Kembali ke Stasiun

Kembali ke Stasiun

Kembali ke Stasiun
Oleh : Imas Hanifah N.

Sebuah Stasiun, Ketika Kita Lelah Berbicara

Kita berada di kursi tunggu. Sisa penumpang satu-dua saja, melintas di hadapan. Membicarakan letak perhentian orang-orang, sembari sesekali meminum air mineral.

“Di mana dan kapan kita berhenti?” suaramu seperti teriakan bocah di tengah perang. Menyatu seiring laju kereta melindas baja.

“Satu tarikan napas, terakhir,” jawabku.

Kau mengangguk. Di wajahmu yang lelah, aku ingat kata-kata ini, “Kita adalah luka dan tawa yang selintas saja, tak ada yang selamanya sedih atau selamanya bahagia. Semuanya bergantian.”
Lalu, kau berbicara lagi, perihal awal mula dirimu dilahirkan, cerita tentang kenakalan di masa remaja, serta kisah hangat percintaan yang selalu kautertawakan ketika mengingatnya.

“Sungguh bodoh jika aku mengingat bagaimana perasaan yang berlebihan kala itu. Terkadang aku menyalahkan orang-orang, atau Tuhan.”

“Berbicara tentang orang-orang, apa kabar mereka yang pulang-pergi di hidupmu?” Aku selalu penasaran tentang bagaimana caramu menjelaskan kehidupanmu sendiri.

“Mereka, sebagian baik, sebagian tidak. Dan sisanya, aku tak tahu, tak mau tahu.”

“Begitu ya, mereka belum berhenti?”

“Setahuku, tidak. Hanya beberapa yang diberhentikan.”

Satu kereta terakhir hari ini, berhenti di depan mata kita. Gerbong-gerbong tampak penuh, kupikir tak seharusnya salah satu dari kita naik. Tapi kau beranjak, melihatku dengan tatapan tanpa kutahu maknanya. Dengan bahasa isyarat, menggerakkan jari-jari tanganmu, kulihat kau berbicara, “Aku pergi, dan tidak berjanji untuk kembali. Jangan menunggu.”

Entah kapan, kita bisa berbicara lagi, dan kereta mana yang akan kunaiki. Belum kuputuskan. Tuhan yang putuskan.

2016

Kembali Berkunjung

1

Ada sosok asing yang tak sepenuhnya kukenali dalam kehidupanku sendiri. Selalu, di stasiun yang sama, ia seperti kereta. Kereta mogok belum diperbaiki. Ia tak bisa melaju atau mengangkut penumpang. Mendengarkan keluhan atau menutup telinga.

Ia memikul kesedihan, kesepian. Rel berubah jadi suara lengkingan yang panjang.Stasiun dan segala yang tertinggal di dalamnya, adalah keheningan dan kejenuhan.Bekas sayatan yang mengerikan.

Lelaki itu masih penumpang yang sama. Berlari dengan tergesa mengejar kereta. Dan lainnya, hanya dapat mewujud jika Tuhan berkehendak.

Detik dan menit hanyalah perputaran yang terulang.Candu yang tak pernah benar-benar selesai.

Kehidupan seolah maju-mundur tanpa kendali.Ia berusaha pergi dari pintu keluar stasiun.Ia merasa tertekan, bingung berada di mana.Antara luka dan keputusan menunggu. Kadang-kadang, ia menganggap penantian adalah sesuatu yang sacral.Ia tak sudi jadi orang modern yang melupakan seseorang atau sesuatu terlalu cepat.

Ia dan seorang lelaki di stasiun pernah saling menukar perasaan.Hampir setiap orang di matanya adalah manekin yang tak hidup.

Kecuali lelaki itu.

Lelaki itu percaya pada imajinasi dan ia adalah pengarang paling fantasi.

2

Ia berharap setiap tulisan fiksi jadi nyata.Lebih sempurna dibandingkan stasiun dan segala hiruk-pikuknya.Namun, ia tak ingin menjadi alasan lelaki itu untuk diam di kursi berjam-jam
Biar ia yang mogok. Biar ia yang berhenti dan menunggu.

Sebab, ia tahu bagaimana rasanya menanti seseorang. Seperti saat ini.

3

Ia mengerti dan tidak mengerti.Ia melihat laki-laki tersebut penuh dengan ambisi.Laki-laki yang selalu tak pernah absen mengejar laju kereta. Takut terlambat. Takut tertinggal

Di stasiun, ia ingin jadi kereta yang benar-benar berhenti.Ia ingin memberi laki-laki itu sesuatu yang lebih berharga dibanding cita-cita.

Ia ingin menuliskan cerita-cerita sihir dan keajaiban yang memukau.Menjadikan apa saja di hadapan laki-laki itu sebagai mimpi nyata.

Kadang, ia ingin kembali.Ke masa di mana ia belum jadi apa-apa. Dan tak mengenal apa itu cinta

4

“Setiap luka adalah pembelajaran yang sempurna,” ujar masinis kereta sembari berlalu.

Lelaki itu masih berlari, mengejar mimpi dan segenap ambisi. Mengejar kereta lain yang lebih cepat.

Dan ia masih kereta yang rusak.

Berhenti, menanti, mati.

Setelah Patah Hati, 2019

Imas Hanifah Nurhasanah. Wanita kelahiran 22 tahun silam ini bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Ia juga menyukai jus alpukat, kucing dan kelinci.Ia bisa dihubungi via sosial media di facebook: Imas Hanifah N atau Ig: @hanifah_bidam.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply