Kematianmu

Kematianmu

Kematianmu
Oleh : Ning Kurniati

Kematianmu tersiar ketika matahari sedang terik-teriknya memanas pada Kamis kedua bulan Oktober. Semua orang dusun boleh dikatakan bergerak ke rumahmu, tampak terburu-buru seakan-akan bisa menyelamatkan nyawa yang sudah meninggalkan raga entah jam berapa. Seseorang yang menaiki sepeda motor mengabarkan kau mati gantung diri.

Itu gila! Tidak ada yang ingin memercayai, menerima kenyataan kau tega menghabisi nyawa sendiri. Memang ragamu itu adalah milikmu sendiri tanpa bisa dibagi dengan siapa pun. Tidak aku juga, istrimu. Tetapi kau dikenal sebagai laki-laki yang baik, tak pernah cekcok dengan tetangga. Kau kuat bekerja, mengangkat balok kayu pun tubuhmu terlihat enteng menyanggahnya ke tempat pemberhentian. Lalu, keputusan yang kau buat ini dikarenakan apa?

Istrimu menangis meraung-raung. Mukanya yang memerah sehabis pulang dari kebun bertambah merah karena kau. Siang itu harusnya ia beristirahat, meminum air putih dari pendingin, mungkin menikmati pisang ijo, atau nasi putih dengan lauk-pauk. Ah, kau bahkan tak membiarkannya istirahat sebentar setelah kepulangannya dari menempuh perjalanan yang menanjak itu. Kata Kakek Tua, ia linglung ketika menyadari pintu rumah terkunci dari dalam.

Dokter memperkirakan waktu kematianmu sekitar jam delapan sampai sembilan. Itu artinya kau mati tak lama setelah istrimu meninggalkan rumah. Istrimu bilang, semuanya bak-baik saja sebelum sampai ia pergi. Semuanya itu diartikan oleh kami semua, kau sehat, tampak biasa dan tak tampak aneh sama seperti dengan penglihatan kami sehari-hari terhadap kau.

“Maaf ya, saya tak bisa menemanimu ke kebun. Perut saya belum begitu membaik.”

“Iya, saya mengerti dan tidak akan pernah memaksamu.”

Entah apa yang ada dalam batok kepalamu itu sehingga mengeluarkan kata-kata perpisahan yang sama sekali tak membuat istrimu baik-baik saja setelah kau mati. Ah, itu tidak bisa dikategorikan kata perpisahan. Toh, itu tak lain sekadar permintaan agar ia mengerti keadaanmu. Jadi, apa secara tidak langsung kau meminta istrimu untuk mengerti kematianmu juga? Untuk mengerti keputusanmu gantung diri itu? Caramu mati itu? Itu gila!

Para lelaki terus-menerus mengumpatimu, mengatakan kau bodoh dengan pilihan mengantung diri.

“Mati itu sudah pasti, tetapi biarkan ia mendatangi kita dengan sendirinya. Toh, itu sebuah kepastian.”

“Bodoh, laki-laki bodoh.”

“Apa tidak kasihan dengan istrinya itu?”

Dan masih banyak lagi kalimat-kalimat yang tidak mengenakkan, yang tentu saja tidak membantu kau sedikit lebih baik di dalam kubur sana. Tentu kau paham, bahwa orang-orang dusun tak begitu paham dengan ilmu agama. Kau juga tentu paham bahwa gantung diri, bunuh diri itu adalah hal yang tidak lazim bahkan nyaris tidak pernah terjadi di dusun ini. Ah, kau pasti tidak paham karena tentu saja bila kau paham, kau tidak akan gantung diri. Jadi kau juga tidak paham ya, kenapa mereka tidak mensalatimu dan hanya membungkusmu, lalu memasukanmu ke rumah barumu itu? Padahal kau muslim.

Para perempuan kebanyakan bergeming, seolah kata tak lagi bisa menyembul dari mulut. Padahal sejarah mencatat merekalah ahli kata di dunia ini. Selendang-selendang, sarung-sarung dan jilbab-jilbab yang mereka kenakan karena kau sekarang ujungnya berpindah ke mulut dan hidung-hidung mereka. Tak ada lagi seru-seruan yang heboh dan bisik-bisik gosip. Kematianmu itu sepertinya membawa mereka ikut mati. Jiwanya terbawa olehmu.

Sungguh, seandainya kau hidup … ah, Tuhan melarang berandai-andai, tetapi tetap saja ingin kukatakan, aku ingin menghajarmu, membuatmu babak belur dari ujung kaki hingga kepala. Bodoh. Sebagai gantinya kusepak-sepak kuburanmu ini. Apa kau sudah senang di dalam sana, haah? Walaupun begitu, di sisi lain tetap saja kematianmu itu patut kusyukuri karena sekarang … aku bebas memperjuangkan cintaku sesuka hati tanpa batasan waktu. Bahkan Tuhan tak boleh melarangku.(*)

 

            Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat disapa melalui link bit.ly/AkunNing

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply