Kembalilah Mak

Kembalilah Mak

Kembalilah Mak
Oleh: Puji Lestari

“Mak, Semi datang. Maafkan Semi, ya, Mak,” ucapku pada wanita paruh baya yang ada di hadapan.

Wanita itu yang telah melahirkanku dua puluh lima tahun silam, mempertaruhkan nyawanya demi aku. Hatiku seakan-akan tercubit mendapati pahlawan hidupku itu terbaring lemah di atas brankar. Matanya tertutup rapat, infus menancap di tangan kirinya dan selang oksigen terpasang di hidungnya.

Wajahku menghangat, kurasakan bulir bening perlahan membasahi pipi.

“Cepat sembuh, ya, Mak. Semi sayang Mamak!” Aku tersedu sembari mencium tangan yang mulai keriput itu. Serentetan kenangan masa lalu menari di pelupuk mata.

Mamak adalah wanita tangguh yang pantang menyerah. Sejak Bapak meninggal sepuluh tahun lalu, Mamak yang banting tulang demi menghidupi dan menyekolahkanku. Akan tetapi, selama itu pula aku tidak pernah menghiraukannya. Aku tidak pernah menghargai perjuangannya. Aku membencinya.

Suro Sumitro adalah nama yang diberikan oleh orang tuaku. Saat beranjak remaja, aku mulai menyadari namaku itu kuno dan tidak sepadan dengan nama teman-teman sebayaku.

“Pokoknya aku nggak mau nama itu, Mak!” teriakku kala itu. Emosi darah muda memuncak. Aku menendang pintu kayu di kamar hingga patah. Tidak cukup sampai di situ, aku melempar semua barang-barang sebagai pelampiasan kekesalan.

“Nama itu adalah doa, Nak!” Selalu kata itu yang terucap dari Mamak.

“Iya, tahu. Tapi, kasihlah nama yang bagus! Nama seperti itu ,apa coba artinya?” jawabku.

“Tidak semua nama yang bagus itu juga mengandung arti yang bagus, Nak.”

Arrgghh!” Aku melempar cangkir yang ada di meja. Seketika cangkir itu melayang dan dalam hitungan detik sudah mendarat di kepala Mamak.

Aku hanya menatap dengan tatapan tajam saat Mamak mengusap-usap kepalanya. Sesaat aku menangkap air mata jatuh di pipinya. Namun, tak kuhiraukan. Aku melangkah keluar rumah, pergi menjumpai teman-teman nongkrong di pos ronda.

Aku muak! Aku benci Bapak! Aku benci Mamak! Setiap kali berada di rumah, hanya ada rasa kesal melihat kedua orang tuaku. Aku berubah menjadi anak badung dan susah diatur. Itu sebagai bentuk protes pada mereka.

Bapak mulai sakit-sakitan, terserang darah tinggi, katanya. Mungkin karena melihat ulahku. Dendam pada orang tua tidak juga sirna, meskipun tubuh Bapak sudah terbujur kaku di depanku, juga melihat Mamak yang menangis tersedu, tetapi tidak ada air mata sedikit pun yang menetes membasahi pipiku.

“Sampai kapan kamu mau seperti ini, Nak? Yang Mamak punya sekarang hanya kamu,” ucap Mamak setelah acara doa tujuh hari meninggalnya Bapak. Lagi-lagi Mamak mengeluarkan air mata.

Kala itu aku tengah dipengaruhi alkohol, tetapi aku masih bisa mendengar dan mencerna kalimat yang diucapkan Mamak.

“Kenapa Mamak nggak ikut Bapak sekalian aja?”

Setelah mendengar itu, Mamak berlari keluar kamarku. Samar terdengar isakan dari kamarnya. Namun, kembali tak kuhiraukan. Aku lebih memilih memejamkan mata, menghilangkan rasa pusing yang mendera akibat alkohol.

Aku hanya sekolah sampai jenjang SMA. Setelahnya, aku memutuskan bekerja di sebuah kafe yang ada di kota. Seminggu sekali pulang, terkadang berbulan-bulan aku tak pulang. Malas rasanya pulang menjumpai Mamak. Sering ia menasihati, memohon perubahan sikapku. Masih tak kuhiraukan.

Kini, di dalam ruangan ICU aku merasa sangat berdosa. Rasa bersalah terus membayang. Aku melupakan surga yang ada di telapak kakinya. Aku merasa seolah-olah aku adalah anak yang paling menderita. Sehingga mereka pantas aku perlakukan dengan semena-mena. Padahal akulah yang durhaka, akulah yang telah membuat mereka sengsara.

“Sumitro itu nama Kakek. Kenapa orang tuamu memberi nama itu, karena ia yang banyak menolong mamakmu waktu melahirkan kamu. Mamakmu waktu hamil terkena penyakit kulit yang menular. Tidak ada yang mau menolong mengantarkan ke rumah dukun beranak. Kalau hanya bapakmu sendiri tidak bisa, karena harus naik sampan menyeberangi sungai yang arusnya deras pada malam itu. Ternyata sepulang mengantar mamakmu, beliau terseret arus dan ditemukan meninggal dua hari kemudian. Saat itu tepat di Bulan Suro. Itulah kenapa kamu diberi nama Suro Sumitro. Supaya kamu tumbuh menjadi anak yang baik, berjiwa pahlawan, dan suka menolong siapa saja yang membutuhkan. Seperti kakekmu.”

Penjelasan Pakde Karno membuatku terdiam. Hatiku serasa dihantam batu besar. Sesak sekali.

Tiba-tiba mesin elektrokardiograf yang ada di sampingku berbunyi. Alat itu terhubung untuk menunjukkan aktivitas jantung Mamak. Kulirik pada layarnya, garis horizontal tertulis panjang di sana.

“Mak!” Aku mencoba membangunkannya.

Namun, perawat berdatangan dengan mengenakan baju biru sama denganku. Mereka memintaku dan Pakde Karno menunggu di luar.

Aku dan Pakde Karno menunggu di luar ruang ICU. Perasaanku tak keruan, aku terus saja mondar-mandir dengan mulut komat-kamit merapalkan doa sebisaku.

Mamak menderita liver, selama ini aku abai dengan kesehatannya. Aku bekerja dan menikmati sendiri uangku untuk bersenang-senang. Saat ini aku sungguh merutuki perilakuku yang sangat kejam terhadapnya. Orang tua satu-satunya yang seharusnya aku bahagiakan, tetapi justru aku sia-siakan.

Sepuluh menit kemudian perawat dan dokter keluar, memberi kabar yang tidak ingin aku dengar.

“Maaak!” Aku berteriak histeris. Dunia serasa berhenti berputar. Aku melihat tubuh Mamak yang ditutup dengan kain putih dari balik pintu kaca.

Andai waktu bisa kuputar, akan kuulang semuanya. Aku akan menjadi anak yang baik, berbakti, dan membahagiakan orang tua. Bapak! Mamak! Maafkan anakmu ini.

“Mak, maafkan Semi, Mak. Bangunlah, Mak! Semi janji akan berubah dan membahagiakan Mamak. Bangunlah, Mak!” Aku menangis dan bersimpuh di kaki dinginnya, memohon ampun, walau tak didengarnya lagi.

“Ampuni Semi, Mak!”

Aku sangat menyesal menjadi anak yang durhaka. Kini, pada siapa lagi aku memohon ampunan? Bapak dan Mamak sudah pergi meninggalkanku karena ulahku sendiri. Hanya kalimat pengandaian saja yang bisa terucap. Andai tidak ada dendam dalam hatiku. Andai aku mendengarkan setiap nasihat Mamak. Andai aku melihat sebentar saja dan menyeka air mata yang jatuh di pipi Mamak kala itu.

Andai … andai …. (*)

 

Duri, 15 Desember 2021

Puji Lestari. Adalah seorang penulis pemula yang masih haus akan ilmu merangkai aksara untuk mempertajam kemampuan menulisnya.

 

Editor: Dyah Diputri

Pict. Source: https://pixabay.com/id/photos/tempat-yang-hilang-coretan-jendela-2723563/

Leave a Reply