembaringan, kemudian memuntahkan percikan-percikan terang yang terpecah-pecah dengan satu pemahaman bahwa derai-derainya hanya sekilas pandang sebelum tenggelam kembali dalam kegelapan, sementara orang-orang sibuk dengan ponsel pintarnya merekam momen satu tahun sekali itu. Aku juga ada di sana.
Selalu ada kekaguman yang tersimpan, entah pada malam pergantian tahun ini atau pada hari-hari lain yang kadang tak bertanggung jawab atas kebahagiaan kita. Tentu saja, tentu saja! Aku pun merasakan hal yang sama, sempat linglung memahami arti di antara riuh tawa itu, apakah benar-benar bahagia atas kenangan yang akan ditinggalkan atau tawa itu hanya serupa pengalihbahasaan penderitaan masa silam.
Siapa sangka, umur kian menua. Ada yang datang dan pergi. Setiap perpisahan dan pertemuan layak dirayakan. Sepasang kekasih merencanakan pertunangan di bawah pendar kembang api itu. Wajah-wajah tersepuh binar emas cahaya dari langit, bahkan bulan iri dengan cahaya itu. Orang-orang terenyuh melihatnya. Yang satu memberikan cincin, satunya lagi menerima dengan malu-malu. Aku bahagia untuk mereka. Aku sedih di saat yang sama. Kugenggam cincin dalam saku.
Kualihkan pandangan ke sisi lain. Angin menyibak-nyibak sehelai syal seorang perempuan berambut panjang. Anting Sinterklas menggantung di daun telinga. Di sisi lain, orang-orang bersahut-sahutan mengucapkan selamat tahun baru, lengkap dengan harapan untuk segala sesuatu yang lebih baik, termasuk percintaan. Apa yang lebih penting dari cinta? Jari manis selalu mencintai cincin. Bulan mencintai malam. Matahari mencintai embun. Begitu juga dengan laut dan pantai. Hanya manusia yang mencintai dari jenisnya.
Di sudut lain, orang-orang berfoto, entah dengan sahabat atau kekasih. Aku selalu suka melihat kebahagiaan. Aku suka mengasihi orang, tapi aku terlalu buruk untuk mengasihi diri sendiri. Apakah aku juga tak peduli terhadap kebahagiaanku sendiri? Entah. Kueratkan syal yang melingkar di leherku. Kusimpan tangan ke dalam saku.
Aku berjalan menjauhi kerumunan. Kembang api masih mendesis dan meledak secara bergantian. Kadang aku tak habis pikir, manusia rela membayar mahal untuk kesenangan. Dalam kedipan mata, kembang api jadi abu. Kegembiraan yang menyertainya mungkin hanya berlalu dalam hitungan menit. Di sela-sela itu, manusia berharap semoga Tuha mendengar harapan. Dan bisa saja itu adalah harapan tukang sapu yang akan mendapatkan uang tip lebih, sehari sesudah pesta usai.
Aku melihat sejoli berciuman. Sepertinya sebuah rencana yang bagus. Bercinta di bawah kembang api, pada saat yang sama saat meriam-meriam langit itu mendesis, kemudian sama-sama memuntahkan sesuatu di tempat yang sama-sama gelap.
Lonceng-lonceng berdentum. Lampu-lampu kota seperti noktah kecil di langit jauh yang dilukiskan seniman jalanan.
Burung merpati belum tertidur. Memangnya sejak kapan perayaan tahun baru hanya milik manusia? Ia juga milik angin laut yang mengayun sampan nelayan ke bibir dermaga. Ia juga milik toko-toko dan kendaraan umum. Ia juga milik terompet dan salju. Milik semua ras dan agama. Tahun baru juga bukan hanya milik sepasang kekasih. Ia milik orang-orang yang menunggu dan menanti pujaan hati meskipun tidak ada jaminan kepastian kapan akan bertemu.
Warna langit masih saja gelap meskipun ada kembang api yang memecah dan bintang-bintang berkelap-kelip. Jika di dadaku ada kembang api, kapan ia akan meledak? Perayaan tahun baru setahuku cuma setahun sekali. Lantas kapan manusia akan merayakan rindu? Udara mulai dingin, sesak, dan mengental. Angin berlalu-lalang, simpang siur tak karuan.
Kadang, aku merasa seperti balita yang belajar mengeja dan selalu meleset dalam perhitungan kecil. Aku gagap memahami makna. Seharusnya sudah dari dulu ada satu pemahaman bahwa kejujuran dan kesetiaan, menjadi orang baik atau biasa saja tidak menjamin kekasih datang tepat waktu. Atau apa yang harusnya menjadi jaminan ia dituntut setia setelah, umpamanya, bulan dan bintang lengkap diserahkan sepenuhnya untuknya?
Aku menyisir wajah-wajah yang tampak bahagia. Aku mulai ragu, memangnya mereka benar-benar bahagia? Mungkin untuk saat ini iya. Lantas setelahnya, mereka kembali cemas tentang hidup yang singkat, berkejaran dengan tenggat, kemudian bersedih karena ketidakjelasan tentang apa yang dicari dalam hidup. Aku meraba dadaku, tiba-tiba ada sesuatu yang kosong dan hampa. Cinta. Ke mana kau, oh cintaku?
Katanya, orang bijak selalu percaya pada harapan. Setelah lelah mengejar mimpi, ia bisa mencari warna lain di tengah kegelapan, monoton, dan angker. Kembang api kembali berpendar. Sinarnya terpantul di kanal-kanal, ratusan bening pasang mata, dan terekam jelas dalam kamera.
Aku melangkahkan kaki. Apa yang lebih berarti dari hari ini? Kenangan, harapan? Keduanya sesuatu yang abstrak. Apalagi cinta. Kadang ingatan punya sisi percuma. Seperti dalam gambar, dipotret kemudian dihapus. Singkat saja dalam satu alasan, jika kenangan sudah tidak memiliki makna tidak perlu disimpan. Namun, siapa yang berhak memutuskan layak atau tidaknya kenangan disimpan? Terlalu lelah menyimpan kenangan seorang diri. Sementara ia, apakah juga sedang mengenang hal yang sama? Di sini, di sebuah kota dengan riuh kembang api.
Meledaklah, kembang api dalam dadaku! Kesedihan, kekecewaan, kehampaan tak perlu kata-kata. Sungguh, mereka hanya perlu tempat untuk memberontak, meledak, kemudian mengabu. Jam dini hari berdentang. Perayaan telah selesai. Kembang api kembali ditelan kegelapan. Beragam gaya ciuman segera dituntaskan.
Sejatinya, langit selalu bersih, dengan atau tanpa kembang api. Buktinya, manusia selalu mendongak ke langit. Melemparkan apa-apa ke langit. Berteriak ke langit. Bahkan mati untuk menuju langit. Aku tak bisa menyangkal kalau sebenarnya diriku kesepian. Sama seperti langit yang diam menatapku penuh iba dan belas kasihan.
Mulai titik ini, aku hanya perlu mencemaskan diriku sendiri karena esok adalah milikku. Hal-hal kecil hanya akan menggangu. Kekhawatiran hanya tentang diriku. Jika aku kecewa, aku hanya perlu berkaca. Jangan terlalu berharap pada percik api yang fana. Segala sesuatu harus ada batasnya.
Aku melangkah dari masa lalu. Aku siap menuju ke mana pun yang aku mau. Masih kugenggam erat cincin dalam saku. Aku simpan untuk hari esok. Mungkin tahun depan. Entahlah.[]
Lampung, 29 Desember 2024
__
Komentar Juri, Lutfi rosidah:
Menjadi tugas seorang penulis untuk menyampaikan ceritanya semenarik mungkin, hingga pembaca masuk secara emosinal ke dalam kisah yang disajikan.
Melalui narasinya yang dalam, saya diajak menjelajahi isi kepala “Aku” dengan segala keresahan-keresahannya. Betapa semua hal yang terjadi itu menjadikan tokoh makin terasing di keramaian.
Namun dalam cerita autofiksi, penulis terlalu atraktif dalam memilih susunan kata dalam beberapa kalimat yang justru melemahkan ekspresi yang ingin disampaikan.